Senin, 15 November 2010

Apakah Semua Penjahat Harus Dipenjara

Ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas I Surabaya di Desa Kebonagung, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo pekan lalu, ia meminta kepada aparat penegak hukum untuk tidak memasukkan setiap pelaku kejahatan untuk kasus-kasus tertentu yang tidak membahayakan orang banyak. Menurutnya, kasus-kasus sosial yang diperbuat pelaku karena desakan ekonomi, tidak perlu ditahan. Apakah semua pejahat harus dipenjara? Berikut petikan wawancara Fathul Ulum dari FORUM kepada dua narasumber yang berbeda pendapat.  

Fredi K. Simanungkalit
Praktisi Hukum (Advokat)

Jika berbicara tentang upaya pemenjaraan, maka sepatutnya harus diperhatikan dahalu bagimana perangkat hukum kita saat ini. Apakah sudah benar penerapannya, untuk segala perbuatan yang telah diatur didalamnya. Sebab peraturan di Indonesia saat ini masih banyak peninggalan produk hukum Belanda. Pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI Bapak Patrialis Akbar, akan tepat apabila telah disiapkan perangkat hukumnya. Sebab jika tidak disiapkan perangkat hukum, maka bisa saja setiap saat pihak kepolisian mendapatkan komplain dari masyarakat yang menilai pihak kepolisian dianggap berpihak atau tidak professional dalam menjalankan tugasnya.  

Pemenjaraan perlu sebagai suatu efek jera, dan pertanggung jawaban atas perbuatan tindakan piadan yang dilakukan oleh pelaku. Akan tetapi memang harus ada suatu upaya lain untuk membuat Pelaku jerah atas perbuatannya, dan menurut saya tidak harus selalu hukuman badan atau pemenjaraan yang harus diterapkan bagi pelaku.  

Tindak pidana yang terbukti memang dilakukan karena alasan ekonomi, dan jika dapat dibuktikan bahwa ternyata tindakan yang dilakukan telah berkali-kali dan menjadi pekerjaan utamanya. Meskipun untuk tetap dikatakan alasan ekonomi, maka menurut hemat saya telah patut untuk dikenakan tindakan pemidanaan berupan pemenjaraan.

Di dalam KUHP semua tindak pidana pasti ada sanksi hukumnya, sebab jika tidak ada sanksinya, maka tentulah akan banyak orang yang melakukan tindak pidana. Dan terjadi kebobrokan hukum serta tidak ada perlindungan bagi korban tindak pidana tersebut. Sehingga pelaku tindak pidana tidak ada yang membuat pelaku menjadi jera untuk melakukannya.

Saat ini memang sudah dirasa perlu untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap perangkat hukum. Jika semua pelaku tindak pidana berujung dengan tindakana pemenjaraan sementara daya tampung rumah tahanan sangat terbatas, maka harus dilakukan terobosan hukum dan atau perubahan dan atau penambahan perangkat hukumnya.  

Persoalan semcam ini, diperlukan kejelian dan kepekaan dari Pemerintah serta DPR terhadap permasalahan hukum yang dilakukan sebagai alasan desakan ekonomi. Yang benar-benar dilakukan oleh orang yang buta huruf, maka sebagaimana yang telah terjadi di negara USA. Maka patut dicontoh adanya hukuman sosial untuk pelakunya, misalnya membersihkan gedung Pemerintah dan ini juga merupakan tindakan penjeraan bagi pelakunya.  

Contoh lain, saat itu marak dimedia elektronik adanya dugaan pencurian 1 (satu) buah coklat, seharusnya Penyidik melihat permasalahan ini bukan hanya menerapkan Pasal-pasal yang ada di KUHP akan tetapi harus dilihat juga, apakah tindakannya itu kerap dilakukan dan buah tersebut dijual untuk mendapatkan sejumlah uang dan apakah didapatkan di area publik dengan demikian tidak masuk pekarangan orang.

Maka menurut hemat saya tidak perlu ada penahanan badan akan tetapi mungkin cukup hukuman wajib Lapor dalam tenggang waktu yang ditentukan secara tegas dan untuk menentukan ini, agar pihak penyidik tidak disalahkan oleh pelapornya, maka patutlah harus ada acuan dan atau dasar hukum untuk itu, agar tidak menjadi sasaran kemarahanan Pelapor.

Oleh karenanya Pemerintah serta DPR, harus segera melakukan perubahan dan penambahan atas perangkat hukum kita yang menjelaskan secara tegas bentuk-bentuk perbuatan hukum yang dapat diselesaikan ditingkat Kepolisian saja serta menegaskan bentuk-bentuk perbuatan hokum lain yang harus dilakukan dan atau diterapkan bagi pelaku sebagai upaya untuk membuat pelaku jerah dan paham atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan. 

Eko Hariyanto
Pakar Kriminologi UI

Saya setuju, cuman Menkumham harus sadar bahwa peraturan di negara kita perlu diatur lebih rinci lagi. Karena butuh buat hakim untuk dijadikan pijakan, dan seharusnya Menkumham lebih faham karena ujung-ujungnya pemidanaan itu masuknya kepenjara yang menjadi kewenangan Menkumham.

Tapi perlu dilihat, sebelum masuk putusan, prosesnya masuk di Polisi kemudian ada di jaksa sebagai penentut. Kemudian ada di hakim, seharusnya sebagai sebuah sistem peradilan itu harusnya menjadi satu payung yang sama antara Polisi, Jaksa, Hakim dan pihak Lapas. Itu sebagai satu sistem harus mempunyai cara berfikir yang sama, artinya punya aturan yang sama.  

Turuhlah, akhir dalam pemidanaan ini adalah memasyarakatkan kembali terpidana sehingga dia bisa berkelakukan baik, kemudian dia tidak mengulang, menjadi warga yang produktif serta taat hukum dan seterusnya. Itu menjadi pijakan bersama, sepanjang pijakan ini tidak jalan itu hanya mimpi.

Seharusnya polisi pada saat memproses, juga harus mulai berfikir tentang setelah nanti dia masuk penjara dibinda dan segala macam dia akan menjadi baik. Ketika melihat seperti itu maka dasar bahwa orang masuk atau tidak didalam penjara bisa dilihat. Tapi yang terlihat sekarang tidak. Polisi, Jaksa, dan hakim punya kiblat masing-masing. Ini merupakan kesalahan dalam kontek sistem yang ada.  

Hakim dan Penuntut Umum (PU) ada kecenderungan setiap ada tindak pidana seakan-akan hanya mengenal hukuman mati, penjara. Kemudian yang terjadi adalah karena putusan, tuntutan dari PU arahnya sekian tahun penjara atau hukuman mati. sehingga hakim juga arahannya hanya itu, jarang putusannya hukuman mati atau penjara.

Di negara lain, itu berlaku pidana lain selain pidana penjara atau pidana mati. Di zaman dahulu ada pidana badan, ganti rugi dan ada juga pidana kerja sosial. Yang terkenal diluar itu pidana alternatif, jika ada gagasan semacam itu sebenarnya tidak merupakn hal yang baru. Cuman kalau sekarang digulirkan menjadi hal yang menarik, namun perlu hati-hati untuk meberlakukan pidana diluar dari pada pidana penjara atau hukuman mati.

Jika menggunakan pidana alternatif, harus terselektif bukan seluruhnya, misalnya terhadap anak, atau orang yang lanjut usia tidak harus masuk kepenjara, dan orang yang baru pertama melakukan kejahatanyang bukan merupakan suatu yang sangat berat. Saya faham apa yang ditawarkan Menkumham, tapi tolong juga diperhatikan pidana alternatif.

Sebenarnya gagasan ini sudah lama dibicarakan dalam RUU-KUHP, tapi nampaknya di negara kita masih belum bisa. Dan bukan masalah perudan-undangannya, sebenarnya tinggal keyakinan hakim, yang notabene mempunyai kewenangan yang cukup besar untuk menentukan salah tidaknya, dan menentukan hukumannya itu apa.

Di Amerika sistem hakim mereka itu hanya sebagai moderator, yang menentukan salah atau tidaknya adalah Juri. Juri dianggap sebagai hati nurani masayarakat, untuk menentukan dia salah atau tidak. Ketika diputus salah, hakim bisa melihat yurisprodensi pada kasus sebelumnya. Kalau di negara kita tidak. Bahkan kasus yang sama hakim yang sama bisa membuat putusan yang sangat berbeda. Jadi tinggal bagaimana kemauan hakim saja, yang bisa mengimprovisasikan seperti halnya hakim Bismar Siregar.

Hasil dari penelitian yang saya lakukan, bahwa ketika hukuman diberikan pada seorang yang melakukan kejahatan itu selalau tidak adil. Baik dilihat dari pelaku atau korban dan masyarakat, kenapa? Hasil dari penelitian, masyarakat cenderung menghukum bahkan ada kecenderungan ingin balas dendam atas pelaku dan hukumannya lebih berat dari yang ada didalam KUHP.  


Sumber: Majalah Forum Keadilan, Edisi 40 Tahun 2009




0 komentar:

Posting Komentar