Jumat, 18 Februari 2011

Pembela Kaum Dhuafa Dari Yogyakarta

Menghargai serta mempelajari pengalaman orang terdahulu termasuk pengalaman pribadi menjadikan M. Busyro Muqoddas sebagai tokoh yang dikenal sebagai pembela hukum kaum dhuafa.  

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 17 Juli 1952 dari pasangan keluarga yang sederhana Mugqoddas Syuhadaa dan Siti Laila Zaini. Muhammad Busyro Muqoddas yang biasa menyingkat namanya dan dikenal dengan M. Busyro Muqoddas kini dikenal oleh berbagai elemen dengan pribadi yang kalem.

Busyro yang pernah menjabat sebagai ketua priode 2005-2010 pada lembaga yang dibentuk oleh UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) namanya semakin bergeming seperti petir menyambar para koruptor.

Belum tiga bulan memimpin lembaga anti korupsi tersebut, Busyro langsung mengoncang-gancingkan praktek korupsi pemilihan Gubenur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Bisa dibilang, sekarang ini Busyro akan menjadi lawan para koruptor dan ditakuti para koruptor.

Sikap pejuang, dan kribadian yang santun itu tidak terlepas dari ajaran yang diberikan orangtuanya. Meskipun ayah Busyro hanya sebagai seorang pegawai negeri sipil yang bertugas sebagai Kepala Perpustakaan Islam Departemen Agama di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta.  Sementara Ibunya sebagai guru di Madrasah Muallimat Muhammadiyah di Notoprajan. Busyro tumbuh dan berkembang sebagai teladan yang jujur dan tidak congkang.  

Ditengah kehidupan yang sederhana dan taat pada keyakinan agama. Orang tua Busyro mengajarkan pada anank-anaknya bagaimana menempa dan mengembangkan kepribadian yang baik serta bagaimana mempunyai rasa kepedulian antar sesama.

Tak jarang, orangtuanya membawa dia beserta saudara-saudara yang lain untuk bersilaturahmi kepada saudara yang kurang mampu. Inilah yang membuat Busyro menjadi sosok yang mempunyai sikap santun, ramah, ideologis, tangguh dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran. 

Dengan memperbanyak silaturahmi membuat anak ke empat (Busyro) dari tujuh bersaudara  semakin mempunyai empati dan kepedulian sosial yang menjadi pelajaran bagi pribadinya. Di mana dengan keterbatasan keluarganya, tidak menjadikan Busyro ciut nyali untuk menantang pahitnya lika-liku kehidupan.

”Saya jadi mengerti, saudara-saudara saya yang tidak mampu itu telah bekerja dengan bersungguh-sungguh. Kondisi serba kekurangan justru mendorong mereka lebih serius. Dari situlah saya mengenal apa yang namanya etos kerja, meskipun istilah itu belum saya kenal,” kenang Busyro tatkala orangtuanya membawa dia bersama adaik dan kakaknya bersilaturahmi.

Sikap kepedulian antar sesama terus dan terus dibawa sampai dirinya menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di sini Busyro yang dikenal sebagai sosok yang low profil  bertemu dengan berbagai tokoh, akademisi, dan cendikiawan seperti, Prof. Abdul Kahar Muzakir, Goesti Pangeran Harjo Parabuningrat, A.R. Fachrudin, Prof. Kasman Singodimejo dan masih banyak tokoh lainnya.

Beberapa tokoh tersebut tidak sekadar dikenal oleh Busyro. Bahkan Busyro mengagumi sikap, tindak, dan pemikiran mereka, bahkan bisa dibilang turut serta membentuk pemikiran, sikap, dan tindak yang terkompilasi  dalam kepribadian Busyro yang tercermin nasionalisme, patriotisme,  spritualisme, transformatif, reformis, leadership, dan egaliter.

Aktualisasi dan penempaan kehidupan riil menjadi penting bagi Busyro untuk menguji dan menantang kerasnya ketidakadilan. Setelah menyandang gelar sarjana hukum pada 1977 Busyro bergelut dibidang hukum dengan profesi sebagai pengacara pada 1979. Hitam putih prosedur hukum menjadi kontemplasi (perenungan) bagi Busyro tatkala menagani kasus Petrus (penembak misterius).

Hukum seakan menjadi alat kekuasaan untuk menekan dan menindas masyarkat bawah. Rintangan, ancaman baik politis, maupun psikis, teror kerap menjadi santapan biasa bagi Busyro. Namun, berpegang nilai-nilai kebenaran serta tetap istiqomah (konsisten) untuk membela kebenaran dan keadilan mengantarkannya pada sikap perlawanan dalam arti tidak gentar. “...orang yang zalim saja tidak takut, kok kami harus takut.”  

Karenanya, Busyro dengan berbagai pengalaman praktik hukum yang dimilikinya berpikiran bahwa seharusnya hukum itu berwatak profetik; pembebasan, kemanusian, dan keberimanan karena hukum merupakan a toll of humanization process. Bukan sebaliknya hukum diintervensi oleh pemerintah yang dapat menganggu independensi dan professionalitas sehingga dapat melemahkan law inforcement.

Begitulah pemikiran yang menjadi “Ideologi Pengacara Jalanan Penyuara Nurani Keadilan” yang juga sebagai judul buku biografi M. Busyro Muqoddas yang sekarang membaktikan pemikirannya, waktunya, tenaganya pada lembaga anti korupsi (KPK) untuk memberantas mafia hukum di negeri yang tercinta ini.   

RESENSI BUKU 

Judul               : Ideologi Pengacara Jalanan Penyuara Nurani Keadilan
Penyusun        : Binhad Nurrohmat, Eva Dewi   
Editor              : Nina Pane
Terbit              : 2010
Penerbit          : Sekertaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia   
Tebal               : 364 Halaman

1 komentar:

Posting Komentar