Senin, 15 November 2010

Penolakan Perpu Pengangkatan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK


Di tengah hiruk-pikuk kasus Century, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat dengan Menteri Hukum dan HAM menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 4 tahun 2009 Tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka ditengah adanya penolakan perpu tersebut terdapat pro dan kontra. Apakah Perpu tersebut tepat untuk KPK? Berikut wawancara Fathul Ulum kepada narasumber. 

Didi  Irawadi  Syamsudin
Anggota Komisi III  Fraksi Partai Demokrat

Kami mendukung perpu ini menjadi UU, karena jangan pernah ada kekosongan di dalam pimpinan KPK. Dengan adanya kekosongan pimpinan, ini bisa menghambat proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena selama di bawah pimpinan yang ada sekarang ini, benar-benar berjalan dengan sangat baik serta mempunyai komitmen luar biasa, dibandingkan dengan pimpinan sebelumnya yang kemudian bermasalah.

Kalau Perpu ini ditolak, berarti proses untuk memilih pimpinan yang baru memakan waktu yang sangat lama. Seperti halnya ada proses seleksi, lalu nanti ada usulan dari pemerintah, nanti juga ada seleksi di DPR.  Sehingga nantinya akan memakan waktu yang cukup lama mungkin bisa sampai satu tahun.  

Jika melihat salah satu agenda penting pemerintahan SBY adalah untuk memberantas korupsi, jadi sangat di sayangkan adanya penolakan perpu. Karena akan menimbulkan kekosongan kembali dalam pimpinan KPK. Padahal Demokrat mempunyai komitmen sangat tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karenanya kemarin kami mengambil sikap untuk menerima Perpu ini. Kenapa? Karena tidak boleh ada kekosongan satu hari bahkan satu detik pun di dalam upaya memberantas korupsi.  

Ditunjuknya pimpinan KPK sekarang oleh presiden melalui perpu, ini semua kan berdasarkan ketentuan UU 30 tahun 2002. Yang mana, apabila ada kekosongan, pemerintah bisa mengeluarkan Perpu. Dan Perpu yang dikeluarkan pemerintah itu berdasarkan UU yang ada. Ketika  Antasari Azhar dan dua pimpinan KPK pada saat itu menghadapi suatu permasalahan, jika pemerintah tidak bertindak dengan cepat maka bisa dibayangkan pemberantasan korupsi yang sedemikian komplek bisa tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan kembalinya Bibit dan Chandra, Perpu itu sudah tidak dikatakan genting lagi. Menurut hemat kami, tidak karena kepemimpinan  Tumpak. Ini bisa dilihat prestasi yang ada, sehingga sangat disayangkan apabila terhenti. Karena permasalahan korupsi di Indonesia sangat pelik. Kepemimpinan Tumpak benar-benar lengkap dalam menangani korupsi, dan itu bukan hal yang mudah.

Jika dilihat dalam kepemimpinan lima orang yang ada sekarang, sudah berjalan dengan sangat bagus sekali. Dan apabila nantinya Perpu ini menjadi UU, maka tidak akan pernah ada kekosongan lagi. Soal pemilihan pimpinan pada waktu itu, pemerintah juga melibatkan pihak-pihak yang kompeten dalam menyeleksi dan tidak main tunjuk saja. Jadi ini  benar-benar menunjukkan komitmen yang dimiliki oleh pemerintah, murni tidak ada interest atas kepentingan apapun, hanya untuk menangani persoalan korupsi.

Kalau dibilang tidak independensi, tidak demikian adanya. Karena  UU  ini memberikan amanat kepada pemerintah untuk bisa mengunakan Perpu bila terjadi kegentingan yang memaksa dan keadaan yang darurat. Maka dalam hal ini sudah terbukti terlihat upaya yang dilakukan para pimpinan PLT  justru sangat bagus kinerjanya.  

Dan kami sudah berupaya semaksimal mungkin kemarin melalui Demokrat dengan PKB, namun mayoritas suara di DPR ternyata menolak, dan ini kami sangat menyesalkan sekali. Karena bagi kami penolakan Perpu PLT pimpinan KPK sama saja dengan pengembosan upaya pemberantasan korupsi.

Kita melihat kinerja pimpinan yang sudah ada ini sangat memenuhi harapan masyarakat, sehingga penolakan yang ada pada Komisi III ini sangat saya sesalkan sekali. Meskipun ini adalah keputusan politik.  Kenapa? Penolakan ini, kita khawatir terdapat kekosongan dengan waktu yang lama, karena dengan nantinya Tumpak ditarik menjadi  kosong satu  pimpinan yang ada di KPK. Padahal pemberantasan korupsi itu sangat serius. Kita tidak boleh bermain-main dan setengah hati dalam menangani korupsi.


Febri Diansyah
Peneliti Hukum Indonesian Corruption Watch (ICW)

Dari awal ICW dan koalisi menolak dengan tegas adanya Perpu tersebut. Pada bulan September 2009 ketika Perpu ini diterbitkan,  kita sudah bilang bahwa Perpu ini bukan menyelamatkan KPK tapi  Perpu ini  justru menggerogoti konsep independensi KPK. Dan bahkan bisa membajak fungsi-fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Saya melihat tidak ada kekosongan di KPK pada waktu itu, yang ada adalah proses kriminalisasi terhadap Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Kemudian Perpu keluar persis beberapa hari setelah mereka ditetapkan menjadi tersangka dan diberhentikan. Sehingga kesannya dipahami oleh publik adalah sebenarnya Perpu tersebut melegitimasi kriminalisasi pada dua pimpinan KPK.

Bukannya memastikan proses hukum Bibit dan Chandra clear dari rekayasa. SBY justru memberikan kewenangan pada dirinya sendiri untuk bisa menunjuk orang pimpinan sementara KPK. Dan itu tentu saja membahayakan pemberantasan korupsi di tubuh KPK sendiri.  

Saya tidak tahu argumentasi mereka, tapi pemerintah selalu saja bilang bahwa mereka ingin berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, serta  mendukung KPK. Tapi sebenarnya yang mereka lakukan berkebalikan dengan apa yang dikatakan. 

Kami tidak yakin dan tidak percaya Perpu ini bertujuan untuk menyelamatkan KPK, karena realitas politik hukum pada saat Perpu terbit jelas-jelas KPK telah diserang dari beberapa pihak gelombang koruptor yang luar biasa. Dan presiden diam saja pada waktu itu.  Justru presiden terlihat lebih aktif dalam penerbitan Perpu yang sebenarnya membahayakan KPK.  

KPK adalah lembaga independen, tidak boleh pimpinananya di pimpin dan ditunjuk oleh kekuasaan tertentu. Misalnya presiden dari jajaran ekskutif. kalau pimpinan KPK ditunjuk oleh presiden, artinya presiden bisa menguasai KPK secara langsung atau tidak langsung hingga akhirnya independensi KPK tidak ada lagi.  

Bayangkan dalam kondisi itu KPK menangani kasus sebesar Century di mana aktor-aktor yang diduga terlibat adalah aktor utama yang ada di eksekutif. Tidak mungkin KPK bisa independen kalau pimpinannya bisa diatur oleh kekuasaan.

Jadi kalau Perpu itu dikatakan genting itu tidak ada, yang genting justru ketika pimpinan KPK dikriminalisasikan  serta proses hukumnya direkayasa. Jadi yang genting itu bukan KPK nya, yang genting adalah penegakkan hukum kepolisian saat itu.

Jadi salah kaprah Perpu yang dikeluarkan kemudian membuat kewenangan bahwa presiden bisa mengatur orang atau menunjuk orang untuk menjadi pimpinan KPK, dan kewenangan sementara pimpinan KPK sama dengan pimpinan KPK yang dipilih berdasarkan proses seleksi yang panjang. Maka hal ini tidak bisa dibenarkan baik secara ketatanegaraan atau dari aspek pemberantasan korupsi.

Jadi dengan adanya penolakan perpu tersebut, tidak bisa dikatakan adanya kekosongan pimpinan di KPK,  tapi kita bisa debat panjang soal apakah ada kekosongan dalam pimpinan KPK atau tidak. Yang pasti memang di UU KPK diatur bahwa pimpinan KPK ada lima, tapi kemudian persoalan kekosongan pimpinan ada dikaji semuanya dalam UU KPK tersebut.

Misalnya kekosongannya dalam hal apa, kalau ada proses hukum, apakah empat orang bisa berjalan? Bisa saja, kan sudah terbukti selama ini empat orang bisa berjalan dan tidak ada masalah apa-apa  di Pengadilan Tipikor. Justru hakim tetap menerima kasus yang diajukan oleh KPK.  

Argumentasi-argumentasi kekosongan kepemimpinan KPK itu menurut saya adalah argumentasi yang justru ingin menyerang dan melelehkan KPK. Kita lihat itu dari argumentasi komisi III. Ketika Antasari jadi tersangka, pimpinan KPK tinggal empat. Mereka minta KPK berhenti. Saya kira itu yang berbahaya. Dan perpu ini adalah bagian dari upaya untuk melegitimasi itu.


Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 45 Tahun 2009 

0 komentar:

Posting Komentar