Kasus pencurian sandal jepit yang diduga dilakukan siswa SMKN 3, Kota Palu, Sulawesi Tengah berinisial “AAL” telah menyita perhatian seluruh lapisan Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang faseh (paham) hukum. AAl yang masih berumur 15 tahun dipaksa berhadapan dengan proses hukum bahkan dipaksa dihadapkan ke Meja Hijau.
Dalam persidangan yang digelar, AAL dituntut dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang diamati oleh publik dalam kasus “Sandal Versus Keadilan” ini. Yang pertama, nilai suatu barang yang tidak sebanding dengan tuntutan hukum. Kedua umur AAL dan Proses Hukum yang berjalan meskipun dari sudut pandang hukum, objek tindak pidana dalam hukum tidak dikenal nilainya sehingga dapat dikatakan, sekecil apapun obyek yang dicuri menjadi berlakunya suatu tindak pidana. Ketiga, subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana (Criminal Responsibility).
Bila hukum di Indonesia tidak mengenal batas nilai obyek yang menjadi tujuan perbuatan tindak pidana maka dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dikenal batas umur seseorang yang dapat dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun sebelum masuk pada ranah batas usia dewasa secara pidana maka perlu menjabarkan lebih awal unsur apa saja yang harus terpenuhi untuk menentukan pemidanaan kepada pelaku tindak pidana dapat dilakukan.
Unsur yang membuat terangnya siapa yang bisa dikenakan pemidanaan itu yang Pertama adalah subyeknya harus sesuai dengan perumusan undang-undang. Kedua, subyek tersebut telah melakukan kesalahan dan Ketiga, tindakan yang dilakukan subyek tersebut bersifat melawan hukum. Keempat, tindakan yang dilakukan telah terang benderang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Yang terakhir, mengenai tempat, waktu dan keadaan lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.
Untuk menentukan subyek sebagaimana unsur pemidanaan yang diuraikan di atas, maka subyek dari pelaku suatu tindak pidana yang didakwakan kepada ALL dengan dakwaan Pasal 362, maka dapat dirumuskan bahwa kata “Barang siapa” yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, terlebih dahulu harus ditemukan. Maka Barang siapa? Itu adalah merujuk siapa yang melakukan perbuatan tindak pidana. Dalam kasus pencurian sandal jepit ini tentunya yang diduga adalah AAL yang masih berumur 15 tahun. Dengan mengacu pada pengaturan pemidanaan yang ada di Indonesia, maka dapat dijelaskan siapa yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat diminta berdasarkan Pasal 45 KUHP yang menentukan batas usia dewasa bagi anak yaitu 16 tahun. Dengan demikian, sebelum usia tersebut seseorang anak yang melakukan tindak pidana akan dijatuhi pidana yang berbeda dengan orang dewasa. Pasal-pasal 45, 46 dan 47 KUHP memuat peraturan khusus untuk orang yang belum dewasa sebagai berikut;
Pasal 45, dalam penuntutan di muka hakim pidana dari seorang yang belum dewasa, tentang suatu perbuatan yang dilakukan sebelum orang itu mencapai usia 16 tahun, maka pengadilan dapat:
- Memerintahkan, bahwa yang bersalah akan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau pemelihara, tanpa menjatuhkan hukuman pidana.
- Apabila perbuatannya masuk golongan kejahatan atau salah satu dari pelanggaran-pelanggaran yang termuat dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540. Bahwa sebelum dua (2) tahun setelah penghukuman orang tersebut karena salah satu dari pelanggaran-pelanggaran yang disebut tadi atau karena suatu kejahatan, memerintahkan, bahwa terdakwa diserahkan di bawah kekuasaan pemerintah, tanpa menjatuhkan suatu hukuman pidana.
Namun sejak bergulirnya Undang Undang Nomor 03 tahun 1997 tentang Peradilan Anak (UU PA), Pasal 45, 46 dan 47 KUHP dinyatakan tidak beraku. Maka sesuai dengan UU PA batas dewasa anak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi;
Ayat (1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Ayat (2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
“Dengan mengacu pada Pasal 4 ayat (1) dan (2), memang seorang anak dapat diajukan di muka pengadilan, tapi tidak mengatur bahwa si anak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana”. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP, seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya (non compos mentis) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan jiwanya terganggu karena penyakit (gila) terus-menerus atau temporaire.
Oleh karena itu, legislator (pembuat undang-undang) telah kontradiktif karena setiap orang dianggap mempunyai jiwa yang sehat. Pasal 44 dirumuskan sebagai perkecualian dari hal tersebut. Selain itu juga ada ketentuan bagi subyek yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena daya paksa (Overmacht), hal itu diatur dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi; ”barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.“
Adapaun daya paksa itu terdiri dari 3 bentuk, yaitu: Paksaan Mutlak (absolute dwang, physieke dwang, vis absolute) misalnya pihak terpaksa tidak dapat berbuat lain selain dari pada apa yang dipaksakan kepadanya, yang berupa paksaan badaniah atau rohaniah. Kedua, paksaan bersifat relatief (relatieve dwang, vis compulsive) misalnya dalam paksaan relative ini seakan ada pilihan namun pilihan-pilihan tersebut merupakan pilihan pemaksaan. Ketiga, adanya keadaan darurat (Noodtoestand). Bila dibandingkan dengan paksaan relatief pada keadaan darurat si terpaksa memilih sendiri pilihan antara dua tindakan atau lebih yang akan dilakukannya.
Apakah ALL Dapat Dibawa ke Meja Hijau dan Dijatuhi Sanksi Pidana?
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maka ALL dapat diajukan ke muka persidangan dengan syarat bukti-bukti dan unsur tindak pidana pencurian terpenuhi. Akan tetapi, persidangan yang akan dihadapi harusnya bukan persidangan pada umumnya dalam artian seperti persidangan orang dewasa. Melainkan dalam pengemasan sidang untuk anak. Hal ini perlu dilakukan supaya si anak tidak mengalami tekanan dan trauma.
Berkenaan dengan apakah anak yang di bawah umur dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau dapat dikenakan pemidanaan. Sudah secra jelas dikatakan bahwa anak yang masih di bawah umur (belum dewasa) tidak dapat dijatuhi hukuman tentang suatu perbuatan yang dilakukan sebelum orang itu mencapai usia 16 tahun, dalam hal ini ALL masih berusia 15 tahun. Dan jika tindakan yang dilakukan masuk dalam kualifikasi tindakan KEJAHATAN atau dikualifikasi sebagai tindakan PELANGGARAN maka hakim harus memerintahkan, terdakwa diserahkan di bawah kekuasaan pemerintah, tanpa menjatuhkan suatu hukuman pidana.
