Senin, 15 November 2010

Pencabutan JPK Gakin Bagi Perokok



Pemprov DKI sedang mempertimbangkan untuk mencabut Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK GAKIN) yang anggota keluarganya ada yang merokok. Akibatnya seluruh keluarga tersebut dipastikan akan dicabut kartu jaminan kesehatannya. Rencana ini sudah ada dalam penggodokan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang nantinya juga melibatkan beberapa instansi terkait. Apakah pencabutan JPK Gakin merampas hak masyarakat? Berikut petikan wawancara Fathul Ulum dari FORUM kepada narasumber.

Tulus Abadi
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Yang pertama bahwa kebijakan ini baru wacana, dan belum jadi kebijakan. Tapi secara inti saya katakan, kami sangat mendukung wacana kebijakan pencabutan JPK Gakin bagi anggota keluarga sebagai perokok berat. Tapi ini harus hati-hati karena bagaimanapun layanan JPK Gakin  adalah hak sebagai warga Negara dan kewajiban Negara untuk melindunginnya. Maksud hati-hati, setatus perokok berat harus dibuktikan betul dengan data yang akurat, sehinga tidak ada kesalahan misalnya dia tidak perokok dan bukan perokok berat kemudian dicabut haknya.    

Dari sisi logika, kenapa kami setuju. Karena sangat tidak logis jika orang miskin kemudian memintak bantuan seperti layanan kesehatan atau layanan apapun, tetapi dia menghabiskan uangnya untuk merokok. Data mengatakan di Indonesia terjadi proses pemiskinan disebabkan karena menghabiskan uangnya untuk merokok dan ini banyak terjadi. Secara ekstrim begini, ketika dia merokok secara ekonomis sebenarnya dia itu tidak miskin.  

Tapi bagaimana mungkin dia miskin apabila sehari dia menghabiskan satu bungkus rokok dengan harga delapan ribu dikalikan satu bulan totalnya menjadi dua ratus empat puluh ribu rupiah hal ini ditunjukan dengan data yang ada secara akurat. Maka saya katakan secara ekstrim di Indonesia mungkin justru tidak ada orang yang miskin.  Yang ada orang yang salah dalam mengalokasikan pendapatannya dalam arti dia mungunakan pada ketidak mangfaatan. Tapi justru merusak dirinya sendiri atau menyakiti dirinya sendiri.

Secara nasional orang miskin menghabiskan pendapatanya untuk membeli rokok sebesar 12,4%, kemudian untuk membeli beras itu nomor satu sebesar 19%, sementara untuk kesehatan jauh dibawah pengunaan orang yang merokok. Apakah ini adalah orang miskin, karena dia bisa membeli sesuatu yag digunakan secara terus-menurus. Jadi definisi orang miskin, apabila dia bisa membeli rokok dengan akumulasi yang sangat tinggi, itu berarti bukan orang miskin tapi dia salah dalam mengalokasikan pendapatannya untuk mengkonsumsi sesuatu yang tidak berguna dan bahkan merusak.   Cuma salah kaprahnya saat ini adalah merokok dianggap sebagai suatu kebutuhan dan hal seperti ini yang tidak masuk akal.   
Kalau kebijakan ini nantinya dilakukan dengan serisu dan preventif, itu akan efektif  serta  efesiens dalam mengurangi mengkonsumsi tembakau bagi rakyat miskin. Kami pernah mengusulkan itu dilevel (Bapenas) dan juga Depsos agar penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga tidak dari keluarga perokok. Mengapa, jika keluarga perokok seperti yang saya tadi katakan, dia tidak miskin. Kedua BLT yang nilainya seratus ribu rupiah itu justru akan digunakan untuk membeli rokok dan itu terbukti 60% dana BLT yang diterima oleh masyarakat  kemudian dikonsumsi untuk membeli rokok. Sebenarnya selama ini pemerintah bukan mensubsidi orang miskin, justru mensubsidi industri rokok.  Sementara Industri rokok itu justru industri yang melimpah ruah kekayaannya.

Apabila pemerintah memang ingin menuntaskan kemiskinan, bahwa salah satu upaya untuk menuntaskan kemiskinan adalah memotong mata rantai ketergantungan masyarakat miskin dengan rokok. Caranya seperti apa tidak melarang secara telak, tapi naikan cukai rokok secara signifikan, kemudian kedua jangan jual rokok secara eceran. Secara teori didunia manapun itu adalah cara yang efektif untuk mengurangi pengunaan tembakau dikalangan masyarakat miskin dan anak muda.     

Wanda Hamidah
Ketua Fraksi Amanat Bangsa DPRD DKI

Pertama saya sangat tidak setuju dengan adanya rencana Pemprof DKI untuk membuat  kebijakan yang mencabut JPK Gakin bagi masyarakat miskin perokok, hal ini menurut saya sangat tidak adil dan diskriminatif. Apabila yang mengelurkan kebijakan ini adalah perusahaan Asuransi swasta, maka tidak menjadi persoalan. Akan tetapi yang mengluarkan kebijakan ini adalah Pemerintah yang semestinya pemerintah wajib melindungi warga negaranya yang miskin atas haknya untuk mendapatkan JPK Gakin. 

Masyarakat yang mendapatkan SKTM dan JPK Gakin berarti ini adalah masyarakat yang benar-benar miskin dan tidak mampu. Sehinga saya melihat bahwa Pemprof DKI diskriminatif dan tidak adil. Disisilain bahwa mereka yang sudah miskin tidak ada yang mau tangung jawab, dan saya fikir Pemprof terlihat tidak mau bertangung jawab dalam hal kesehatan dan pengobatan bagi rakyat miskin. Padahal mereka sudah memenuhi kriteria administrasi yang telah ditentukan sendiri oleh Pemprof.  

Bayangkan saja, ketika JPK Gakin ini dilepas maka saya fikir ini adalah upaya untuk melepas tangung jawab Pemprof terhadap JPK Gakin masyarakat kecil, padahal Pemprof sudah melepas masyarakat kalangan menengah keatas. Walaupun idealnya memang semua masyarakat mendapatkan hak yang sama terhadap akses jaminan kesehatan yang free.

Sudah masyarakat kalangan menengah tidak mendapatkan hak itu. Ditambah sekarang akan mempersulit rakyat miskin. Meskipun memang rokok itu bukan suatu kebutuhan, tetapi itu adalah zat adiktif yang seharusnya Pemprof wajib melindungi masyarakat dari bahaya zat adiktif baik karena orang itu merokok atau tidak merokok. Meskipun merokok itu adalah suatu pilihan, dan sisilain rokok itu disodorkan kepada masyarakat melalui iklan. Persoalannya hanya pada keinginan atau tidak masyarakat untuk mencoba. Oleh karenanya jangan meyodor-nyodorkan dan membuka peluang produsen rokok setingi-tinginya, tapi bagaimana caranya membuat rokok ini tidak mampu dibeli oleh rakyat miskin.

Karena untuk membeli rokok itu sangat mudah, jadi kalau Pemprof tidak menginginkan rokok ini tidak dibeli oleh rakyat miskin. Maka bikin kebijakan harga rokok yang tadinya seharga lima ribu menjadi tiga puluh ribu. Maka orang miskin akan mikir-mikir. Kemudian jangan sampai ada iklan yang ada disepanjang jalan protokol-protokol, disekolahan, dirumah sakit ada yang terdapat iklan rokok secara bum bardil, ini tidak ferkan. Karena masyarakat sedang diam disodorin rokok melalaui iklan,  melalui warung dan melalui harga yang sangat murah tidak adil kan. Sudah menjadi rakyat yang miskin tetapi juga menjadi korban, karena perokok itu korban, artinya korban kebijakan dari  pemerintah karena tidak melindungi dari zat adiktif.

Kita sebagai angota DPRD dalam waktu dekat akan memangil Dinas Kesehatan untuk menjelaskan hal ini. Dan harapanya jangan ada upaya dari Pemprof untuk tidak menghapus JPK Gakin, karena setiap tahun Pemerintah mengelontorkan dana sebesar lima ratus miliar yang harus digunakan sebesar-besarnya bagi hajat hidup orang banyak termasuk keluarga miskin untuk kesehatan mereka. Jadi tidak perlu dibatas-batasi dengan hal-hal yang menurut saya tidak adil.

Kalau Pemprof sudah melakukan upaya Prefentif seperti pelarangan penjualan rokok kepada anak-anak kecil, larang perusahaan-perusahaan iklan rokok dalam seponsor musik, olah raga karena disana terdapat anak-anak semua. Larang iklan-iklan yang ada di jalan-jalan dan telivisi, internet maupun majalah, naikan pajak rokok supaya rakyat miskin tidak mampu beli. Kalau upaya ini sudah dilakukan silakan saja aturan itu diterapkan.  

Sumber: Majalah Forum Keadilan, Edisi 42 Tahun 2009


0 komentar:

Posting Komentar