Berawal dari dugaan rekening tak wajar (rekening gendut) yang dimiliki 17 perwira polisi. Indonosia Corruption Wacht (ICW) mengajukan permohonan sengketa informasi pada Komisi Informasi Pusat. Komisi Informasi Pusat memutus dan memerintahkan nama dan besaran rekening tidak wajar itu dibuka oleh Polri karena dianggap sebagai informasi terbuka. Polri pun mengelak, informasi yang dimaksud bersifat rahasia dan jika dibuka, penyidik dapat terancam sanksi pidana.
Dugaan rekening gendut milik perwira polisi, mungkin selamanya akan menjadi misteri yang tak terpecahkan, bila tidak ada politik will dari pihak kepolisian sendiri. Rasa ewoh pakewoh dalam mengungkap kasus yang melibatkan satu sragam, hampir mencapai titik kebenaran tak bisa disentuhnya baju coklat itu. Meski Putusan Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat menyatakan informasi nama dan besaran pemilik rekening gendut adalah informasi terbuka dan memerintahkan untuk dibuka. Hingga detik ini, Polri masih mengkrangkeng dokumen pemilik rekening gendut itu dalam lemari besi.
Kurang lebih 9 (sembilan) bulan sejak putusan ajudikasi non litigasi sengketa informasi publik dibacakan pada tanggal 8 Februari 2011, Polri bersikukuh dan tak menggubris Putusan Komisi Informasi yang bernomor 002/X/KIP-PS-A/2010 itu. Tindakan atau sikap Polri seakan mengebiri Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Meski Komisi Informasi Pusat telah menilai dan memutus nama-nama pemilik 17 rekening perwira polisi sebagai informasi terbuka. Korps Bhayangkara itu terus berlindung di balik Pasal 10 A UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal ini seakan menjadi benteng bahkan dapat dikatakan sebagai tameng penolakan untuk menjalankan perintah Putusan Komisi Informasi Pusat untuk membuka data nama dan besaran pemilik rekening perwira polisi yang diduga tidak wajar itu.
Pasal 10 A memang mengatakan bahwa apabila penyidik membocorkan informasi nama dan besaran dana yang berada dalam rekening pribadi kepada publik dapat diancam sanksi pidana. Tak hanya UU TPPU yang dikambing hitamkan oleh Polri, bahkan Pasal 17 huruf h UU Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur mengenai informasi yang dikecualikan juga dijadikan alasan pembenar untuk tidak membuka rekening perwira polisi yang diduga bermasalah. Pertanyaan yang menjadi pembahasan dalam penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat adalah apakah pemilik rekening gendut itu masuk dalam kualifikasi informasi yang dikecualikan? Inilah yang menjadi batu uji dalam sidang ajudikasi komisi informasi.
Pada prinsipnya, informasi yang berkaitan dengan rekening adalah ranah informasi yang dikecualikan, namun berdasarkan pengujian yang dilakukan dalam sidang ajudikasi. Tidak ada konsekuensi yang dapat ditimbulkan ketika nama dan besaran pemilik rekening yang diduga tidak wajar itu dibuka oleh isntitusi yang sekarang di pimpin oleh Timur Pradopo itu. Sebab, pada tahap penyelidikan dikepolisian, pihak-pihak yang memiliki rekening gendut sudah pernah dipanggil oleh pihak penyidik, sehingga konsekuensi yang mungkin dapat ditimbulkan seperti pemilik melarikan diri, menghilangkan atau memindahkan uangnya ke rekening pihak lain, dapat diketahui. Dengan demikian, membuka informasi nama dan besaran nilai tidak terbukti dapat mengungkap rahasia pribadi, sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP. Selain itu, dalam putusannya, majelis komisioner berpendapat membuka informasi besaran nilai tidak terbukti dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP.
Dengan pengujian konsekuensi inilah, maka alasan pasal 17 huruf h UU KIP tidak relevan untuk dijadikan alasan, apalagi pasal 10 A UU TPPU. Karena informasi ini sudah diputuskan menjadi informasi yang terbuka, tidak ada alasan hukum lagi bagi Polri untuk mengelak dan tidak melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik. Kecuali, bila Polisi melaksanakan pasal 48 ayat (1) UU KIP dengan mengajukan keberatan dan menempuh jalur hukum atas putusan KI Pusat.
Akan tetapi, prosedur penyelesaian sengketa informasi yang diatur oleh UU KIP tidak ditempuh oleh Polri. Anehnya, Polri melawan arus dari prosedur penyelesaian sengketa informasi dengan mengugat Putusan Komisi Informasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dalam pokoknya menganggap bahwa putusan KIPusat bersifat keputusan (besiking) atau dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Mungkin Polri sadar bahwa langkah hukum itu menyesatkan, pasalnya menurut ketentuan Pasal 53 UU PTUN yang dapat mengajukan permohonan gugatan adalah subyek hukum (individual) bukan Badan Publik, dapat dikatakan bahwa pengugat dianggap tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan. Sebelum gugatan itu diputus PTUN, Mabes Polri lebih dahulu mencabut gugatannya.
Bahwa sebagaimana penjelasan Pasal 23 UU KIP, Putusan Ajudikasi Komisi Informasi mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan. UU KIP telah memberikan amanat (fungsi) kepada lembaga yang dibentuk berdasarkan UU untuk memeriksan, dan memutus sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi, sehingga dengan fungsi tersebut lembaga ini dapat dikatakan sebagai lembaga “semi yudikatif” karena mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa di luar pengadilan, dan bila ada pihak yang keberatan seperti yang terjadi di atas dapat mengajukan gugatan ke PTUN dan Pengadilan Negeri hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
Putusan KI Pusat mempunyai jangka waktu selama 14 hari kerja setelah diterimanya putusan sebagaimana ketentuan pasal 48 ayat (1) UU KIP. Bila dalam jangka waktu yang ditentukan salah satu satu pihak atau kedua belah pihak tidak ada yang keberatan (menerima) putusan ajudikasi dari Komisi Informasi, dengan sendirinya para pihak menerima putusan tersebut dan konsekuensinya, pihak yang diperintahkan atau dikalahkan wajib menjalankan putusan Komisi Informasi karena putusan itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht). Sebagaimana kasus yang diungkap di atas, maka pihak Polri harus menjalankan putusan tersebut. Hukum diciptakan untuk mengatur, memaksa, tapi Polri sebagai institusi penegakan hukum sepertinya sama halnya dengan subyek yang tidak taat pada hukum.
Putusan Komisi Informasi Bisa Dieksekusi
Masyarakat, tentunya akan kecewa pada institusi yang sudah berusia 65 tahun ini karena tidak dapat memberikan contoh dan panutan untuk taat pada hukum. Seharusnya Polri bisa menunjukkan sikap yang taat hukum sehingga masyarakat bisa mencontoh perbuatan yang patuh hukum. Polri harusnya menunjukan sikap taat hukum, terlebih lagi bahwa UU Keterbukaan Informasi Publik juga mempunyai aturan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 51-57 UU KIP.
Kembali pada masalah putusan yang tidak mempunyai daya eksekusi. Hal ini memang masih menjadi pekerjaan rumah pada institusi (Komisi Informasi) yang baru dibentuk pada 1 Juni 2009 ini. Perbincangan mengenai kelemahan atas putusan ajudikasi non litigasi sengketa informasi publik dari Komisi Informasi tak dapat dihindarkan. Hampir semua orang mengatakan bahwa putusan ajudikasi tersebut tidak bisa dieksekusi, demikian yang terjadi dengan salah satu kasus yang telah diputus dan tidak bisa dilakukan upaya paksa itu. Persoalan itu, secara yuridis diakui UU KIP yang tidak mengatur bagaimana cara menjalankan putusan tersebut, sehingga yang terjadi putusan ajudikasi itu berguling-guling tak terarah sebagaimana kasus yang terurai di atas sebagai akibat tidak adanya norma hukum.
Pembuatan Undang-Undang memang tidak akan pernah sempurna dan hal tersebut merupakan proses yang alami, akan tetapi dengan berjalannya waktu, kelemahan dan kelebihan itu terbaca dengan komprehensif, seperti halnya dengan UU KIP yang tengah berjalan kurang lebih 2 (dua) tahun ini mengalami berbagai macam kendala dalam pelaksanaannya terutama mengenai mekanisem proses penyelesaiaan sengketa informasi publik.
Terhadap kelemhan tersebut, Pimpinan atau Komisioner Komisi Informasi Pusat sepertinya mengetahui dengan persis bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kelemahan UU KIP dengan cara meminta kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Perma ini bertujuan untuk mengatur cara mengajukan keberatan atas putusan ajudikasi dari Komisi Informasi, kasasi, dan mengetur mengenai eksekusi putusan Komisi Informasi.
Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa pada Mei 2011 telah mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 085/KMA/SK/V/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Atas Putusan Komisi Informasi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Negeri. Tim Pokja yang dibentuk berdasarlan SK tersebut, telah merampungkan kerjanya ditandai terbentuknya Peraturan Mahkamah Agung dengan Nomor 02 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, yang ditetapkan pada tanggal 29 November 2011 oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dengan Perma 02/2011 ini, Putusan Ajudikasi Non Litigasi Sengketa Informasi Publik yang telah diputus Komisi Informasi dapat dilakukan upaya eksekusi. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasa1 12 ayat (1) “Putusan Komisi lnformasi yang berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan yang berwenang oleh Pemohon lnformasi.” Seperti dikatakan diawal bahwa putusa ajudikasi sengketa informasi antara Mabes Polri dan ICW sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui Perma ini ICW bisa mengajukan penetapan eksekusi.
Adapun tata cara pengajuan eksekusi diatur dalam Pasal 12 ayat (2) “Permohonan untuk mendapatkan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan salinan resmi putusan Komisi Informasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut ke Pengadilan dalam wilayah hukum Badan Publik sebagai Termohon Eksekusi.” Muncul pertanyaan, apakah Perma 02 tahun 2011 ini dapat dijadikan instrumen hukum untuk mengajukan penetapan eksekusi sementara Perma ini lahir setelah sengketa informasi antara ICW dan Mabes Polri diputus Komisi Informasi?
Pada dasarnya Perma ini mulai berlaku sejak ditetapkannya, perihal mengenai apakah Perma ini berlaku untuk kasus Sengketa Informasi yang dimaksud di atas. Jawabannya bisa, Perma ini berlaku surut dan dapat dijadikan dasar hukum untuk membuka kembali dan menjalankan putusan Komisi Informasi yang sudah berkekuatan hukum tetap dan putusan tersebut tidak dijalankan oleh pihak yang dikalahkan. Pasal 13 ayat (2) “Terhadap putusan Komisi Informasi yang telah diputus namun belum dilaksanakan dapat dimintakan penetapan eksekusi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.” Dengan demikian, putusan ajudikasi sengketa informasi bernomor 002/X/KIP-PS-A/2010 dapat dimintakan penetapan dari pengadilan.
Masyarakat tentunya mengharapkan terjadinya peradilan yang bersih, jujur dan adil sebagaimana asas due process of law. Inilah yang menjadi tantangan badan publik untuk menjalankan UU KIP dan perlu penataan dan kesiapan semua badan publik untuk menjalankan termasuk juga dengan Komisi Informasi yang menjalankan UU KIP ini, karena besar kemungkinan akan berhadapan dengan UU yang dijalankan.




