Demokrasi di Indonesia selalu berjalan setengah hati, dan maju mundur. Demokrasi mulai tumbuh sejak bergulirnya reformasi, ditandai Pilkada langsung yang merupakan keunggulan dari semua sistem Pilkada yang pernah dijalankan. Dari model elites vote ke model popular vote artinya yang dulu dipilih di ruang DPRD menjadi dipilih di ruang public. Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Medan yang berlangsung dua pekan lalu, merekomendasikan Pemilihan Gubenur dan Bupati, dipilih melalui DPRD. Apakah itu merupakan kemunduran demokrasi? Berikut penjelsan kedua narasumber kepada Fathul Ulum.
Romy Romahurmuzy
Anggota DPR RI Fraksi PPP
Menurut kami harus dipilih melalui DPRD. Dasarnya bahwa Founding father kita sudah sangat arif ketika membuat pancasila. Lihat butir empat, kerakyatan yang dipilih oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ini adalah upaya untuk menjalankan demokrasi di satu sisi dan di sislain tidak menghilangkan esensii pemilihan itu sendiri. Yang kedua UUD tidak ada mengamanahkan pemilihan secara langsung. Adanya Pilkada langsung disebabkan karena demokrasi pada waktu itu mengejolak dan adanya Uforia, maka ditetapkanlah Pilkada langsung yang di selengarakan mulai 1 Januari 2005.
Kita tahu persis, pelaksanaan pilkada yang berjalan pada putaran pertama 2005, 2006 dan 2007 menimbulkan beberapa ekses, Pertama; Terjadinya konflik horisontal yang meluas diantara para pendukun pasangan, semula berharap Pilkada berlangsung dengan damai, sebagai bentuk pendidikan demokrasi ternyata tidak terjadi. Kedua, adanya sebuah dendam yang di miliki antara para calon yang terpilih, sehinga program yang direncanakan yang ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat akhirnya hanya dilempar kekantong-kantong dimana pasangan peserta Pilkada terpilih.
Ketiga, tercapai atau tidak demokrasi sebagai media pendidikan. Secara langsung pendidkan dirasa cukup oleh masyarakat untuk memilih pemimpin yang diangap baik. buktinya apa? Banyak kemudian pemimpin terpilih yang tersangkut persoalan hukum seperti korupsi, pemimpin dipilih langsung oleh masyarakat tidak menghasilkan pemimpin yang jujur dan amanah.
Keempat; Pilkada langsung hanya menghabiskan banyak biaya, baik biaya negara ataupun biaya calon pasangan. Dari sisi kampanye yang dilakukan pada masing-masing peserta, Pemilihan jabatan publik dianggap sebagai instrumen investasi dengan jangka waktu. Yang mendorong terjadinya politik transaksional, dengan cara membeli suara sebagian rakyat.
Ini bukti hasil survei PPP di Jawa Timur menjelang Pilkada pada tingkat resistensii masyarakat atau penenerimaan masyarakat terhadap politik uang 50/50, artinya masyarakat mau memilih terhadap siapa yang memberi uang. Politik Transaksional ini akan berlanjut, maka dia akan menghitung investasi yang harus kembali kemudian menyebabkan terjadinya korupsi dan sebuah bahaya demokrasi dalam jabatan public.
Kelima, jumlah Pilkada di Indonesia terdapat 497 kota dan kabupaten serta 33 Propinsi. Ini pasti menghabiskan biaya lebih dari 80 trilyun selama lima tahun. Jika dilihat terperinci masing-masing propinsi mendapatkan anggaran satu trilyun. Provinsi besar seperti Surabaya menghabiskan dua trilyun, artinya ini sebuah moratorium untuk mengembalikan pemilihan pemimpin yang jujur, amanah dan meredoksir politik transaksional yang bisa menumbuh suburkan korupsi.
Ini adalah alasan obyektif PPP merekomendasikan Pilkada Gubenur dan Kabupaten dipilih oleh DPRD. Serta alasannya anggota DPRD dipilih langsung oleh rakyat, melalui mekanisme suara terbanyak sehinga ada legitimasi kuat. Maka menurut saya jika membandingkan pemilihan oleh DPRD yang diajukan PPP kedepan dengan orde baru sangat jauh. Waktu itu partai hanya satu Golkar, dan hari ini terdapat multi partai. yang tadinya tidak punya suara hanya tujuh persen menjadi limapuluh satu suara. Jadi menurut saya ini hal yang ideal dari pada menghabiskan banyak biaya.
Maka pelaksanaannya perlu mekanisme pengawasan, Pertama, harus ada publikasi kekayaan anggota DPRD baik sebelum dan beberapa saat sesudah Pilkada. Kedua, masyarakat harus melakukan pengawasan melekat, dan ini lebih mudah dari pada mengawasi money politik yang dilakukan kepala daerah dipolosok-polsok daerah pemilihan. Sehinga bagi PPP ini bukan sebuah demokrasi melainkan satu moratorium sampai menjadi negara yang berdaya secara ekonomi sebab ini prasyarat keberhasilan demokrasi.
Dr. Lili Romli, M.Si
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Ini merupkan seperti masa waktu orde baru, padahal semangat reformasi agar masyarakat berpartisipasi langsung memilih pemimpinnya yang merupakan partisipasi nyata. Memang UUD tidak memerintahkan Pilkada langsung. Namun di dalam pembukaan UUD menganut sistem musyawarah mufakat dan demokrasi, kemudian diterjemahkan dalam batang tubuh UUD dipilih secara demokratis dan kita sepakat tafsirnya dipilih secara langsung. Dan itu sesuatu yang harusnya dianggap putusan yang terbaik, jangan kemudian menafsirkannya lagi seperti masa sebelumnya. Sebab pemilihan secara langsung memberikan akses masyarakat untuk langsung berpartisipasi memilih pemimpinnya.
Oleh karenanya, jangan kemudian tafsir itu mundur lagi dan Pilkada langsung “dibunuh”. Sebab Pilkada langsung merupakan produk yang sangat baik dibandingkan Pilkada sebelumnya. Bagaimanapun Pilkada langsung itu meningkatkan partisipasi rakyat secara langsung dan legitimasinya lebih kuat, meskipun tresiout pemenangnya 50% dari jumlah penduduk yang lebih banyak di bandingkan dengan jumlah anggota dewan.
Bukan karena dewan dipilih rakyat, seginga mempunyai legitimasi memilih pemimpin darerah, itu salah. Karena sejatinya legitimasi itu berada dirakyat yang mempunyai kedaulatan. Jadi sah-sah saja jika rakyat menginginkan pemimpinnya yang memilih bukan diwakilkan lagi oleh anggota dewan yang sebagai wakil rakyat, Jika sampai anggota dewan memilih pemimpin daerah lagi, berarti sama dengan memotong kedaulatan rakyat dengan mengatasnamakan rakyat yang belum tentu merepresentasikan suara rakyat.
Jika Pilkada secra langsung itu ada kelemahan ada kekurangan memang kita akui, tapi jangan kemudian kelemahan dan kekuranagan itu difonis bahwa Pilkada langsunglah penyebab kegagalannya. Saya melihat bukan faktor Pilkada langsungnya tetapi terletak pada elit-elit poolitik, termasuk partai-partai yang mengaku kepala daerah yang terpilih itu tidak mempunyai kapasitas. Ini merupakan faktor rekrutmen dari elitnya. Kenapa mereka mencalonkan kepala daerah itu tidak mempunyai kualitas dan tidak memiliki kompetensi.
Kedua, soal Pilkada langsung itu menimbulkan politik uang, Padahal yang menebar uang dan yang mengajarakan prakmatisme itu adalah elit politik. Sabab tadinya rakyat tidak tahu menahu. Kemudian elit menarik suara itu dengan memberikan uang. Makanya rakyat menjadi pragmatis dan ini merupakan kesalahan dari elit.
Ketiga, jika alasan Pilkada langsung membutuhkan biaya besar. Itu bisa diperdebatkan dan menurut saya itu relatif karena ini merupakan demokrasi jadi tidak lepas dari biaya. Kalau memang Pilkada langsung dikatakan memakan biaya yang cukup besar. Coba kita kurangi cost biaya dengan cara mensederhanakan sistem Pilkada langsung. Bukan kemudian ditarik menjadi Pilkada tidak langsung yang dipilih oleh DPRD, karena itu merupakan sebuah kemunduran.
Cara mengurangi cost biaya Pilkada bisa dengan menyederhanakan sistem pemilihan Pilkada, misalnya Pilkada secra serentak. Dengan Pilkada serentak maka ada perubahan-perubahan banyak biaya, tenaga dan waktu yang bisa dikurangi. Kedua, bisa dengan sistem pemilihannya yang tadinya ambang batasnya 30% dikurangkan menjadi 20% dan mereka-mereka yang mendapatkan suara 30% bisa menjadi pemenang. Atau bisa juga menjadi simple mayority (mayoritas sederhana) siapa yang menang maka dialah yang diangkat diantara kandidat-kandidat yang ada, sehinga tidak ada amabang batas seperti itu.
Agar dukungannya tetap banyak pada simple mayoriti, bisa kemudian kandidatnya dibatasi dengan meningkatkan ambang batas dalam pencalonan. Misal, tadinya 15% bisa dinaikan menjadi 20% atau disamakan dengan Pilpres 20% syarat partai politik. Maka calon kandidat menjadi sedikit. Begitu juga dengan prasyarat calon perseorangan, dapat dinaikan persyaratanya maka calon perorangan menjadi sedikit. Bukan kemudian memvonis pilkada langsung itu gagal. Olehnya yang diperlukan adalah memperbaiki kelmahan dan kekurangan di dalam sistem pilkada langsung.
Sumber: Majalah Forum Keadilan, Edisi 40 Tahun 2009
0 komentar:
Posting Komentar