Jangan remehkan deman yang melanda anak-anak. Pneumonia menjadi penyebab kedua kematian pada anak.
Air mata selalu menetes saban Winanti teringat pada Abraham. Putranya yang berusia delapan bulan dan sedang lucu-lucunya itu telah meninggalkan ibu muda berusia 29 tahun ini lantaran terserang pneumonia. Winanti sungguh tak menduga, sebulan yang lalu, Abraham yang sedang belajar berdiri itu badannya panas. Ia menduga putra semata wayangnya itu akan terserang flu.
Tetapi, dalam waktu yang cukup singkat, kondisi Abraham langsung memburuk. Winanti bergegas membawanya ke rumah sakit. Tetapi apa boleh buat, Abraham tidak tertolong. Tak hanya Winanti, banyak orangtua yang tidak begitu mengenali gejala penyakit yang berbahaya ini. Pneumonia yang merupakan dikenal sebagai peradangan kondisi paru-paru ini memang tak begitu mudah dikenali.
dokter spesialis anak Darmawan B Setyanto pada saat acara seminar ”Upaya Percepatan Penanggulangan Pneumonia” yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Selasa 9 November lalu di Jakarta mengatakan penyakit Pneumonia kerap tidak bisa terdeteksi. Gejala awalnya didahului dengan selesma, seperti demam, batuk, dan pilek. Bahkan, pada beberapa kasus, bayi terkadang tidak mengalami demam. Namun, jika gejala sudah lanjut, biasanya napas menjadi cepat dan dinding dada tertarik. ”Perhitungan napas menjadi sangat penting dan menjadi penanda penting terjadinya pneumonia,” ujarnya.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Badan PBB untuk Anak-anak dan Pendidikan (UNICEF), sekitar 50 persen pneumonia yang menyerang bayi dan anak-anak disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae (bakteri pneumokokus) dan 20 persen disebabkan Haemophilus influenzae tipe B (Hib).
Pneumonia berbahaya karena dapat menyebabkan kematian lantaran paru-paru tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mendapatkan oksigen bagi tubuh. ”Tubuh berusaha mengambil lebih banyak oksigen untuk menjaga kadar oksigen sehingga bayi kemudian bernapas cepat,” ungkap Boediman, SpA.
Boediman menambahkan, angka kematian dan kesakitan akibat pneumonia terkait sejumlah faktor, antara lain kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.
Faktor lain ialah berat badan lahir rendah atau prematur, tidak mendapat ASI eksklusif, defisiensi vitamin A, gizi buruk, dan tidak lengkap imunisasi. ”Saat bayi lahir dengan berat badan rendah atau prematur, sistem imun dan pernapasannya belum berkembang sebaik anak yang lahir dengan berat badan baik dan cukup umur,” ujar Boediman.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan faktor risiko terjadinya pneumonia pada anak meliputi cacat bawaan, gangguan kekebalan, polusi, termasuk debu vulkanik Gunung Merapi, tersedak atau aspirasi, gizi buruk, bayi kecil (BBLR), tidak mendapat ASI, imunisasi tidak lengkap, dan tinggal di rumah atau barak pengungsian yang terlalu padat.
Terkait itu, Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Badriul Hegar mengatakan, penyakit infeksi masih menjadi permasalahan kesehatan anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia. Salah satunya ialah pneumonia (radang paru). Pneumonia merupakan penyebab kematian tunggal pada anak yang terbesar di dunia.
”Di Indonesia, pneumonia menjadi penyebab tunggal kematian bayi nomor dua setelah diare, baik untuk bayi usia di bawah satu tahun (12,7 persen) dan bayi di bawah lima tahun (13,2 persen). Perbaikan kesehatan anak balita cenderung stagnan,” ujarnya.
”Di Indonesia, pneumonia menjadi penyebab tunggal kematian bayi nomor dua setelah diare, baik untuk bayi usia di bawah satu tahun (12,7 persen) dan bayi di bawah lima tahun (13,2 persen). Perbaikan kesehatan anak balita cenderung stagnan,” ujarnya.
Badriul mengatakan, perlu percepatan untuk mengatasi masalah pneumonia. Terlebih dengan adanya keinginan pencapaian target Tujuan Pembangunan Milenium pada 2015 terkait angka kematian bayi dan anak balita.
FATHUL ULUM
0 komentar:
Posting Komentar