Senin, 15 November 2010

Haruskah Sri Mulyani dan Boediono Non Aktif?

Bertele-telenya penyelesain kasus Century oleh Pansus Century, yang dibentuk atas dasar desakan politik, belum mampu mengarahkan kepada siapa oktor intelektual dalam kasus Century. Pekan lalu, Mantan Ketua MPR Amien Rais meminta agar Wapres Boediono menonaktifkan diri dari jabatannya, menyusul pengusutan skandal bailout Bank Century, Apakah Sri Mulyani dan Boediono harus Non Aktif atau tidak? Bagaimana prosedur dan mekanisme menonaktifkan Sri Mulyani dan Boediono? Berikut penjelasan kedua narasumber kepada Fathul Ulum.  
 
Muhammad Qodari, S.Psi, MA
Direktur Eksekutif Indo Barometer

Saya kira, ada bagusnya kalau Sri Mulyani dan Boediono non aktif, supaya proses tanya jawab, penyelidikan atau apapun namanya di Pansus bisa berjalan lebih baik. Hal ini untuk menghapus kecurigaan bahwa memang Sri Mulyani dan Boediono, dalam kapasitasnya menjabat sekarang ini tidak mengunakan kewenangannya untuk menyalahgunakan kewenangannya, dengan cara menutupi atau mengahapus bukti-bukti.
Namun penonaktifkan ini tidak bisa dipaksakan, karena memang tidak ada aturan hukumnya. Tidak ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang jelas-jelas mewajibkan Sri Mulyani dan Boediono, dan dalam posisi yang sekarang ini untuk non aktif.  Saya nilai DPR kemaren lebih pada konteks himbauan. Jadi diikuti bagus tidak diikuti juga tidak ada mekanisme paksaan.

Aspek persoalan, ini memang ada macam-macam tergantung pada siapa yang melihatnya. Kalau kita lihat laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jelas sudah merupakan dokumen resmi. Dalam dokumen tersebut ada sembilan indikasi pelanggaran. Ada yang mengatakan pelanggaran penyalahgunaan wewenang, ada yang mengatakan aspek Pidana. Jadi memang harus dipilah satu-satu. Saya kira Pansus sudah berjalan ditrack yang benar ketika merencanakan untuk memanggil pihak-pihak yang terkait dengan kasus ini, mulai dari BPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kemudian sampai ke Sri Mulyani, Boediono dan Jusuf Kala. Saya pikir kita perlu mendengar semuanya secara lengkap, sehingga dapat gambaran yang lebih menyeluruh. Ada hal-hal yang di luar laporan BPK, yang bisa muncul kepermukaan dengan pemanggilan-pemanggilan itu.
Di sisi lain mungkin juga ada aspek pidananya. Kalau sudah aspek pidana berarti aparat hukum yang akan bergerak, diawali oleh penyeledikan kepolisian, atau KPK. Karena KPK sudah berinisiatif untuk bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan, saya kira dua-duanya harus berjalan berbarengan. Sehingga ada mekanisme politik dan ada mekanisme hukum.

Kalau nanti aspek Pidana ini menyangkut kepada Sri Mulyani dan Boediono, maka akan ada aturan-aturan baru yang berlaku disana. Mungkin saja nanti dengan melihat pengalaman yang sudah, kalau ada pejabat pemerintahan yang bermasalah dengan hukum, seperti Bupati, Walikota, atau Gubenur, Presiden memberhentikannya. Jadi saya pikir kalau Sri Mulyani terindikasi kasus Pidana, Presiden harus memberhentikan supaya tidak menganggu penyelidikan oleh Polisi.
Akan halnya dengan Boediono karena posisinya sebagai Wakil Presiden agak berbeda. Barangkali harus ada pembuktian juga dari aparat hukum, mengenai pelanggaran Korupsi nanti, dari situ ada proses lanjutan yaitu ke DPR dan ke Mahkamah Konstitusi, yang nanti ujungnya bisa sampai kepada Impactment.

Jadi yang bisa menonaktifkan Sri Mulyani adalah Presiden, namun Presiden tentu harus mendapatkan bukti atau alasan-alasan yang kuat, alasan yang kuat itu memang nanti bisa dari Pansus atau pihak Aparat hukum seperti KPK bila menemukan indikasi yang cukup jelas dan tegas bahwa Sri Mulyani bersalah, baru pada level itu Presiden punya alasan untuk meberhentikan, sama dengan Bupati, Walikota kalau sudah jadi tersangka oleh kejaksaan, Presiden bisa mengeluarkan surat penonaktifan untuk proses penyelidikan, seperti halnya anggota DPR harus mendapatkan ijin dulu untuk diperiksa. 

Ini yang harus dipahami oleh publik supaya tidak salah prespektif, Sri Mulyani dan Boediono bukan dinonaktifkan akan tetapi mereka lebih baik menokatifkan sendiri atau mundur sementara. Saya pikir itu jalan tenggahnya. Bukan dari sebuah paksaan akan tetapi dari sebuah niat baik untuk melancarkan proses pemeriksaan. Kalau Boediono non aktif masih ada Presiden, Wakil Presiden itu backup nya Presiden. Jadi tidak usah diisi. Kosongkan saja.

                      
Refly Harun
Pengamat Hukum Tata Negara

Saya akan bicara aspek prosedur dan aspek formalnya terlebih dahulu. Secara prosedur seorang menteri bisa-bisa saja di non aktifkan, karena Menteri itu ada Ad entrumnya. Tetapi menurut saya, kalau jabatan Wakil Presiden dinon aktifkan tidak bisa. Sebab jabatan Wakil Presiden itu dipilih oleh rakyat. Jadi atasanya bukan Presiden. tetapi Wakil Presiden adalah pembantu Presiden, dan pembantu Prsiden dipilih oleh rakyat. Karena itu terhadap Wakil Presiden hanya boleh dilakukan pemberhentian melalui proses impachment.
Sedangkan Sri Mulyani sebagai Menteri bisa setiap saat dinonaktifkan. Jangankan dinonaktifkan, diberhentian sekarang juga bisa. Hari ini dianggkat kemudian besok diberhentikan terserah Presiden. Karena itu kewenagan Priogratif penuh Presiden untuk menunjuk dan mengangkat menteri.

Dari segi subtansi, terlihat ada kehawatiran terhadap yang bersangkutan, akan menggunakan kekuasaannya untuk melakukan “Counter Attack,” pembentukan opini publik dan lain sebagainya. Di sini kita harus dudukan soal Pansus Century. Jangan dibawa masalah ini kepada perang opini publik. Saya kira kedua belah pihak harus menahan, menghormati proses politik yang ada, dan proses hukum yang ada di Pansus Angket.
Dalam melaksanakan tugasnya seharusnya Pansus Angket, bisa melakukan proses pemanggilan, dan sebaiknya tidak boleh baru ada indikasi tiba-tiba konferensi pers, debat di telivisi. Begitu memang budaya politik kita. Akibatnya berkembang di masyarakat opini-opini pribadi, seperti kasus Bambang Susatyo, Sri Mulyani akhirnya mengaburkan persoalan. Jadi saya kira orang harus menghormati politik dan mekanisme ketatanegaraan yang ada.

Hari ini Pansus bekerja, jadi biarkan dia bekerja secara profesional. Seorang Wakil Presiden juga punya tanggung jawab bekerja sebagai Wakil Presiden. Sama halnya seorang Menteri Keuangan. Tetapi jika Presiden merasa menganggu, bisa saja dinon aktifkan dan ditunjjuk Menteri keuangan ad entrum. Ketika Pansus sudah selesai dengan beberapa rekomendasi, Presiden bisa mengambil sikap tindak terhadap Menterinya, apakah akan memberhentiakn ataukah akan memulihkan dan mengankat kembali dengan mencabut non aktifnya.
Tetapi tentunya Presiden tidak bisa menyelesaikan kasus pidananya. Sebab masalah pidananya  sangat terkait dengan soal-soal lain, misalnya kalau Wakil Presiden melakukan Korupsi, dia bisa di Impeachment diberhentiakan.

Masalah menggangu atu tidak kinerja mereka, itu sanggat relatif. Judgment itu adanya di Presiden, kalau Presiden merasa ini berpengaruh, bisa saja kemudian menonakitfkan Sri Mulyani. Judgment itu hanya di Presiden bukan di DPR, karena jabatan Wakil Presiden adalah tertinggi kedua yang dipilih oleh rakyat, jadi tidak bisa di non aktifkan sembarangan.

Kalau Wakil Presiden disuruh non aktif, nanti bagaimana kalau Pansus Century ini mengarahkan kepada Presiden juga, masa perseiden diminta non aktif. Saya kira terlalu naïf. Saya kira beginilah, kehawatiran menghilangkan barang bukti, barang bukti apa yang akan dikaburkan? Kalau masalahnya hanya akan ada peran opini, menurut saya kedua belah pihak harus mematuhi permainan.
 Permainannya adalah biarkan Pansus menyelesaikan dulu, baru kemudian melaporkan hasilnya ke publik. Tetapi yang terlihat pribadi-pribadi sudah inggin menghajar saja, ada pihak-pihak di DPR yang ingin menghajar Boediono, dan Sri Mulyani dengan agenda politik sendiri, akibatnya yang begini-gini, tidak sehat di poltik.

Mekanisme pemberhentian Menteri? Jangankan ada kesalahan atau diduga merosot kepercayaan publik, seperti Yusril, dimana pada waktu publik menginginkan di berhenti, dia diberhentikan. Jadi menurut saya Menteri Keuangan terserah Presiden peniliannya. Kalau saya lihat yang menganggu itu adalah bukan keberadaan Sri Mulyani, tapi kasus Century itu sendiri, jadi dengan menonaktifkan Sri Mulyani tidak akan menyelesaikan masalah, karena yang harus diselesaikan adalah kasus Century.

Sumber: Majalah Forum Keadilan, Edisi 34 Tahun 2009

0 komentar:

Posting Komentar