Sabtu, 13 November 2010

Pandangan Fiqih Soal Lingkungan


Krisis ekologi telah berlangsung secara sistematis. Semuanya akibat keserakahan manusia dan kecerobohan dalam penggunaan teknologi. Dampaknya adalah terjadinya bencana dimana-mana.
  
Oktober 2010 menjadi Oktober kelabu. Bencana alam terjadi dimana-mana dan menelan begitu banyak korban jiwa. Belum usai musibah banjir Wasior, Papua, terjadi tsunami di Mentawai Sumatera Barat dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Semua bencana tersebut terjadi karena terganggunya sistem keseimbangan karena ulah manusia yang serakah.
Contoh sederhana bagaimana manusia yang melahirkan bencana adalah soal kebiasaan membuang sampah sembarangan, misalnya ke sungai. Tumpukan sampah membuat dasar sungai menjadi dangkal. Sementara debit air yang lewat tetap dan mulai tak tertampung kali. Akibatnya, air pun mencari jalan menelusuri rumah penduduk sekitar kali.
Ironisnya, para pembuang sampah di kali tersebut kebanyakan adalah ummat Islam. Sebuah ummat yang memeluk agama yang selalu mengingatkan pentingnya kebersihan dan meletakan standar kebersihan dalam keimanan. Bahkan dalam hadis lain disebutkan secara jelas Allah itu indah dan menyukai keindahan.
Islam telah memperhatikan semua aspek kehidupan sampai pada yang terkecil. Baik berkaitan hubungan sesama manusia, sampai dengan hubungan antara manusia dengan alam. Semuanya diatur begitu detail, jelas dan tegas. Mengabaikan pengaturan tersebut, dampaknya pun diberitakan kitab suci Al Qur’an.
Tengok lah surat Al-A’raaf (7) ayat 56. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat-ayat di atas menjelaskan sifat manusia akan pasti berbuat kerusakan baik dalam skala kecil maupun besar terhadap bumi. Perbuatan yang lahir dari dorongan nafsu yang tak terkendali hingga perlu diatur. Namun ajaran tinggal ajaran. Alam rusak binasa. Dampaknya, suhu global meningkat karena adanya penebangan hutan yang semena-mena dan pencemaran udara yang kian masif.
Kondisi ini diperparah dengan pengeboran dan penggalian serta eksplorasi bumi yang kian tidak memperhitungkan faktor ‘ketangguhan’ bumi. Emas, minyak, dan berbagai barang tambang, semua dikeruk dari perut bumi dengan sebesar-besarnya. Padahal sebelumnya isi perut bumi itu bertindak sebagai penutup inti bumi yang terdiri dari gas.
Dampaknya bisa ditebak. Seperti balona bocor, lautan gas yang tadinya terkurung rapat dalam inti bumi merembes keluar dan menembus ke permukaan. Semburan lumpur Lapindo di Sidoardjo Jawa Timur yang entah kapan akan berhenti dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah adalah contoh gamblang fenomena rusaknya keseimbangan alam.
Al Qur’an melalui Surat Ar-Ruum ayat  41 sudah memperkirakan hal tersebut. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat di atas, menurut salah seorang ulama yang konsen terhadap persoalan fiqih lingkungan, Prof Ali Yafie, merupakan salah satu pengaturan Islam terhadap lingkungan. Dalam buku Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, ia menjelaskan bahwa melalui ayat itu Allah telah melarang tegas pengrusakan alam demi kepentingan manusia itu sendiri.
Menurut Alie Yafie, bangsa ini harus memiliki komitmen kuat untuk membaca tanda-tanda alam (natural signs). Pembacaan yang cerdas dan arif, tak cukup hanya sebatas kampanye penghijauan, atau ramai melakukan penanaman pohon usai bencana. Tapi juga mendongkrak kesadaran manusia Indonesia terhadap alam melalui agama.

FATHUL ULUM



Asep Saepudin Jahar, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
“Pendidikan Agama Sebatas Menghafal”
Kebanyakan negeri muslim, termasuk Indonesia, cenderung tak peduli aturan agama terkait ekologi. Padahal, Islam sudah mengajarkan prinsip, azas, dan tata cara perlindungan alam. “Ini karena pendidikan agama hanya sebatas hafalan bukan mengajarkan cara mengimplementasikan, ” kata Asep Saepudin Jahar. Berikut petikan wawancara Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu kepada fathul Ulum dari FORUM, pekan lalu:
Indonesia dikatakan sebagai wilayah yang rawan bencana dan salah satu penyebabnya adalah manusia. Apa yang menyebabkan umat muslim kurang cinta terhadap alam sekitarnya?  
Adanya alam ini sebenarnya untuk kebutuhan manusai, tapi yang ternyata manusia dalam menggunakan alam tanpa ada keseimbangan terutama hukum dan aturanya. Dalam Al-quran disebutkan bahwa munculnya kerusakan itu disebabkan tingkah pola atau hasil dari ulah tangan manusia. Jadi akibat kerusakan yang ada di bumi, lautan, hutan akibat kelakuan manusia. Sebanarnya yang disebutkan dalam Al-quran itu ingin menjelaskan bahwa adanya eksploitasi alam tanpa memberikan satu konservasi. Hutan ditebang tapi tanpa memberikan reboisasi. Allah mengatakan kalau kamu menghitung nikmatku maka tidak akan terhitung. Salah satunya adalah alam yang diberikan tapi manusia melihat bahwa alam tidak perlu untuk dijaga tapi di eksploitasi. Ini sebenarnya mengenai moralitas manusia yang megedepankan capital yang berakibat rusak ekosistem.         

Terus apa yang seharusnya dilakukan?   

Sebenarnya di dalam Islam ada konsep yang namanya “penjaga harta” yiatu menjaga unsur agama, rasio/akal, harta, keturunan dan martabat dan ini semua tidak terbatasi dengan unsur-unsur ritual. Misalnya untuk mencari harta di dalam ajaran Islam disyaratkan untuk mencari dari yang halal. Nah, artinya apa yang mereka eksplorasi itu merugikan orang lain atau tidak. Kenapa? Itu kembali kepada aturan dan ajaran agama yang menjadi tata nilai kehidupan bermasyarakat. Orang lebih melihat agama pada lingkup individual padahal lingkungannya menjadi sebuah hal yang sangat penting.    
Ulama sebagai panutan masyarakat, sepertinya belum terbiasa untuk mengejewantahkan isu tentang lingkungan. Apakah benar demikian?    
Saya teringat bahwa agamawan yang tercipta di masyarakat itu belum terbentuk pada budaya kekeluargaan. Jadi lebih kepada agama hanya dilihat sebagai perangkat spiritual dan ritual. Makanya itu kehidupannya hanya melihat ritual-ritual dan yang lain tidak. Padahal apabila ada satu kesadaran sosial/kekeluargaan maka ulama harus merefleksikan perubahan sosial karena dia punya ilmu dan bisa dijadikan panutan. Karenanya antara manusia dan alam akan memunculkan keseimbangan.   
Apakah karena pendidikan agama tentang pentingnya alam belum merata di masyarakat?
Ya, itu yang menjadi persoalan di dalam pembelajaran agama. Pembelajaran agama hanya bersifat kognitif pengetahuan belum bersifat tindakan atau prilaku afektif dan psikomotorik. Jadi ketika menjelaskan tentang keimanan maka yang hanya dipelari sebatas menghafal. Tapi permasalahannya adalah iman secara aktualitas seperti apa? Apa pentingya menghafal tapi tidak punya implementasi, sehingga sikap dan prilaku juga harus ditingkatkan. Sejak usia dini diberikan pelajaran bahwa kebersihan adalah sebagian dari pada iman. Tapi membuang sampah sembarangan ini lah kelemahannya. Dimana seharusnya bisa memberikan contoh atau budaya yang bersih   

Mengapa bisa seperti itu?

Inilah yang disebut dengan budaya. Artinya kesadaran seorang itu terbentuk karena budayanya. Ketika ajaran agama hanya sebagai doktrin kehidupan yang sulit karena hanya dijadikan sebagai ideologi. Tetapi dalam tataran implementasi yang saling mengelak seolah-olah tidak ada konsep.   

Upaya apa yang seharusnya dilakukan oleh pemuka agama?

Sangat sulit untuk mengharapkan dari agama. Yang dapat dibentuk adalah salah satu sistem kebijakan dari negara yang berupa hukum. Karena itu hanya sebatas kesadaran individu. Kalau ada law inforecmant yang menjadi bagian dari agama maka itu sangat bagus, jadi agama itu tidak hanya bersifat formalistik, misalnya berjilbab dan lain-lain. Jadi bukan disitu, tapi sikap disiplin yang harus dibudayakan. Dan itu bukan hanya seruan-seruan tapi juga harus dipositifiskan.


0 komentar:

Posting Komentar