Senin, 15 November 2010

Tanggung Jawab Pengacara Terhadap Klien Buron

Sejak lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, keberadaan pengacara semakin terlegitimasi. Dalam UU ini posisi pengacara disamakan dengan penegak hukum lain. Oleh karenanya, pengacara mempunyai tugas untuk menjujung tinggi hukum serta menegakkan keadilan. Tapi di sisi lain pengacara mempunyai hak imunitas, hak yang tidak dapat dituntut Pidana maupun Perdata. Permasalahannya, bagaimana jika pengacara mendapati kliennya sebagai seorang buron? Bagaimana dengan tanggung jawab pengacara sebagai penegak hukum?

Eggie Sudjana
Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Sebagaimana yang telah diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pengacara atau siapa saja yang berani menjamin klien atau orang yang dalam proses hukum ketika masih diketahui keberadaanya, maka mereka yang menjaminkan dirinya harus dimintai pertanggung jawaban bila kliennya ternyata melarikan diri. Karena mereka telah berkomitmen untuk menjaminkan dirinya. Contoh, misalnya kasus-kasus baru ini, Bibit-Chadra, diamana banyak tokoh-tokoh yang mau menjaminkan dirinya supaya Bibit-Chandra diberikan penangguhan penahanan. Logikanya ketika yang tersangkut hukum itu kemudian melarikan diri, maka orang-orang yang menjaminkan atas dirinya wajib bertanggung jawab sesuai dengan ucapannya, dan bisa dilakukan penahanan atas dirinya. Hal ini sesuai dengan konteks pertanggungjawaban dalam penangguhan penahanan.

Namun dalam konteks proses penyidikan, apabila klien tadi melarikan diri, maka pengacara tidak bisa dengan serta merta dimintai pertangung jawaban. Karena tidak mungkin juga pengacara mengetahui dimana kliennya berada. Hal ini juga disebabkan pengacaranya kurang kooperatif terhadap klien, yang kemudian tiba-tiba menghilang. Jadi memang pada dasarnya penjaminan itu tanggung jawab logis pengacara, ketika berani menjaminkan diri, dan ini menyebabkan pengacara dapat dilakukan penahanan. Tapi ada juga yang diberi waktu sekian hari, atau sekian minggu untuk mencari dimana keberadaan kliennya.  

Persoalan penahanan pengacara (yang kliennya melarikan diri) tidak bisa dikaitkan dengan konteks hak imunitas yang dimiliki oleh pengacara, dengan alasan karena terkait dengan proses penjaminan atas kliennya. Kita bisa lihat sebenarnya apa itu diskripsi penjaminan, sehingga jelas tanggung jawabnya. Sehingga kalau kliennya kabur, pengacara tersebut harus ditahan. Jadi tidak benar kalau hak imunitas dipakai untuk melepaskan tanggung jawab penjaminan. Kalau hak imunitas dipakai dalam masalah seperti ini, jelas menyalahi prosedur hukum yang ada.    

Asumsi dalam proses penjaminan, selama kliennya diketahui masih ada dan diyakini tidak akan melarikan diri, maka pada waktu itu pengacara atau keluarganya, biasanya menjaminkan dirinya, atas proses orang yang tersangkut hukum ketika masih berjalan, sehingga ini diyakini oleh polisi tidak akan melarikan diri, logika berikutnya ternyata klien ini melarikan diri, maka yang menjamin atas dirinya harus dilakukan penahanan. Karena sejak awa klien ini telah memberitahukan atau menginformasikan, terkait siapa-siapa saja yang menjaminnya, oleh karenanya hal seperti ini harus diperhatikan betul oleh kepolisian khususnya penyidik.

Kalau dari awal pengacaranya tahu bahwa kliennya kabur, maka pengacara juga wajib melaporkan kliennya kepada polisi, dengan kondisi seperti ini maka nantinya pengacara akan mendapatkan keringanan dari polisi, karena telah memberitahukan bahwa ternyata kliennya kabur, sehingga dalam pencarian nantinya pengacara dan kepolisian bekerja sama untuk sama-sama mencari, dan mengejar keberadaan kliennya tersebut. Jadi tidak kemudian polisi serta-merta menahan pengacara tetap perlu melihat konteksnya.   

Proses penjaminan terhadap klien harus tertulis. Makannya dari awal saya katakan pengacara dapat ditahan, karena dia berani menjamin kliennya yang tidak benar. Ini sudah menjadi konsekuensi logis pengacara ditahan karena berani menjamin, dan tidak mungkin pengacara menjamin kalau kliennya tidak ada. 

Hak rahasia atas hubungan klien, tidak bisa dan tidak masuk dalam kasus seperti ini, karena sudah melanggar hukum yang lain, yaitu melarikan diri. Sehingga upaya yang bisa dilakukan adalah mengejar klienya, atau mencari tahu keberadaanya. Inilah salah satu bentuk dari konsekuensi logis pengacara. Jadi, logika kerahasiaan hubungan dengan klien itu, tidak bisa dijadikan tamen ketika kliennya tidak benar. Sama juga dengan logika kerahasian bank yang mana nasabah dirahasiakan, tapi kalau korupsi dan money londring harus diungkap. Dalam kasus seperti ini, saya ingin mengatakan bahwa hukum memang harus jelas dan kaku, tapi tetap ada pengecualian-pengecualian.  


Denny Kailimang, S.H., M.M.
Perhimpunan Advokat Indonesia  (PERADI)

Profesi advokat itu kan profesi yang sangat terhormat, mandiri dan bertanggung jawab. Artinya, dalam menjalankan tugas kepenacaraan, seorang pengacara harus hormat dan tunduk kepada undang-undang, peraturan-peraturan dan kode etik. Berkaitan dengan klein yang menjadi buron, berarti advokat itu tidak bisa mendapatkan kuasa dari dia, kecuali advokat mendapatkan kuasa sebelumnya.

Karena pekerjaan advokat adalah mendampingi dan memberi jasa hukum, berarti pekerjaan advokat membela hak atas kepentingan kliennya diluar ataupun ataupun di dalam pengadilan. Jadi kalau secara prosedur advokat mendapatkan kuasa dari orang yang menjadi  buron tadi, maka advokat mempunyai suatu kewajiban untuk membawa kliennya tersebut menghadap ke kepolisian, dan kliennya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, serta menjelaskan perkara hukum yang menyangkut padanya. 

Konstruksinya, kalau sudah ada hubungan dengan klien, maka ada hubungan secara lisan maupun tertulis, dan hal ini sudah dalam kerangka masalah tindak pidana. Artinya sudah ada hubungan secara tertulis, dan  harus berbentuk surat kuasa. Kalau tidak bisa memberikan surat kuasa, maka tidak bisa menjadi kuasa hukum, logika hukumnya begitu. 

Dengan kasus semacam ini harusnya advokat diminta pertanggung jawabannya. Pertanggung jawaban itu ada dua. Pertama. pertanggung jawaban profesi, terkait etis atau tidak etis. Kedua, pertanggung jawaban hukum, bisa saja faktor menghalang-halanggi, artinya advokat itu bisa diduga melakukan tindakan pidana menghalang-halanggi proses penyidikan. Misalnya setelah advokat berbicara di depan publik tentang kliennya yang menjadi buronan tadi, maka yang memberikan status buronan, bisa melakukan somasi kepada advokatnya, untuk meminta klarifikasi dan menghadirkan kliennya tersebut dalam waktu sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ini semua karena advokat sudah bertindak untuk dan atas nama klien. Apabila hal untuk menghadirkan kliennya tidak bisa, maka advokat harus mundur.

Advokat tidak bisa serta merta ditahan, karena ada poses terlebih dahulu. Prosenya adalah ada peringatan dari kepolisian karena advokat sudah bertindak untuk dan atas nama klien, dalam hal ini kliennya berstatus buron, sehingga ada proses peringatan, peringatan mulai dari pertama sampai tiga kal. Apabila tetap tidak memberitahukan keberadaan klienya, kemudian berbicara terus menerus di publik, maka perbuatan advokat ini disinyalir menghalang-halangi proses penyidikan, sehingga bisa diambil tindakan hukum secara pidana berdasarkan pasal 216 Kitab Undang-undang Hukun Pidana (KUHP). 

Penahanan advokat ini tidak bisa dikaitkan dengan hak imunitas yang dimiliki oleh advokat yang ada di dalam kode etik. Artinya, kalau advokat ini hanya bicara atas kepentingan kliennya saja, padahal kliennya sedang dicari, maka bukan dalam konteks imunitas itu. Perngertia imunitas di sini yakni pada proses penegakan hukum. Artinya bahwa perbuatan dia tidak taat kepada undang-undang. 

Jadi dalam kondisi seperti ini, bukan berarti advokat tidak kooperatif justru kalau kurang kooperatif maka advokat seharusnya menggundurkan diri dari awal, kewajiban hukum yang harus dipertanggung jawabkan advokat adalah harus menjun-jung tinggi hukum, sehingga harus dihormati, jadi apabila kliennya tidak mau datang, seharusnya advokat menyampaikan dengan baik-baik atas panggilan itu, dan itu wujud dari sikap advokat yang bertangung jawab secara hukum.

Sebenarnya salah satu tugas advokat yakni menjelaskan kliennya harus datang ketika ada panggilan ke Kepolisian dan menjelasakan apabila kliennya tidak datang maka ada sanksinya, karena itu adalah kewajiban hukum. Jadi jangan bicara lagi untuk dan atas nama klienya, bila kliennya tidak mau datang. Kesimpulannya bahwa advokat harus menjunjung tinggi undang-undang sebagai profesi advokat.            

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 30 Tahun 2009 

0 komentar:

Posting Komentar