Selama ini fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Tapi sekarang banyak kyai atau lembaga di daerah yang mengeluarkan fatwa. Seperti di Jawa Timur, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur (FMP3) mengharamkan rebonding, naik ojek serta foto pranikah (pre-wedding). Lalu siapa sebenarnya yang berhak mengeluarkan fatwa bagi umat Islam? MUI pusat atau lembaga daerah?, Sejauhmana keabsahannya fatwa dari MUI, ulama dan lembaga daerah? Berikut petikan wawancara Fathul Ulum kepada dua narasumber.
Asrorun Ni’am Sholeh
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat
Pernyataan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar yang mengatakan berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa haram hanyalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Didalam konteks tertentu ada kebenarannya pada satu segi.
Tetapi secara umum bahwa fatwa itu adalah penjelasan hukum agama, sebagai respon jawaban atas pertanyaan yang muncul dari muftahti (orang yang memintak fatwa). Berkaitan dengan kompetensinya siapa yang berhak yang mengeluarkan fatwa? Secara umum adalah seseorang atau lembaga yang punya kompetensi untuk itu.
Kriteria kompetensinya merupakan suatu hal yang diutamakan, karena melihat pentingnya fatwa dan tidak asal-asalan untuk dikeluarkan. Suatu fatwa adalah salah satu peristilahan atau dalam istilah fikihnya, maka kompetensi yang dibutuhkan dalam mengeluarkan fatwa adalah seseorang atau lembaga yang mempunyai kompetensi keilmuan dibidang hukum Islam atau kompetensi keilmuan dibidang fikih dalam hal ini.
Karena kalau dilihat bahwa Fatwa merupakan bagian dari pada proses ijtihad, yang dimasksud ijtihad adalah suatu upaya yang sungguh-sunguh untuk menghasilkan sebuah tuntunan atau hukum Islam yang diperoleh berdasarkan dari sumber-sumber yang benar.
Makanya di dalam konteks ini, maka fatwa merupakan sebagai salah satu hasil Ijtihad yang dihasilkan oleh ulama yang memiliki kompetensi kelimuan serta syarat-syarat tertentu, kompetensi kelimuan serta syarat-syarat itu diantaranya adalah mampu memahami hukum Islam dari sumber-sumbernya, mengetahui ilmu qiro’at, mengetahui ilmu dasar-dasar fatwa secara umum.
Kompetensi kelimuan serta syarat-starat ini dilihat dari sisi legalnya. Sehinga posisi fatwa merupakan bagian dari legal opinion (Opini hukum) akan tetapi ketika fatwa dari hasil ijtihad itu sudah dikuatkan oleh aspek legal oleh keputusan hakim atau keputusan yuridis. Dalam hal ini adalah undang-undang, makanya fatwa bergerak dari posisi legal opinion menjadi legal binding.
Yang dimaksud legal binding adalah ketetapan hukum, asalnya opini hukum tetapi ketika itu dikuatkan oleh undang-undang, dia akan menjadi keputusan hukum yang bersifat mengikat. Didalam konteks ini, terdapat suatau amar dan ketentuan undang-undang yang memberikan mandate yuridis, serta mandat konstitusional.
Pemberian fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia hanya dalam beberapa masalah diantaranya yang paling jelas adalah masalah ekonomi syariah. Jadi posisi fatwa, punya perbedaan dengan ketetapan hukum. Pada dasarnya fatwa sifatnya tidak mengikat, tetapi apabila fatwa hukum telah diperkuat atau diperintahkan oleh undang-undang untuk mengikuti fatwa, maka pada saat itu fatwa mempunyai daya ikat.
Bahtsul Masail Nahdatul Ulama (NU), Majelis Tahrir Muhammadiyah kemudian, sepanjang memenuhi ketentuan dan persyaratan maka itu juga bagian dari pada fatwa di dalam terminologi fikih. Tetapi fatwa-fatwa yang terkait dengan masalah keagamaan itu tidak semuanya menjadi kekuatan hukum, dan tidak semua mempunyai daya ikat yang mengikat seluruh masyarakat.
Kalau fatwa secara umum, memang dia tidak mengikat karena fatwa adalah tuntunan atau penjelasan hukum, persoalan itu diyakini kebenarannya, kemudian diikuti maka merupakan bagian dari kesadaran masyarakat akan kebenaran fatwa yang telah ditetapkan.
Pada intinya orang atau lembaga yang mengeluarkan fatwa itu memenuhi syarat ijtihad dan fatwa itu bisa personal bisa lembaga, di dalam istilah fikihnya kalau yang personal itu namanya ijtihad fardi (Ijtihad bersifat personal) kalau yang lembaga (Ijtihad Jamaiyah) ijtihad yang bersifat kolektif.
Ust. Darul Azka
Dewan Perumus Fatwa Haram Rebonding
Semua organisasi muslim bisa dan berhak membuat fatwa, karena fatwa itu urusannya adalah kapasitas, jadi yang menentukan boleh atau tidaknya membuat fatwa ditentukan pada kapasitas seseorang. Jika seseorang mempunyai kapasitas, kompeten kenapa tidak? Sehingga sangat dibolehkan membuat fatwa. Sepanjang syarat dan kualifikasi dalam bidang agama dimilki dan kompeten itu yang paling penting.
Dalam hal ini, apabila kita lihat misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang hanya mempunyai fatwa legal di indonesia. Seperti halnya yang disampaikan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar mengatakan berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa haram hanyalah MUI.
Itu sebenarnya mayoritas ulama di indonesia justru tidak sepakat. Persoalannya MUI kita hargai karena memiliki peran fatwa yang jelas penting di indonesia. kemudian dia melarang orang lain berfatwa dan menganggap hukum yang datang dari lembaga lain bukan fatwa itu sangat keliru.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Forum Musyawaroh Pondok Pesatren Puteri se-Jawa Timur (FMP3) mengenai fatwa rebonding haram, secara syar’i legal. apalagi dimasa sekarang sebenarnya sudah tidak ada lagi Mufti hakiki, yang namanya Mufti hakiki adalah orang yang punya kapasitas ijtihad, dan sekarang sudah tidak ada.
Makanya MUI pun bukan Mufti hakiki. Mereka posisinya hanya sebagai distributor pendapat-pendapat ulama, mengambil dari referensi kemudian difatwakan kepada masyarakat. Sebenarnya syarat membuat fatwa itu banyak. Kalau di zaman sekarang Mufti yang tidak memenuhi kualifikasi seperti sosok Mujtahid banyak.
Sosok mujtahid itu seperti Imam Syafi’I, Imam Ghozali dan mereka memang sosok Mujtahid. Sekarang untuk memnuhi syarat itu yang penting mereka berargumentasi referensi, kitab-kitab mu’tadaroh itu referensi-referensi yang sudah diplot sebagai referensi rujukan dalam hukum Islam.
Syarat yang kedua, mereka harus memilih pendapat-pendapat yang kuat. Secara garis besar itu memang yang paling penting kapasitas orangnya, yang memang harus berkompeten menjadi seorang mufti. Kemudian pendapat yang dikeluarkan itu harus memenuhi kriteria yang boleh difakwakan, bukan pendapat-pendapat yang lemah. Ini termasuk yang paling pokok.
Jadi fatwa yang dikeluarkan FMP3 pekan lalu adalah sah. Alasannya karena sudah mengambil dari referensi kitab-kitab dan pendapat yang kuat. Melihat didalam ayat-ayat Al-qur’an yang dijelasakan semua hal yang sudah diciptakan Allah. Dalam Al-qur’an dijelaskan “Dan janganlah merubah ciptaan Allah,” termasuk perubahan-perubahan fisik dan lain sebagainya.
Jika Fatwa itu datang dari lembaga atau perseorangan yang memenuhi kriteria mufti hakiki, bisa sangat mengikat tapi karena kita sudah kehilangan mufti hakiki, sekarang yang ada mufti majaji. Sehingga fatwa itu semuanya boleh mengambil fatwa dari manapun yang penting dia yakini bahwa seseorang atau lembaga yang membuat fatwa betul-betul ahli dalam bidang agama.
Sebab firman Allah mengatakan dan tanyakan kepada mereka yang ahli dzikir (kepada ulama) apabila kamu tidak memahami sebuah masalah. Kalau ditanyakan kepada FMP3 jawabannya adalah fatwa. Mau tanya kepada MUI jawabanya juga Fatwa.
Jadi fatwa yang dikeluarkan FMP3 kemarin sudah sesuai dengan kriteria di atas meskipun sifatnya fatwa majaji. Dan MUI pun fatwanya juga bersifat majaji. Sehingga intinya adalah baik perseorangan atau lembaga yang mengeluarkan fatwa berdasarkan hal tadi dijelaskan, boleh-boleh saja.
Sumber: Majalah Forum Keadilan, Edisi 38 Tahun 2009
tpi saya masih bingung soal fatwa ini... :-/