Jumat, 25 Februari 2011

IPB Mesti Mengikuti Etika Akademik atau Mematuhi Hukum

Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) soal keberadaan bakteri E sakazakii dalam susu formula pengganti air susu ibu (ASI) bisa menimbulkan gangguan pencernaan pada tikus telah menimbulkan polemik. Publik kuatir susu formula yang selama ini dikonsumsi anak mereka termasuk sampel yang digunakan peneliti IPB untuk mendapatkan bakteri yang diteliti tersebut.

Timbul desakan agar merek susu asal bakteri tersebut dibuka. Namun IPB menolak dengan alasan etika akademik yang melarang peneliti membuka sampel. Selain itu, tujuan penelitian adalah menguji sifat patogenisasi (menimbulkan penyakit atau tidak) bukan mencari susu tercemar bakteri itu. Apalagi WHO saat itu mentoleran keberadaan bakteri itu dengan alasan tak bersifat patogen.

IPB makin terpojok setelah Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan David L Tobing dan memerintahkan Kemenkes, BPOM dan IPB membuka merek susu. Jasa besar IPB meyakinkan WHO melalui hasil penelitian mereka agar menghapus toleransi bakteri E sakazakii dalam susu forumula, akhirnya tertutup oleh sikap IPB bersikukuh lebih mematuhi etika akademik. Pertanyaannya, manakah yang lebih didahulukan, apakah etika akademik atau putusan MA?

David Tobing
Pihak Penggugat IPB, BPOM dan Kemenkes

Sebenarnya apa yang kami tuntut kepada IPB, BPOM, dan Kemenkes agar membuka sampel dan merek penelitan mengenai pencemaran bakteri E sakazakii pada susu formula tertentu, itu sejalan dengan putusan yang sudah dijatuhkan oleh MA. Namun, sampai pada detik ini IPB masih belum juga melaksanakan putusan tersebut. Oleh karenanya, IPB bisa dibilang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau setidaknya tidak mematuhi hukum.

Soal etika penelitian, saya melihat alasan etika itu tidak berdasar karena tidak pernah disebutkan dari mana asalnya etika tersebut, apakah ada di dalam undang-undang, pasal dan ayat berapa atau terdapat dalam buku lainnya.

Kalaupun etika itu bersifat informal, maka ia jauh berada di bawah hukum. Hal ini saya bisa nilai bahwa alasan yang disampaikan oleh IPB tidak bisa dipakai untuk menunda atau bahkan tidak menjalankan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tetapi saya tak akan berhenti sampai di sini untuk mendapatkan keadilan. Saya akan terus berupaya supaya putusan MA ini dapat dijalankan. Saya juga berencana melakukan laporan tindak pidana. Sebab dalam perkembangan kasus ini, ada kebohongan-kebohongan yang diucapkan ketiga tergugat yang bisa dikualifikasi dalam tindak pidana umum.

Kebohongan itu misalnya, Menkes mengatakan tidak mengetahui penelitian tersebut. Padahal IPB di dalam dokumen perkara sudah menyatakan dan memberitahukan hasil penelitian pada tahun 2006 kepada BPOM. Sementara pada tahun 2008 sudah melaporkan kepada BPOM serta Departemen Pertanian.

Jika kemudian alasan yang dipakai untuk tak membuka sempel tersebut karena beresiko pada adanya persaingan usaha yang tak sehat, itu jelas tak ada. Karena, suatu penelitian atau suatu tindakan itu ada konsekuensinya.

Kalau kemudian setelah dibuka ada gugatan, ada persaingan usaha itu kan konsekuensi IPB melakukan penelitian. Jadi jangan mengambil enaknya saja, tapi harus berani juga untuk bertanggungjawab.

Dengan demikian, saya hanya berpikir bahwa apa yang dilakukan IPB ini akan berdampak sangat buruk terhdap penegakan hukum di Indonesia. Bisa jadi masyarakat dan oknum-oknum yang tak bertanggungjawab akan mengatakan, kami tak akan menjalankan hukum karena ada etika, ini dan itu.

Sementara di dalam UU No.14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi yang dimaksud hendak diminta adalah sifatnya serta merta yang harus diumumkan karena menyangkut kandungan racun pada makanan.

Bila ini tidak di informasikan maka ada ancamannya, di mana dalam pasal 52 disebutkan. Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak menerbitkan Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta maka dapat dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta .


Dr Ir Bonny Poernomo Wahyu Soekarno MSc,
Sekretaris Eksekutif Rektor IPB

Pada prinsipnya bukannya kami tidak mentaati hukum, sebab sekarang ini kami sedang mengkaji persoalan tersebut serta mencoba untuk menjelaskan kepada masyarakat terutamanya kepada media tentang duduk persoalannya dan bagaimana kedudukan bakteri E sakazakii sehingga bukan masalah merek dan lain sebagainya yang dipersoalkan.

Artinya, IPB akan tetap menghormati kaidah hukum yang ada. Bila pertanyaannya kenapa IPB sampai sekarang belum bisa menyampaikan dan apa yang harus dilakukan pada hari ini? Karena kami belum mendapatkan releas putusan MA sehingga belum bisa berbuat banyak.

Perlu diketahui pada dasarnya kami sudah proaktif untuk mendapatkan releas putusan Mahkamah Agung, dan berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari kantor hukum, kami disuruh untuk menunggu putusan tersebut. Jadi jangan dibilang kami tidak proaktif, semenjak mendapatkan informasi putusan tersebut kami sudah menanyakan langsung ke lembaga terkait.

Bila kami sudah mendapatkannya, Insya Allah kami akan menindak lanjuti keputusan MA dengan mempelajari dan tentunya membuat opsi-opsi yang baik bagi semua termasuk apakah nanti membuat opsi untuk mengumumkannya atau tidak. Namun kiranya hal ini bisa dimengerti karena membutuhkan waktu yang lama dan yang lebih penting lagi, kami akan mengkomunikasikan dengan berbagai pihak masyarakat dan media serta berharap agar masyarakat bisa memahami secara utuh apa yang terjadi dengan bakteri E sakazakii yang terjadi belakangan ini. Sehingga apabila diambil suatu langkahpun itu adalah langkah yang terbaik untuk semua.

Sementara alasan etika yang dipersoalkan itu pada umumnya merupakan otoritas seorang peneliti yang sifatnya sangat tinggi dan dihargai di dalam melakukan penelitian dan juga dalam menyampaikan hasil-hasilnya. Jadi di sini kami menghormati keputusan mengenai bakteri sakazakii.

Kami menghargai betul peneliti itu, apabila peneliti tidak mau menyebutkan mereknya, ok kami akan hargai dan sampai sekarang ini kami juga tidak tahu mereknya apa, karena itu merupakan etika peneliti yang sangat khusus yang harus dijaga. Yang saya ketahui di manapun yang namanya etika tak dalam bentuk sebuah peraturan undang-undangan, namun berbentuk sebuah konvensi dan lain sebagainya yang bisa dilihat dalam berbagai penelitian internasional. Kalaupun ada mungkin analoginya terdapat di dalam pasal 21 UU Nomor 16/1997 tentang statistik.

Oleh karena itu, momentum yang terjadi sekarang ini, saya pikir perlu untuk diperkuat atau setidaknya diberikan payung hukum sehingga tidak menimbulkan polemik. Sebab, di negara lain juga sudah ada meskipun tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Sehingga dengan adanya payung hukum yang pasti maka dalam menjalankan putusan atau melaksanakan hukum jangan sampai berbenturan dengan norma-norma apapun. Putusan yang adil tentunya tidak akan bertabrakan dengan norma yang ada termasuk juga dengan norma atau etika akademik.

Nah, inilah yang hendak ingin kami sampaikan kepada masyarakat sehingga dua-duanya bisa berjalan. Bagaimana supaya kami bisa menyampaikan dengan baik, makanya kami sedang menyiapkan opsi-opsi termasuk misalnya opsi membuka namun tentunya masih perlu dikaji ulang dengan etika yang ada sehingga kami tidak disalahkan.

0 komentar:

Posting Komentar