Senin, 05 Desember 2011

Akankah Misteri Rekening Gendut Perwira Polri Terpecahkan


Berawal dari dugaan rekening tak wajar (rekening gendut) yang dimiliki 17 perwira polisi. Indonosia Corruption Wacht (ICW) mengajukan permohonan sengketa informasi pada Komisi Informasi Pusat. Komisi Informasi Pusat memutus dan memerintahkan nama dan besaran rekening tidak wajar itu dibuka oleh Polri karena dianggap sebagai informasi terbuka. Polri pun mengelak, informasi yang dimaksud bersifat rahasia dan jika dibuka, penyidik dapat terancam sanksi pidana.


Dugaan rekening gendut milik perwira polisi, mungkin selamanya akan menjadi misteri yang tak terpecahkan, bila tidak ada politik will dari pihak kepolisian sendiri. Rasa ewoh pakewoh dalam mengungkap kasus yang melibatkan satu sragam, hampir mencapai titik kebenaran tak bisa disentuhnya baju coklat itu. Meski Putusan Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat menyatakan informasi nama dan besaran pemilik rekening gendut adalah informasi terbuka dan memerintahkan untuk dibuka. Hingga detik ini, Polri masih mengkrangkeng dokumen pemilik rekening gendut itu dalam lemari besi. 

Kurang lebih 9 (sembilan) bulan sejak putusan ajudikasi non litigasi sengketa informasi publik dibacakan pada tanggal 8 Februari 2011, Polri bersikukuh dan tak menggubris Putusan Komisi Informasi yang bernomor 002/X/KIP-PS-A/2010 itu. Tindakan atau sikap Polri seakan mengebiri Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Meski Komisi Informasi Pusat telah menilai dan memutus nama-nama pemilik 17 rekening perwira polisi sebagai informasi terbuka. Korps Bhayangkara itu terus berlindung di balik Pasal 10 A UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal ini seakan menjadi benteng bahkan dapat dikatakan sebagai tameng penolakan untuk menjalankan perintah Putusan Komisi Informasi Pusat untuk membuka data nama dan besaran pemilik rekening perwira polisi yang diduga tidak wajar itu.

Pasal 10 A memang mengatakan bahwa apabila penyidik membocorkan informasi nama dan besaran dana yang berada dalam rekening pribadi kepada publik dapat diancam sanksi pidana. Tak hanya UU TPPU yang dikambing hitamkan oleh Polri, bahkan Pasal 17 huruf h UU Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur mengenai informasi yang dikecualikan juga dijadikan alasan pembenar untuk tidak membuka rekening perwira polisi yang diduga bermasalah. Pertanyaan yang menjadi pembahasan dalam penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat adalah apakah pemilik rekening gendut itu masuk dalam kualifikasi informasi yang dikecualikan? Inilah yang menjadi batu uji dalam sidang ajudikasi komisi informasi. 

Pada prinsipnya, informasi yang berkaitan dengan rekening adalah ranah informasi yang dikecualikan, namun berdasarkan pengujian yang dilakukan dalam sidang ajudikasi. Tidak ada konsekuensi yang dapat ditimbulkan ketika nama dan besaran pemilik rekening yang diduga tidak wajar itu dibuka oleh isntitusi yang sekarang di pimpin oleh Timur Pradopo itu. Sebab, pada tahap penyelidikan dikepolisian, pihak-pihak yang memiliki rekening gendut sudah pernah dipanggil oleh pihak penyidik, sehingga konsekuensi yang mungkin dapat ditimbulkan seperti pemilik melarikan diri, menghilangkan atau memindahkan uangnya ke rekening pihak lain, dapat diketahui. Dengan demikian, membuka informasi nama dan besaran nilai  tidak terbukti dapat mengungkap rahasia pribadi, sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP. Selain itu, dalam putusannya, majelis komisioner berpendapat membuka informasi besaran nilai tidak terbukti dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP.

Dengan pengujian konsekuensi inilah, maka alasan pasal 17 huruf h UU KIP tidak relevan untuk dijadikan alasan, apalagi pasal 10 A UU TPPU. Karena  informasi ini sudah diputuskan menjadi informasi yang terbuka, tidak ada alasan hukum lagi bagi Polri untuk mengelak dan tidak melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik. Kecuali, bila Polisi melaksanakan pasal 48 ayat (1) UU KIP dengan mengajukan keberatan dan menempuh jalur hukum atas putusan KI Pusat.

Akan tetapi, prosedur penyelesaian sengketa informasi yang diatur oleh UU KIP tidak ditempuh oleh Polri. Anehnya, Polri melawan arus dari prosedur penyelesaian sengketa informasi dengan mengugat Putusan Komisi Informasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dalam pokoknya menganggap bahwa putusan KIPusat bersifat keputusan (besiking) atau dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Mungkin Polri sadar bahwa langkah hukum itu menyesatkan, pasalnya menurut ketentuan Pasal 53 UU PTUN yang dapat mengajukan permohonan gugatan adalah subyek hukum (individual) bukan Badan Publik, dapat dikatakan bahwa pengugat dianggap tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan. Sebelum gugatan itu diputus PTUN, Mabes Polri lebih dahulu mencabut gugatannya.   

Bahwa sebagaimana penjelasan Pasal 23 UU KIP,  Putusan Ajudikasi Komisi Informasi mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan. UU KIP telah memberikan amanat (fungsi) kepada lembaga yang dibentuk berdasarkan UU untuk memeriksan, dan memutus sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi, sehingga dengan fungsi tersebut lembaga ini dapat dikatakan sebagai lembaga “semi yudikatif” karena mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa di luar pengadilan, dan bila ada pihak yang keberatan seperti yang terjadi di atas dapat mengajukan gugatan ke PTUN dan Pengadilan Negeri hingga kasasi ke Mahkamah Agung.   

Putusan KI Pusat mempunyai jangka waktu selama 14 hari kerja setelah diterimanya putusan sebagaimana ketentuan pasal 48 ayat (1) UU KIP. Bila dalam jangka waktu yang ditentukan salah satu satu pihak atau kedua belah pihak tidak ada yang keberatan (menerima) putusan ajudikasi dari Komisi Informasi, dengan sendirinya para pihak menerima putusan tersebut dan konsekuensinya, pihak yang diperintahkan atau dikalahkan wajib menjalankan putusan Komisi Informasi karena putusan itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht). Sebagaimana kasus yang diungkap di atas, maka pihak Polri harus menjalankan putusan tersebut. Hukum diciptakan untuk mengatur, memaksa, tapi Polri sebagai institusi penegakan hukum sepertinya sama halnya dengan subyek yang tidak taat pada hukum.

Putusan Komisi Informasi Bisa Dieksekusi

Masyarakat, tentunya akan kecewa pada institusi yang sudah berusia 65 tahun ini karena tidak dapat memberikan contoh dan panutan untuk taat pada hukum. Seharusnya Polri bisa menunjukkan sikap yang taat hukum sehingga masyarakat bisa mencontoh perbuatan yang patuh hukum. Polri harusnya menunjukan sikap taat hukum, terlebih lagi bahwa UU Keterbukaan Informasi Publik juga mempunyai aturan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 51-57 UU KIP. 

Kembali pada masalah putusan yang tidak mempunyai daya eksekusi. Hal ini memang masih menjadi pekerjaan rumah pada institusi (Komisi Informasi) yang baru dibentuk pada 1 Juni 2009 ini. Perbincangan mengenai kelemahan atas putusan ajudikasi non litigasi sengketa informasi publik dari Komisi Informasi tak dapat dihindarkan. Hampir semua orang mengatakan bahwa putusan ajudikasi tersebut tidak bisa dieksekusi, demikian yang terjadi dengan salah satu kasus yang telah diputus dan tidak bisa dilakukan upaya paksa itu. Persoalan itu, secara yuridis diakui UU KIP yang tidak mengatur bagaimana cara menjalankan putusan tersebut, sehingga yang terjadi putusan ajudikasi itu berguling-guling tak terarah sebagaimana kasus yang terurai di atas sebagai akibat tidak adanya norma hukum.  

Pembuatan Undang-Undang memang tidak akan pernah sempurna dan hal tersebut merupakan proses yang alami, akan tetapi dengan berjalannya waktu,  kelemahan dan kelebihan itu terbaca dengan komprehensif, seperti halnya dengan UU KIP yang tengah berjalan kurang lebih 2 (dua) tahun ini mengalami berbagai macam kendala dalam pelaksanaannya terutama mengenai mekanisem proses penyelesaiaan sengketa informasi publik.

Terhadap kelemhan tersebut, Pimpinan atau Komisioner Komisi Informasi Pusat sepertinya  mengetahui dengan persis bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kelemahan UU KIP dengan cara meminta kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Perma ini bertujuan untuk mengatur cara mengajukan keberatan atas putusan ajudikasi dari Komisi Informasi, kasasi, dan mengetur mengenai eksekusi putusan Komisi Informasi.

Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa pada Mei 2011 telah mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 085/KMA/SK/V/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Atas Putusan Komisi Informasi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Negeri. Tim Pokja yang dibentuk berdasarlan SK tersebut, telah merampungkan kerjanya ditandai terbentuknya Peraturan Mahkamah Agung dengan Nomor 02 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, yang ditetapkan pada tanggal 29 November 2011 oleh Ketua Mahkamah Agung. 

Dengan Perma 02/2011 ini, Putusan Ajudikasi Non Litigasi Sengketa Informasi Publik yang telah diputus Komisi Informasi dapat dilakukan upaya eksekusi. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasa1 12 ayat (1) “Putusan Komisi lnformasi yang berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan yang berwenang oleh Pemohon lnformasi.” Seperti dikatakan diawal bahwa putusa ajudikasi sengketa informasi antara Mabes Polri dan ICW sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui Perma ini ICW bisa mengajukan penetapan eksekusi.

Adapun tata cara pengajuan eksekusi diatur dalam Pasal 12 ayat (2) “Permohonan untuk mendapatkan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan salinan resmi putusan Komisi Informasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut ke Pengadilan dalam wilayah hukum Badan Publik sebagai Termohon Eksekusi.” Muncul pertanyaan, apakah Perma 02 tahun 2011 ini dapat dijadikan instrumen hukum untuk mengajukan penetapan eksekusi sementara Perma ini lahir setelah sengketa informasi antara ICW dan Mabes Polri diputus Komisi Informasi?

Pada dasarnya Perma ini mulai berlaku sejak ditetapkannya, perihal mengenai apakah Perma ini berlaku untuk kasus Sengketa Informasi yang dimaksud di atas. Jawabannya bisa, Perma ini berlaku surut dan dapat dijadikan dasar hukum untuk membuka kembali dan menjalankan putusan Komisi Informasi yang sudah berkekuatan hukum tetap dan putusan tersebut tidak dijalankan oleh pihak yang dikalahkan. Pasal 13 ayat (2) “Terhadap putusan Komisi Informasi yang telah diputus namun belum dilaksanakan dapat dimintakan penetapan eksekusi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.” Dengan demikian, putusan ajudikasi sengketa informasi bernomor 002/X/KIP-PS-A/2010 dapat dimintakan penetapan dari pengadilan. 

Masyarakat tentunya mengharapkan terjadinya peradilan yang bersih, jujur dan adil sebagaimana asas due process of law. Inilah yang menjadi tantangan badan publik untuk menjalankan UU KIP dan perlu penataan dan kesiapan semua badan publik untuk menjalankan termasuk juga dengan Komisi Informasi yang menjalankan UU KIP ini, karena besar kemungkinan akan berhadapan dengan UU yang dijalankan.   





Read more »

Minggu, 04 Desember 2011

Memburu ‘Mahkluk Halus Berdasi’ Melalui UU Keterbukaan Informasi Publik



Bangsa ini tak henti-hentinya dilanda bencana, kali ini bencana yang datang lebih dahsyat bila dibandingkan dengan bencana alam yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam beberapa tahun silam. Bencana yang saat ini melanda bangsa ini adalah “tsunami koruptor” (koruptor-red) yang semakin memperlihatkan gelombangnya disetiap intansi pemerintahan. 

Sosok koruptor bak “hantu berdasi” yang bergentayangan dan semakin berani menunjukkan tabi’atnya. Keberadaan mereka (koruptor) sudah kian meresahkan masyarakat, para hantu-hantu berdasi ini mulai hidup subur dan me-ngepet uang rakyat mulai dari tingkat RT/RW, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pemerintahan pusat.

Meski, lembaga ‘pawang hantu berdasi’ (Lembaga superbody: (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi) kian menunjukkan aksinya dengan menangkap pra hantu yang berada di legislative, eksekutif, yudikatif dan instansi di luar lembaga negara. Toh, ‘hantu-hantu’ ini tetap saja tidak gentar dan melakukan perlawanan terhadap ‘pawang hantu’ tersebut. Entah mengapa para koruptor itu masih saja nekat melakukan penghisapan terhadap uang rakyat.    

Tak hanya berani melakukan perlawanan ‘pawang hantu berdasi’, lembaga superbody tersebut seakan dikebiri dengan berbagai macam penampilan beserta dengan modusnya untuk menghisap uang rakyat. Ulah para koruptor bak cerita rakyat yang sering memprofokasi kehadirannya dengan menunjukkan penampakan bak modus Tuyul. Di mana Tuyul ini terkenal dengan aksinya di malam hari dalam menggarong harta seseorang di kala pemiliknya tidur lelap. Demikian ini modus yang dilakukan ‘hantu yang berakal’ itu di instansi pemerintahan, disaat sistim yang lemah, adanya kebocoran di sana sini, tidak adanya pengawasan dari rakyat, secara berlahan dan bertahap ‘hantu-hantu berdasi’ itu menggarong uang rakyat dengan atas nama kegiatan yang diketahui adalah kegiatan fiktif.
  
Lebih dari ulah Tuyul, Hantu Pocong (Koruptor bak Pocong) tak kalah sadisnya melakukan lompatan-lompatan demi mendapatkan tender dari pemerintah, kasus di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sepertinya tepat sebagai asumsi modus lompatan Pocong. Kasus dugaan suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) kawasan transmigrasi di Papua yang menjerat Oknum di Kemenakertrans telah melakukan loncatan-loncatan bak Pocong berjalan dengan cara mengandeng Perusahan untuk melakukan transaksi, padahal Program tersebut anggarannya belum selesai ditetapkan. Untung saja, “Pawang Hantu” tak kalah lincahnya untuk melakukan lompatan-lompatan dahsyat untuk menangkap para ‘hantu berdasi’ itu.

Bila dibandingkan dengan modus yang dilakukan Koruptor tak ubahnya Tuyul dan Pocong, hantu koruptor yang bertaring ini lebih gila lagi dalam melakukan aksinya untuk menggondol uang rakyat, tak setengah-setengah menghisapnya, bahkan yang dihisap harus sampai mati. Dialah ‘Koruptor layaknya Hantu Drakula’, lenyapnya penanganan kasus BLBI serta tak seriusnya penanganan hukum kasus Bailout Bank Century yang kental dengan politisasi menjadi deretan cerita rakyat yang akan dikenang sepanjang masa, jika kasus ini tak mampu diungkap. ‘Koruptor layaknya Drakula’ ini tak hanya menghisap habis uang negara, bahkan masyarakat (nasabah) Bank Century pun menjadi korban akan ganasnya Drakula ini yang pelakunya terindikasi berjejaring dengan penguasa. Tak ayal, aksi penghisapan dengan cara tidak berprikemanusiaan ini berhasil mengelabuhi upaya penegakan hukum dan pemerintah seakan diam tak punya hati.  

Survei KPK, Audit BPK dan PPATK Memburu ‘Hantu Berdasi’

Boleh orang bilang, bahwa keberadaan ‘hantu berdasi’ (koruptor) sudah tidak menjamur lagi pasca dibentuknya ‘pawang koruptor’, tapi berdasarkan Survei Integritas Anti-Suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 22 instansi dan dilakukan terhadap 89 instansi pusat, 7 instansi vertical, dan 69 instansi pemerintah daerah dengan responden 15.540 orang, ‘hantu-hantu’ itu bergentayangan dan saling kompromi dengan jenis hantu lainnya di dalam sistem pemerintahan yang korupsinya tengah membudaya.  

Berdasarkan survei Integritas Anti-Suap yang diumumkan KPK pada  November 2011, jenis-jenis hantu itu semakin menampakkan wujudnya, dan salah satu lembaga yang paling banyak ditempati ‘hantu berdasi’ berada di Kementerian Agama dengan memiliki indeks integritas terendah mencapai 5,37 disusul Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5,44, dan Kementerian Koperasi dan UKM 5,52. Tak disangka, lembaga yang notabene sebagai penjaga moral dan relegiusitas itu (Kementerian Agama) telah terkontaminasi dengan hantu-hantu berakal, dan para hantu ini kelihatannya lebih nyaman bergaul dengan lembaga yang harusnya menjadi punggawa dalam membersihkan budaya koruptor dengan pendekatan kitab-kitab suci itu, lembaga ini kian dipertanyakan publik.

Kementerian Agama yang dipimpin Suryadahrma Ali yang juga merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sepertinya harus sesegera mungkin melakukan pemberantasan terhadap hantu di instansinya, bila perlu ‘pawang-pawang hantu’ dari berbagai macam daerah didatangkan guna membasmi keberadaan mereka (koruptor). Survey yang dilakukan KPK, kiranya tidak perlu dibantah lagi oleh Menteri Agama dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Kementerian Koperasi dan UKM dipunggawai oleh Syarief Hassan yang merupakan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, mereka harusnya lebih ajek untuk melakukan perubahan-perubahan, sehingga masyarakat kembali percaya dengan kepemimpinan mereka. 

Posisi hasil Survey Integritas Anti-Suap KPK yang menempatkan Kementerian Agama mendapat urutan nomor satu yang rawan penyelewengan terhadap anggaran (Korup) semakin nyata, hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya dua orang sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi proyek pengadaan alat laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA) di  madrasah tsanawiyah senilai Rp27,5 miliar dan aliyah sebesar Rp44 miliar. Dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut yaitu: pejabat pembuat komitmen di Kementerian Agama (inisial S), dan konulstan teknologi informasi (inisial IBM). Akibat adanya praktek korupsi dalam proyek tersebut, negara diduga menderita kerugian Rp25 miliar. (Sumber: Media Inonesia, halaman 16, edisi Jumat, 2 Desember 2011.)  

Dari awal, publik sudah was-was dan mempunyai berbagai pandangan bila suatu kementeriaan dipimpin para politisi, namun bagaimanapun juga presiden yang diusung oleh partai politik dan dipilih rakyat mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menterinya dari singgah sana yang penuh dengan kompromi itu. Secara umum, kursi nomor satu di kementerian itu diduduki para politisi tidak luput dari adanya dukungan partainya untuk memenangkan calon presiden, dan bila menang 99 % akan mendaptkan jatah kursi. Dan ini menjadi hal yang wajar bagi permainan politik yang ada di Indonesia, sangat mustahil bagi partai politik yang tidak mendukung pemenangan calon presiden kemudian mendapatkan kursi di kementerian.

Oleh karena itulah, publik dari awal sudah memprediksi bila suatu kementerian di pimpin para politis, independensi mereka menjadi taruhan dan ini sangat mustahil bila terjadi kemandirian, kompromi politik kembali terjadi dalam hal ini, jika menteri membelot dari jalur politik bisa jadi mereka akan terdepak dari singgah sana tersebut. Yang lebih  mencengangkan, lembaga eksekutif yang berada di daerah yang dipunggawai oleh kader-kader politik menjadikan lembaga eksekutif dan legislative sebagai tempat untuk mengumpulkan ‘Uang Haram’ dengan berbagai macam penggunaan, tidak sedikit untuk biaya kampanye atau untuk mengembalikan modal kampanye, pandangan ini tentunya tetap menggunakan asas presemption of innocent (praduga tak bersalah). 

Hantu-hantu yang kian marak di rezim sekarang telah mempertegas bahwa bangsa ini tidak mempunyai konsep yang jelas dalam pemberantasan korupsi. Sebab, korupsui tidak hanya menjamur di lembaga pemerintahan, bahkan aliran dana itu digunakan sebagai modal partai politik. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  menunjukkan putaran dana partai politik dalam kurun 2007 hingga 2010 mencapai Rp 300 triliun. Ada dugaan dana Bantuan Sosial (Bansos) dan proyek negara lainnya disalahgunakan untuk mendanai operasional partai politik. Inilah, kondisi rill, betapa kekuasaan itu dijadikan sebagai alat memeras dan menghisap kekeyaan rakyat, dan kembali menegaskan betapa gemuknya hantu-hantu itu bergentayangan untuk mengumpulkan ‘Uang Haram’.  

Hantu-hantu yang kian marak di rezim sekarang ini tidak hanya didominasi oleh hantu senior, bahkan hantu junior seolah tidak ingin kalah dengan pimpinannya, dan senior-nya. Hal ini bisa dibuktikan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang menemukan banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda berusia 28 sampai 38 tahun yang terindikasi korupsi. Modusnya unik, bersama sang isteri anak muda ini secara aktif mencoba menyamarkan dan menyembunyikan harta yang didapat secara haram. Hantu muda ini tak sadar bahwa ulahnya tersebut dapat menjerumuskan dan merugikan keluarganya yang tak berdosa.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang dapat menjerat istri dan anaknya masuk lingkaran setan dan pada akhirnya mendekam di bui.

UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai solusi

Ditetapkan pada tanggal 30 April 2008, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berserta turunannya, seakan menjadi ancaman bagi koruptor untuk melakukan aksinya, sebab UU ini bila dijalankan dengan baik maka koruptor tidak akan bisa menutup-nutupi kegiatan penghisapan uang rakyat. Pasalnya, dalam UU Keterbukaan Informasi Publik ini mewajibkan bagi pejabat negara dan badan publik untuk mengumumkan segala jenis informasi yang dalam UU ini bersifat terbuka. Sehingga, dalam bentuk apa pun kegiatan yang dilakukan oleh instasni pemerintahan dapat diketahui oleh publik.  

Dengan demikian, bila ada kegiatan dan berapa anggaran yang digunakan tidak terpampang di dalam website masing-masing instansi, patutnya dicurigai, sebab hal tersebut dapat dijadikan tolak ukur bagaimana suatu instansi pemerintahan menerapkan keterbukaan informasi dan transparansi penggunaan anggaran. Informasi itu wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, secara serta merta dan setiap saat. Nah, jika kewajiban badan publik dilakukan maka besar kemungkinan ‘hantu-hantu berdasi’ itu tidak akan berani melakukan kegiatan yang merugikan hajat hidup orang banyak.

Selaras dengan hal itu, pejabat dilingkungan badan publik wajib melaporkan harta kekayaannya, serta mengumumkan. Bila ini dilakukan, publik bisa melakukan advokasi terhadap harta kekayaan pejabat publik itu, dan akan mengetahui dengan mudah peningkatan-peningkatan harta yang dimiliki. Sanggat aneh, jika pejabat publik yang baru masuk dengan modal harta misalnya Rp10 miliar, kemudian tat kala menjabat 1 tahun hartanya menanjak, maka patut dilakukan pembuktian terbalik.    

UU Keterbukaan Informasi kiranya tepat dijadikan sebagai instrumen pencegahan korupsi oleh “pawang koruptor” untuk melakukan pembenahan-pembenahan di lingkungan instansi pemerintahan. Selama ini, ketertutupan informasi merupakan wabah bagi penyelenggaraan negara yang korup, dan hal tersebut telah menjadi sejarah di rezin orde baru. Dengan lahirnya UU Keterbukaan Informasi Publik, instansi pemerintah diharapkan lebih transparan, akuntabel dan mewujudkan cita-cita bangsa sebagai negara yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut sebenarnya sangat mudah, instrumen untuk menjadi lembaga yang transparan sudah ada, badan publik cukup menjalankan semua kewajiban yang diberikan dalam UU ini, dan masyarakat berpartisipasi secara aktif untuk melakukan pengawalan. Apakah lembaga pemerintah ini sudah menjalankan UU KIP atau belum dalam  menyediakan dan mengumumkan informasi secara berkala, secara serta merta dan setiap saat. Bila hal ini belum dilakukan, sepantasnya badan publik ini dipertanyakan.

Kondisi yang terjadi di Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Koperasi dan UKM dapat dijadikan contoh betapa mirisnya penanganan ‘hantu-hantu berakal’ itu, ditambah lagi rekening gendut yang dimiliki pegawai negeri sipi yang tergolong masih seumur jagung tersebut. Bila para pegawai muda itu telah melakukan perbuatan yang bejat seperti ini, berharap ke siapa lagi rakyat ini dan mau dikemenakan bangsa ini? Inilah yang menjadi pekerjaan besar bangsa ini untuk memberantas korupsi dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.    
 

Read more »

Selasa, 29 November 2011

Keran Informasi Yang "Tersumbat"

Oleh: Fathul Ulum

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik memberi legalitas sejumlah informasi untuk dirahasiakan (dikecualikan) oleh Badan Publik, Namun pengecualian informasi itu sangat ketat dan terbatas sehingga masih bisa dibuka berdasarkan kepentingan publik yang lebih luas. 

Salah satu pilar menuju demokrasi adalah terwujudnya keterbukaan informasi yang seluas-luasnya. Dan salah satu ujung tombak mencegah terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah adanya transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara.

Dengan demikian, informasi yang transparan dapat mencegah terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power) serta mewujudkan negara yang demokratis. Keterbukaan informasi juga dapat menjadi pilar utama terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (Clean and Good Government). Pertanyaannya, sudahkah bangsa ini memberikan jaminan hukum atas informasi?

Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang telah disahkan pada 30 April 2008 oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai bentuk amanah konstitusi dalam memenuhi (to fulfill) hak masyarakat guna mengakses infromasi yang seluas-luasnya. 

Keberadaan UU KIP merupakan buah kandung rezim demokrasi yang memang masih terlihat muda karena UU ini baru berusia tiga tahun (secara efektif baru berlaku satu tahun sejak diundangkan pada 2010), diharapkan mampu menghormati (to respect) hak asasi setiap orang untuk tahu (right to know) dan mampu memberi kepastian hukum atas akses informasi sebagaimana yang telah dijamin Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945.  “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…”

Adanya pengakuan dan jaminan hukum yang sedemikian rupa, maka informasi yang dimaksud dalam UU KIP wajib disalurkan oleh Badan Publik (Lembaga Eksekutif, Yudikatif, Legislatif, BUMN, Lembaga Swadaya Masyarakat) dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara serta mendapatkan dana dari APBN/APBD. (Siapa Badan Publik yang dimaksud dalam UU KIP, lihat Pasal 1 angka 3 UU KIP).  

UU KIP yang mulai berlaku pada 1 Mei 2010 setidaknya telah melindungi (to protect) hak asasi masyarakat untuk memperoleh informasi sebagai sarana pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan prosedur dan mekanisme untuk mendapatkan informasi serta tata cara pemberian informasi baik yang wajib maupun tidak wajib disampaikan oleh badan publik diatur dalam UU KIP. (hak dan kewajiban badan publik dan pengguna informasi sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya berjudul: Cara Halal Memperoleh Informasi).

Filosofi lahirnya UU KIP yang mempertimbangkan informasi publik sebagai salah satu ciri penting wujudnya negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, semestinya dijadikan pegangan serta amalan bagi institusi pemerintah. Dengan demikian, para pejabat publik tidak boleh ber-alibi bahwa informasi yang diminta publik merupakan jenis informasi yang dirahasiakan. Penolokan informasi itu harus sesuai dengan ketentuan UU ini sehingga tida bisa secara serta mereta mengatakan informasi itu bersifat rahasia. 

Dua Alasan Menolak Permintaan Informasi

Meski ada jenis informasi yang dikecualikan berdasarkan UU ini, pejabat publik atau Badan Publik tidak bisa secara serta menolak permintaan informasi masyarakat, karena sejatinya Informasi Publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik, adalah milik publik. Namun begitu, UU KIP sebagai UU yang arif memberikan kriteria penolakan permintaan informasi. Di mana kriteria tersebut diatur dalam Pasal 6 UU KIP.

Dalam rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa Badan Publik berhak menolak  memberikan informasi untuk dua alasan: Pertama penolakan karena alasan substansi, dan Kedua penolakan karena alasan prosedur. Ketentuan tersebut diatur pada Bab III bagian ketiga tentang Hak Badan Publik.

Pasal 6 ayat (1): Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan. Sementara dalam ayat (2) dijelaskan Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

Untuk pengecualian berdasarkan substansi, Pasal 6 UU KIP memperjelas tiga domain utama kerahasiaan, yakni: kerahasiaan negara, kerahasiaan bisnis dan kerahasiaan pribadi. Pasal 6 ayat (3): Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       informasi yang dapat membahayakan negara;
b.      informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlin-dungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
c.       informasi yang berkaitan dengan hak­-hak pribadi;
d.      informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Inilah yang menjadi tantangan bagi Badan Publik untuk tidak lagi membodohi masyarakat dengan alasan-alasan yang tidak berdasarkan hukum karena sejatinya negara ini dibentuk oleh founding fathers sebagai negara hukum (rechtstaat) sehingga alasan pun harus berdasar pada ketentuan yang ada. Pipa-pipa keterbukaan informasi sejatinya telah menegaskan bahwa informasi adalah milik publik dan wajib diberikan kecuali berdasar UU lain.

Informasi yang Dikecualikan

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2, yang dimaksud dengan Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Sedangkan informasi yang dikecualikan (dirahasikan) berdasarkan UU KIP tidak dijelaskan dalam ketentuan umum, sehingga penjelasan mengenai definisi secara detailnya tidak dapat diketahui. Akan tetapi UU KIP memberi penjelasan serta batasan bahwa informasi yang dikecualikan harus berdasarkan UU.

Secara eksplisit penjelasan pengecualian informasi dapat ditemukan dalam Pasal 6 ayat (1) “…informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-uundangan”. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 2 ayat (4) “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang­-Undang…” dan dipertegas juga dalam Pasal 17 huruf j bahwa informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang. 

Meski UU ini memberi legalitas formal atas kerahasian suatu informasi, namun asas kerahasian sebagaimana yang diatur UU KIP bersifat ketat dan terbatas sehingga dengan asas ini suatu kerahasian itu masih perlu dilakukan uji konsekuasi dan uji kepentingan publik. Bisa dikatakan bahwa apabila informasi itu ditutup memberikan manfaat maka lebih baik dibuka dan bila informasi itu ditutup memberikan mudhorot lebih baik ditutup. Hal ini, untuk meminimalisir adanya penyalahgunaan wewenang bagi penyelenggara negara dengan mengatasnamakan kepentingan negara kemudian suatu informasi itu dirahasiakan. 

Asas pengecualian itu diatur dalam Bab II tentang Asas dan Tujuan. Pasal 2 ayat (2) mengatakan Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas; sedangkan dalam ayat (4) ditegaskan Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang­-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbang-kan dengan seksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar dari pada membukanya atau sebaliknya.

UU KIP telah memberikan pengertian-pengertian akan batasan-batasan informasi mana yang boleh dibuka dan informasi mana yang dapat ditutup (dirahasikan). Secara umum ada tiga informasi yang dikualifikasi sebagai informasi yang dikecualikan yaitu berkaitan dengan kerahasiaan negara, kerahasiaan pribadi dan kerahasiaan bisnis. Informasi yang dikecualikan itu diatur dalam Bab V, Pasal 17 mengatakan setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:  

a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:
1.      menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2.      mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;
3.      mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan
a.       pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
4.      membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau
5.      membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.

b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;

c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara,
yaitu:
1.      informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;
2.      dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;
3.      jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;
4.      gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;
5.      data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;
6.      sistem persandian negara; dan/atau
7.      sistem intelijen negara.

d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;

e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:
1.      rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;
2.      rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;
3.      rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;
4.      rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;
5.      rencana awal investasi asing;
6.      proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau
7.      hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.

f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri:
1.      posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;
2.      korespondensi diplomatik antarnegara;
3.      sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau
4.      perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.

g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;

h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1.      riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2.      riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3.      kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4.      hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi
1.      kemampuan seseorang; dan/atau
5.      catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.

i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;

j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Bahwa ketentuan mengenai informasi yang dikecualikan sebagaimana disebutkan di atas tidak bersifat permanen. Hal itu, dijelaskan dalam Pasal 20 ayat (1), “Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen.” Dengan demikian, maka pada pasal 17 huruf g, huruf h dan huruf i merupakan informasi yang sebenar-benarnya sebagai informasi yang dikecualikan (absolut) karena menyangkut informasi pribadi.

Meski huruf i dikatakan tidak masuk kualifikasi dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1), kerahasiaan yang diatur dalam huruf i masih memberikan catatan, dan memberikan mandat  kepada pengadilan, dan Komisi Informasi yang merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Pasal 17 huru i, “memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan.” Sehingga rumusan pasal ini terkesan pembuatnya bimbang dan akhirnya membuat rumusan karet.     

Read more »

Senin, 21 November 2011

Cara Halal Memperoleh Informasi Publik 
Oleh: Fathul Ulum

 
Apakah ada Undang-Undang yang dapat membuka tabir akuntabilitas, transparansi lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah? Dan apakah juga mengatur mengenai mekanisme permintaan informasi kepada instansi pemerintah tersebut (Badan Publik)? Sebelum menjawab kedua pertanyaan tersebut, kiranya dapat dijelaskan bahwa informasi merupakan hak asasi manusia yang tak bisa dikurangi (non derogable right).  

Hak untuk memperoleh informasi telah dijamin dalam konstitusi Indonesia yang terdapat dalam pasal 28 F. Pasal tersebut mengatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…” maka dapat dilihat bahwa rumusan pasal tersebut telah menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.  

Dengan dasar konstitusi tersebut lahirlah Undang – Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang terlahir diera demokratisasi (yang biasanya disebut anak kandung demokrasi) dan ditetapkan padal 30 April 2008 oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono. Meski UU KIP ditetapkan pada 2008, UU tersebut baru mulai berlaku secara efektif pada tahun 2010. “Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan,” bunyi pasal 64 ayat (1).

Adapun tujuan UU KIP ini dijelaskan di dalam pasal 3 tentang penjelasan tujuan diundangkan UU ini. Maka dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Undang-Undang ini bertujuan;  
  1. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
  2. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
  3. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
  4. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
  5. Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
  6. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
  7. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.   
 
Hak Pemohon Informasi

Sebelum lebih lanjut mengulas atau mengetahui mekanisme memperoleh informasi berdasarkan ketentuan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, kiranya dapat dijelaskan terlebih dahulu apa hak-hak pemohon informasi yang dijamin dalam UU KIP. Hak pemohon informasi publik diatur dalam Bab III tentang Hak dan Kewajiban Pemohon dan Pengguna Informasi yang tercantum dalam pasal 4 UU KIP. Dalam pasal tersebut dikatakan:

(1)     Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2)     Setiap Orang berhak:
a.       melihat dan mengetahui Informasi Publik;
b.      menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;
c.       mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
d.      menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)     Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut.
(4)     Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Kewajiban Pengguna Informasi Publik

Bila adan hak tentunya ada kewajiban yang dibebankan pada pemohon informasi. Sehingga untuk mengatur kepastian hukum serta keseimbangan hukum, UU Keterbukaan Informasi Publik membebankan kewajiban bagi pemohon informasi publik dalam menggunakan informasi yang telah diperolehnya. Pasal 5 yang mengatur mengenai kewajiban bagi pengguna informasi, pada hekekatnya tidak membatasi informasi itu akan digunakan untuk apa? Meski biasanya Badan Publik yang diminta informasi selalu mempertanyakan informasi yang diminta digunakan untuk apa? Penulis membatasi perdebatan ini.

Namun berdasarkan UU KIP ini, kewajiban yang dimaksud dalam pasal 5 adalah untuk memberitahukan bahwa informasi yang diperoleh dari Badan Publik digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 F UUD 1945, bahwa hak publik untuk memperoleh informasi semata-mata untuk kegunaan pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya, dan lain-lain. Secara rinci pasal 5 UU KIP mengatur sebagai berikut:
(1)   Pengguna Informasi Publik wajib menggunakan Informasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Pengguna Informasi Publik wajib mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh Informasi Publik, baik yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan publikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak Badan Publik

Tidak seimbang bila dalam penulisan yang bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi publik untuk memperoleh informasi tidak menjelaskan juga hak-hak yang diperoleh Badan Publik yang diberikan UU KIP. Namun sebelum jauh menejelaskan mengenai apa saja hak-hak yang dimiliki Badan Publik. Kiranya terlebih dahulu menguraikan siapa Badan Publik yang dimaksud dalam ketentuan UU KIP?  

Pasal 1 angka 3 menjelaskan bahwa Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Rumusan pasal di atas dapat dipahami bahwa Badan Publik tidak hanya legislative, yudikatif dan eksekutif, Badan Publik dalam pengertian di atas bisa dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sepenjang dananya bersumber dari APBN/APBD serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang apabila dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri. Sehingga, mereka harus tunduk pada ketentuan UU KIP beserta turunannya dalam mewujudkan dan menyediakan informasi.    

Adapun hak-hak yang wajib dijunjujung tinggi oleh badan publik sebagaimana ketentuan pasal 6 UU KIP adalah sebagai berikut:
(1)   Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai   dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       informasi yang dapat membahayakan negara;
b.      informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
c.       informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d.      informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
e.       Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Kewajiban Badan Publik

Sedangkan kewajiban Badan Publik dapat ditemukan dalam Pasal 7, yaitu sebagai berikut:
(1)   Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
(2)   Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
(3)   Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
(4)   Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.
(5)   Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
(6)   Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.

Mekanisme Memperoleh Informasi Publik yang Halal

Sebagaimana dijelaskan di atas mengenai hak pemohon informasi bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UU KIP. Oleh karena itu, permintaan informasi publik yang diajukan oleh setiap orang kepada Badan Publik tidak serta merta dapat dilakukan. UU KIP ini mengatur secara rinci bagaimana hak asasi atas informasi tersebut dapat terpenuhi secara baik melalui aturan main UU Keterbukaan Informasi Publik. 

UU KIP selain memberikan kepastian hukum bagi pemohon informasi, UU ini juga memberikan jaminan hukum atas akses informasi secara baik. Sehingga dalam mekanisme permintaan informasi tidak bisa serampangan (seenaknya), dengan demikian perlu kiranya pengaturan secara yuridis atas mekanisme memperoleh informasi sehingga ada tertib hukum dalam pengajuan permintaan informasi. Hal ini juga mempermudah upaya penyelesian ketika terdapat dispute dalam permintaan informasi. 

Aturan main dalam permintaan informasi publik diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik dalam pasal 22. Proses permohonan informasi dapat diajukan kepada Badan Publik terkait dengan cara tertulis atau tidak tertulis. “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis,” bunyi pasal 22 ayat (1).

Bila permohonan Informasi Publik diajukan secara lisan (tidak tertulis) maka Badan Publik yang terkait wajib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik. “Badan Publik wajib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik, subjek dan format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik,” bunyi pasal 22 ayat (2) dan dalam ayat selanjutnya (3) dikatakan, “Badan Publik yang bersangkutan wajib mencatat permintaan Informasi Publik yang diajukan secara tidak tertulis.”

Perlu diperhatikan secara detail bagi setiap pemohon Informasi Publik dalam hal pengajuan permintaan informasi kepada Badan Publik. Sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat (3) bahwa setiap permintaan informasi harus disertai dengan alasan permintaan. Meski pengaturan ini terkadang dibatebel, apakah syarat pencantuman alasan permintaan informasi secara mutlak diperlukan atau tidak. Untuk mengurangi adanya ketidak cermatan dalam mengajukan permintaan informasi maka perlu kiranya pemohon mencantukan alasan permintaan informasi. Hal ini bertujuan demi kepastian dan perlindungan hukum bagi pemohon, supaya tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya permintaan informasi ditolak karena tidak mencantumkan alasan permintaan informasi.   

Kembali pada mekanisme permohonan Informasi Publik. Bila permintaan Informasi Publik itu sudah diserahkan oleh setiap orang kepada Badan Publik (Sebaiknya Permohonan Informasi diajukan Kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Maka dalam jangka waktu 10 hari kerja, Badan Publik wajib menjawab permintaan Informasi Publik secara tertulis. Pasal 22 ayat (7) menjelaskan Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan :

  1. Informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak;
  2. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta;
  3. Penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
  4. Dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan;
  5. Dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya;
  6. Alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/atau
  7. Biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta.
 
Jika dalam tenggat waktu yang ditentukan dalam pasal 7 itu diindahkan oleh Badan Publik, maka Badan Publik diberi tambahan waktu untuk memenuhi permintaan informasi selama 7 (tujuh) hari kerja. “Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis,” bunyi pasal 22 ayat (8).

Mekanisme Keberatan

Secara terperinci bahwa Badan Publik telah diberikan tenggat waktu untuk menjawab secara tertulis permintaan informasi selama 10 hari kerja ditambah 7 (tujuh) hari kerja, sehingga total secara keseluruhan waktu yang diberikan UU Keterbukaan Informasi Publik adalah  17 hari kerja. Nah, bila dalam waktu 17 hari kerja, Badan Publik tidak memberikan informasi sebagaimana yang diminta atau menjawab permintaan tersebut namun tidak sesuai permintaan dan mengatakan informasi yang diminta bersifat dikecualikan (dirahasikan) berdasarkan UU KIP.

Maka dalam hal ini, pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan atas jawaban tersebut kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (Misal:  permintaan informasi ini diajukan ke Kementerian, maka Atasan PPID adalah Sekjen dalam Kementerian tersebut). “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi…” bunyi pasal 35 ayat (1).

Mekanisme keberatan itu dapat diajukan kepada atasa PPDI berdasarkan pasal 35 ayat (1) sebagai berikut:
  1. Penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
  2. Tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
  3. Tidak ditanggapinya permintaan informasi;
  4. Permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta;
  5. Tidak dipenuhinya permintaan informasi;
  6. Pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau
  7. Penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Tanggapan Atas Keberatan

Untuk penjelasan informasi yang dikecualikan berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik akan dijelaskan oleh penulis pada bagian lain. Perihal mengenai mekanisme keberatan atas penolakan berdasarkan ketentuan di atas, UU KIP tidak memberikan mekanisme yang ribet dan lebih cenderung pada penyelesaian kekeluargaan.

Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam asas permintaan informasi yang berdasarkan prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya ringan. Sehingga alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g dapat diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak (Pasal 21).  

Sementara pengajuan keberatan atas tidak ditanggapinya permintaan informasi tersebut, maka berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Pemohon Informasi Publik diberi tenggat waktu untuk mengajukan keberatan kepada atasan PPID dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. “Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat,” bunyi pasal 36 ayat (1).

Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja atasan PPID tidak juga memberi tanggapan secara tertulis atas keberatan yang diajukan pemohon Informasi Publik. Maka Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan proses penyelesian sengketa Informasi Publik ke Komisi Informasi. “Alasan tertulis disertakan bersama tanggapan apabila atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) menguatkan putusan yang ditetapkan oleh bawahannya,” Pasal 36 ayat (3).

Proses Penyelesaian Sengketa Informasi melalui Komisi Informasi tidak bisa serta merta diajukan oleh pemohon informasi. Di mana Pemohon sengketa Informasi Publik harus terlebih dahulu mengajukan permintaan informasi sebagaimana yang diterangkan di atas. Nah, bila syarat tersebut sudah terpenuhi permohonan sengketa informasi harus mencantumkan bukti-bukti permintaan informasi. 

Pasal 37 (1) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik.

(2) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (2).

Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana proses sengketa informasi publik di Komisi Informasi, Penulis akan menguraikan secara khusus dalam bagian lain. Kiranya ini yang bisa terlebih dahulu disampaikan dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh Bagnsa Indonesia.  “Keterbukaan Informasi Adalah Kunci Menuju Bangsa Yang Maju,” Fathul Ulum (085693381934).    

      

 

Read more »

Jumat, 01 April 2011

Hukum Memberi Hormat pada Bendera Merah Putih

Upacara bendera merah putih yang biasa di laksanakan pada tanggal 17 Agutus sebagai rangkaian uapacara kenegaraan dalam memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia mendapat sorotan para ulama kaitannya dengan masalah syariat Islam. Ada yang mengatakan memberikan hormat dalam seremonial upacara bendera tak dibolehkan karena tidak ada tuntunan dalam Al-quran dan Hadis. Pernyataan itu sontak mengundang perdebatan. Dan berikut perdebatan yang disampaikan kedua narasumber kepada Fathul Ulum. 

KH. Cholil Ridwan 
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kebudayaan.

Sebelumnya menjelaskan pandangan saya mengenai hukum memberi hormat pada bendera saya mau mengutarakan bahwa di dalam Islam itu ada ibadah, akidah dan syariah. Nah, syariah dan ibadah itu harus berdiri di atas akidah. Misalnya, sholat itu kan ibadah maka tak boleh bertentangan dengan akidah, jika akidah mengatakan bahwa yang patut disembah itu hanyalah Allah SWT maka menyembah selain Allah tak boleh. Dan tak boleh itu bisa dikatakan haram, makruh, syirik dan lain sebagainya.


Ada contoh lain misalnya orang sholat di kuburan, itu tidak dibolehkan  karena dikhawatirkan akan menyembah kuburan. Tapi, ketika sholat di Mekah itu tidak bisa dikatakan menyembah Kabah karena Kabah hanya sebagai tanda arah kiblat meskipun rukuk dan sujud di situ tapi itu menyembah kepada Allah SWT. Hal ini karena ada perintah Allah untuk sholat menghadap ke Kabah.  

Lebih jauh, Hajar Aswat itu batu, jadi kalau melewati tidak perlu memberikan hormat bahkan Umar bin Khotob pernah mengatakan bahwa hai batu kamu itu batu dan saya manusia maka saya lebih mulia dari pada kamu (batu-red) bila Tuhan tidak memerintahkan mencium kamu, maka saya tidak akan mencium kamu. Jadi intinya semua yang diperintah oleh Allah SWT dan Rasul-Nya harus dijalankan dan tak boleh dibuat-buat sendiri.      

Menghormat dengan cara rukuk dan sujud, tablikh, itu bagian dari pada ibadah seperti menghormat kepada Kabah dengan sholat, memberi hormat kepada Hajar Aswat dengan menciumnya, menghomat air zamzam dengan meminumnya, tapi semua air boleh dihormati kecuali air zamzam karena  ada perintah-Nya. Begitu juga dengan semua bangunan yang tak ada perintah-Nya.  

Ketika ada kenaikan bendera merah putih sebenarnya tidak masalah, tapi ketika memberikan hormat kepada bendera maka itu masalah karena tidak ada hadis dan al-quran yang menyuruh memberikan hormat kepada bendera. Bendera itu sama dengan yang lainnya karena itu merupakan benda. Misalnya, seperti Keris yang diletakan ditempat tertentu kemudian dimandikan dengan ketentuan-ketentuan yang dibuat-buat, itu tidak boleh.

Ada lagi misalnya, seperti Patung Garuda Pancasila kenapa tidak ada upacara memberikan hormat tapi kenapa ketika ada upacara bendera merah putih ada pemberian hormat. Nah, sebenarnya pemberian hormat kepada bendera ini kan dibuat-buat sendiri. Ketika berbicara mengenai akidah dan ibadah saya bilang bukan haram tapi tak boleh karena dibuat-buat sendiri.
          
         Jadi prinsipnya begini, sesuatu pekerjaan yang ada unsur pemujaan itu harus ada hadisnya. Bukan kemudian saya tiba-tiba memberikan pengharaman dan saya juga mengutip dari pendapat Ulama dari Arab Saudi. Apakah memberi hormat bendera itu sama dengan ibadah? Jadi begini, ibadah itu luas sekali misalnya memuji orang, apalagi memuji Allah, sholat, termasuk juga memberi salam dan lain-lain. Makanya segala puji itu untuk Allah swt.
         
Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil 'aalamiin (sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk ALLAH)  jadi pengertian menghormat misalnya kepada orang tua untuk Allah karena diperintah oleh Allah. Hormati orang tua dalam rangka taat kepada Allah dengan cara mencium tangganya tapi tak boleh sujud kepada orang tua karena sujud, rukuk itu hak Allah.
          
           Jadi menghormat kepada seseorang, bendera dan benda lainnya itu bagian dari pada ibadah tak mutlak ibadah itu sholat. Karena hidup ini bagian dari pada ibadah maka harus dikaitkan dengan al-quran dan hadis. Karena menghormati bendera dengan cara mengangkat tanggan dan di zaman nabi tidak ada maka semestinya tidak perlu dilakukan. Nah, menghormat kepada bendera itu bagian dari pada Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil 'aalamiin.    
           
Bukan berarti tidak menghormati bendera ketika ada upcara bendera, tapi caranya bukan seperti itu harus ada instruksi hormat grak. Namun, ketika ada bendera merah putih di injak-injak saya akan marah karena itu adalah lambang negara. Tapi, saya tak perlu membuat suatu upacara seremonial untuk memberikan hormat kepada bendera.

Dr. JM. Muslimin, PhD. MA
Pakar Hukum Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.   

Menurut pendapat saya apa yang disampaikan oleh Pak Chalil Ridwan adalah sebuah pendapat yang terlalu berlebihan karena memberi hormat bendera itu seolah-olah dijatuhi hukuman sebagaimana perbuatan syirik. Menurut saya ini pendapat yang ekstrim serta formalitis dan memahami Islam secara literal dan harfiah.

Bahwa persoalan-persoalan yang ada di dunia ini tak semuanya ada tuntunannya dalam al-quran dan hadis, sehingga kalau tak ada tuntunannya di dalam al-quran justru tak menjadi masalah ketika dilakukan. Bisa diartikan bahwa apabila umat manusia melakukan perbuatan yang mana tak diatur bahkan tak dilarang, maka perbuatan dihukumi halal.  

Nah, terkait dengan masalah penghromatan bendera memang tak ada larangan langsung dituangkan secara eksplisit di dalam al-quran dan hadis. Karena itulah perbuatan yang tidak ada di dalam al-quran dan hadis kemudian diadakan, bila demikian apakah itu menjadi perbuatan yang dapat dikatagorikan menjadi perbuatan yang sifatnya haram? Menurut hemat saya pendapat itu bagian dari istilahnya tathorruf dan bagian dari pendapat yang lateral.  

Karenanya, penghormatan bendera itu tidak bisa dikatakan sebagai  ibadah karena ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan kenegaraan. Hal ini jangan sampai kemudian mengatakan bahwa dulu tak ada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) namun sekarang ada MPR kemudian dikatakan haram. Kemudian dulu tak ada sebutan roisul jumhuriyah atau presiden sekarang ada presiden. Apakah ini bisa dibilang haram?  

Jadi ini adalah masalah pemahaman yang terlalu lateral dan tidak bisa disamakan masalah menghormati bendera dengan ketika umat muslim melakukan ritual yang sifatnya sepeti ritual-ritual kepercayaan, karenanya itu sanggat berbeda. Ibadah itu ada dua katagori. Pertama, ibadah yang sifatnya murni seperti sholat, zakat dan lain-lain. 

Kedua ibadah yang sifatnya karena ada niatan untuk melakukan ibadah. Bisa dikatakan seperti perbuatan yang awalnya adalah bukan masuk dalam katagori ibadah murni tapi karena dilaksanakan dengan niatan ibadah maka akan menjadi ibadah. Misalnya, saya mengajarkan matematika.

Mengajar matematika itu kan bukan ibadah murni, menjadi sebuah ibadah ketika menjalankannya diniati untuk mencerdaskan umat Islam. Dengan kata lain perbuatan itu menjadi ibadah yang asalnya bukan masuk katagori ibadah. Tapi kalau sholat dari asalnya memang sudah masuk katagori ibadah.  

Ibadah dalam Islam itu ada dua. Pertama, ibadah yang asalnya memang ibadah. Dan kedua, karena ada niatan menjadi ibadah. Bila menghormati bendera itu asalnya bukan ibadah. Kalau asalnya bukan ibadah kemudian dilaksanakan oleh umat muslim dengan niatan yang baik maka tidak masalah seperti menghormati bendera. Tapi sebenarnya yang dihormati itu bukanlah benderanya dan itu merupakan simbol dalam mencitai tanah air.

Kalau dikatakan itu perbuatan mengada-ada tak ada tuntunannya,  menurut saya, apabila perbuatan itu dibuat-buat sendiri tak masalah sepanjang itu bukan ibadah murni misalnya jemaah haji dilaksanakan di Indonesia yang asalnya di Mekah, kemudian Sholat yang asalnya menghadap kiblat kemudian dipindah menghadap ke timur itu namanya dibuat-buat karena asalnya ibadah.  

Oleh karena itu, kesimpulan saya adalah menghormati bendera adalah perbuatan yang bersifat ekspresi kebudayaan dan ekspresi kebudayaan itu tidak semuanya ada dalam Al-quran dan hadis sehingga ekspresi kebudayaan itu menjadi sah hukumnya. Jika mengkhiaskan menghormati bendera dengan sholat itu berarti salah mengkhiaskan.  

Read more »