JM. Muslimin, PhD, MA.
Pembantu Dekan Fakultas Hukum dan Syariah UIN Jakarta.
Menerapkan hukum Islam di Indonesia bukan perkara mudah. Namun, sebagian besar hukum positif di tanah air sudah mencerminkan hukum Islam.
Di temui di ruang kerjanya yang berukuran 2 X 3 meter, Fathul berbincang hangat dengan pria kelahiran 12 Agustus 1968. Di tengah obrolan, sesekali ia menerima mahasiswanya yang bergantian mahasiswa masuk keruangannya untuk keperluan akademik. Maklum selain sebagai dosen, Muslimin juga sebagai pembantu dekan bidang kemahasiswaan tentunya harus banyak bergaul dengan kebutuhan mahasiswa.
Mudah bergaul dan penuh terobosan dalam pemikiran mengenai penerapan hukum Islam memang dia dapatkan ketika menjadi salah satu santriawan di Pondok Pesantren Darussalam Modern Gontor , Jawa Timur.
Mulai dari SMP hingga SMA, Muslimin menghabiskan pendidikannya di sana. Pondok pesantren Gontor memang diakui banyak orang sebagai tempat pendidikan agama yang modern dan berbeda dengan yang lainnya. Muslimin yang kala masih duduk di bangku SMP mengakui sudah mengagumi pemikiran dan ide-ide Nurcholis Madjid atau yang di kenal dengan Cak Nur. Pemikiran Cak Nur yang kontroversial dan sempat menjadi perdebatan waktu itu adalah “Islam Yes, Partai Islam, No”.
Pemikiran itu membuat Muslimin lebih bergairah untuk mendalami ajaran Islam. Apalagi pemikiran Cak Nur yang mengolaborasikan gagasan melalui pandangan yang diberi Istilah Ke Islaman, Kemodernan dan KeIndonesiaan. “Pemikiran Cak Nuri inilah yang membuat saya penasaran sebenarnya apa sih yang diperdebatkan dan kenapa pernyataan itu diperdebatkan,” terang Muslimin yang hoby membaca ini.
Muslimin mengakui, ketika dia masih duduk di SMP memang tidak memahami betul perdebatan tersebut apalagi dia juga dibuat penasaran dengan kata cendikiawan muslim, dan sebagainya. Karena itulah kemudian dia bertekad untuk memperdalam lagi pemahamannya dengan hijrah ke Jakarta dan masuk keperguruan tinggi Universitas Islam Negeri mengikuti perjalanan Cak Nur yang kala itu juga mengenyam pendidikan di sana.
Setelah menjadi mahasiswa jurusan Hukum dan Syariah UIN yang konon katanya mempunyai proyek exercise untuk memodernisasikan ajaran Islam. Muslimin lebih intens lagi mengikuti perdebatan tersebut. Keingintahuan makin mengebu-gebu saat menjadi mahasiswa. Saat itu, Menteri Agama periode (1983-1988 dan 1996-1998) Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. yang sebelumnya juga mempunyai pemikiran yang kontroversial.
Ide Munawir itu adalah mengenai pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan yang menurutnya tidak harus ada perbedaan. Kemudian ide reaktualisasi ajaran Islam bahwa negara yang berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final, negara yang diinginkan oleh Umat Islam Indonesia. Pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh cendikiawan muslim itulah yang membuat Muslimin menjadi sosok pemikir hukum yang kritis dan lebih mengedepankan sosiologi masyarakat dari pada pemaksaan diberlakukannya hukum Islam di Indonesia.
Menurutnya ada dua pandangan dalam menilai hukum positif yang diarahkan untuk mengadopsi hukum Islam murni. Pandangan pertama menurutnya adalah ada pandangan yang melihat secara dogmatis hukum Illahi. Dalam artian memandang sesuatu itu antara hitam dan putih sehingga tolak ukur yang di pakai dalam penyerapan hukum Islam menjadi hukum nasional apabila hukum pidana dalam Islam diserap dalam hukum nasional.
Muslimin yang pernah menyelesaikan pendidikan Strata tiga di Universitas Hamburg, Jerman, kembali menjelaskan bahwa pola pandang yang demikian biasanya berkaitan dengan hukuman seperti qisas, hudud ada hukum potong tangan dan rajam. “Ini merupakan pandangan atau tolak ukur yang sifanya dogmatis dalam satu aliran.”
“Pandangan kedua biasanya disebut dengan pandangan subtansi itu berupa aturan pelarangan misalnya, pencurian itu di dunia, agama manapun pasti melanggar hukum,” lanjut Muslimin.
Menurutnya, yang menjadi masalah dalam kaitannya tindakan mencuri dalam prespektif hukum Islam adalah adanya bentuk sanksi hukuman. “Bentuk hukuman mencuri sampai kadar tertentu adalah potong tanggan. Ini yang membedakan corak pemikiran yang dogmatis dan subtantif,” ungkap Muslimin yang pernah menjadi ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Adanya elaborasi pendidikan di luar kampus Muslimin menemukan jati darinya dalam menilai berlakunya hukum Islam. Karenanya dia berpendapat bahwa berbicara mengenai pemikiran subtantif harusnya tidak lagi berbicara mengenai bentuk hukuman melainkan berbicara mengenai norma yang benar dan tidak mengeser norma itu menjadi hal yang dibenarkan.
Jadi Menurut Muslimin. Masalah pencurian itu dalam kehidupan masyarakat pasti merupakan aib, dan melanggar hukum. Nah, inilah yang sesungguhnya pararel dengan hukum Islam. Sehingga, kalau memandang dari ciri hukum Islam yang subtantif sebenarnya aura hukum nasional berupa hukum Islam.
“Jadi tidak mendikotomikan,” lanjut Muslimin yang sudah mempunyai dua anak hasil pernikahan dengan Ashraf Hanoum. Bahwa bila memakai cara pandang yang sifatnya dogmatis, maka auranya dikotomi antara hukum nasional yang seolah-olah berdiri sendiri dan sifatnya sekuler hasil buatan manusia. Sementara hukum Islam seolah-olah wahyu yang suci dan harus terus didorong menjadi hukum nasional dengan berbagai cara.
Kenapa tidak menerapkan sanksi seperti yang ada dihukum Islam, tanya Fathul. Dia menjelaskan bahwa problematika penerapan sanksi itu memang ada di sana. Bagaimana jika orang yang dikenakan sanksi itu adalah orang yang tidak bersalah. “Hukum itu ada proses pembuktian, penegakan, pemidanaan. Kalau penegakan hukumnya tidak bersih maka ada kemungkinan dalam proses pembuktian itu yang kalah adalah orang-orang miskin atau lemah,” ujarnya.
Ia memberi contoh, pencurian bila pelakunya adalah orang yang tidak melek hukum, miskin yang tidak bisa membayar advokat maka yang terjadi adalah, bisa jadi, orang miskin itu di hukum potong tangan. Sementara yang kerah putih seperti kasus Century tidak tersentuh. “Kalau kemudian hukumannya adalah potong tangan tiba-tiba ada bukti bahwa bukan dia pelakunya sementara tangannya sudah dipotong bagaimana mengembalikannya,” ungkap Muslimin dengan nada khawatir.
Dia juga berpendapat bahwa melalui pandangan salah satu mazhab yang mengatakan bahwa sebenarnya kalau ada kejahatan yang salah itu bukan hanya penjahat tapi yang salah juga sistem sosial. “Kalau ada orang mencuri belum tentu pencuri itu mutlak disalahkan. Bisa jadi yang disalahkan adalah orang-orang yang ada disekitarnya.”
Kenapa orang miskin itu dibiarkan, dia bertanya sekaligus memberikan jawaban, karena orang miskin itu tidak disantuni, disubsidi pemerintah, tidak diberikan pekerjaan yang layak, sehingga dia mencuri dalam kondisi yang memang tidak ada pekerjaan lain kecuali mencuri. “Pandangan-pandangan inilah yang sebenarnya menyulitkan untuk melakukan penerapan hukum Islam dengan pandangan yang konvensional tadi,” jelasnya.
Persoalan yang bisa menjadi perdebatan bila hukum Islam dipandang secara dogmatis akan kembali bermunculan manakala hukum Islam dipahami secara parsial. Misalnya, ada sebagian madzhab yang mengatakan apabila ada orang muslim yang pindah agama maka akan di hukum mati. ”Nah, coba dibayangkan apabila itu kemudian diterapkan maka akan banyak orang yang berpendapat bahwa itu adalah hak untuk memilih agama kenapa dilarang, apakah itu harus dipaksakan inilah yang menjadi probelmnya,” ungkapnya.
Lebih dari itu, kasus yang sekarang masih bergemin yaitu aliran Ahmadiyah tidak luput dari sorot pemikirannya. Dimana sudah banyak orang yang mengatakan harus dihapus dari Indonesia. Lebih-lebih jika sanksi hukum Islam diterapkan maka orang murtad itu harus dihukum mati.
Karenanya ada beberapa asumsi-asumsi bila hukum Islam itu diterapkan secara murni yang mana akan menciptakan sebuah image yang sangat ‘kejam dan tidak berkemanusiaan’. ”Makanya ini kembali pada model seruannya dan menjadi tugas para ulama.”
****
Pemikiran-pemikiran Muslimin ini tidak terlepas dari semangat yang diberikan Munawir yang mengajarkan agar para mahasiswanya kalau hendak tampil dikemudian hari secara kompetitif harus meneruskan pendidikan di luar negeri. “Satu kekurangan yang diperoleh oleh Alumni UIN adalah tidak mempunyai metode berpikir yang kritis. Sehingga pak Munawir menyarankan untuk mengambil beasiswa di luar negeri,” cerita Muslimin.
Dengan semangat itulah kemudian Muslimin mengambil pendidikan S-2 di Universitas Leiden. Di sana Muslimin kembali mempertajam pengetahuannya di bidang sosiologi hukum. Sehingga banyak tokoh yang menjadi tolak pemikirannya. Itu semua semakin menantang pemikirannya untuk menemukan apa yang menjadi pertanyaan selama ini. ”Kalau dirumuskan, pertanyaan yang saya cari jawabannya antara lain, apa sih pemikiran yang berdimensi keIndonesian, kemodernan, keIslaman yang diramu dalam satu nuansa pemikiran? Meskipun yang saya kaji lebih ke arah sosiologi hukum,” ungkapnya.
Muslimin juga memotret hukum Indonesa yang berinteraksi dengan hukum barat dan bagaimana membuat hukum yang berwarna hukum khas Indonesia. “Itulah yang saya pelajari di Leiden. Saya tekuni dengan prespektif pendekatan keIslaman, kemodern dan keIndonesiaan.”
Semua itu diramu dengan berbagai macam polemik penerapan hukum Islam di Indonesia. Misalnya terkait dengan perdebatan pengaturan hukum mengenai pemakaian jilbab. Di mana ada dua pendapat yang berbeda mengenai itu, yaitu pemakaian jilbad harus dibuat aturan dalam perda atau dibuat undang-undang bagi perempuan muslim. Pandangan yang kedua, tidak perlu pengaturan tersebut. Biarlah jilbab itu menjadi seruan yang sifatnya kultural tidak melalui UU. “Toh, nanti orang yang melihat perempuan memakai jilbab akan mengatakan anggun, suci, menarik, sholehah, akhirnya orang Indonesia akan semakin banyak memakai jilbab.”
Ia melihat dua pandangan itu bisa dijadikan sebagai seruan yang menarik sehingga bisa menjadi unsur budaya. Sehingga nantinya orang memakainya dengan sukarela dan betul-betul dari suara nuraninya bukan karena dipaksakan oleh sebuah peraturan yang dibentuk oleh negara, dan pemda. “Masalah yang muncul ini kan sebenarnya pada formalisasi hukum agama. Nah formalisasi hukum agamanya ini bisa menimbulkan bermacam-macam kalau seandainya dikuatkan dengan UU. Di sisi lain, bagaimana dengan masyarakat yang tidak mengerti agama atau agamanya Islam tapi tidak mengerti dosa, pahala dan sebagainya,” urainya.
Masalah ini yang menjadi tantangan bagi mubalik serta orang-orang yang mempunyai misi keIslaman yang baik, supaya mereka menemukan cara untuk mengajaknya tanpa semata-mata mengandalkan UU. Kalau kemudian timbul adanya anggapan bahwa hukum Islam tidak bisa diterapkan ada benarnya juga. Tapi, di sisi lain sudah ada hukum Islam yang bisa masuk dalam hukum positif. Misalnya Perbankan Syariah, hukum mengenai haji, dan itu semua adalah bagian dari pada hukum Islam.
Yang sulit adalah menerapkan hukum Islam mengenai pidana seperti potong tanggan, dan rajam. “Ini memang sangat sulit diterapkan di Indonesia bahkan di negara Mesir juga demikian. Nah, yang ada sebenarnya itu di Arab Saudi. Itu pun banyak kritik karena lagi-lagi yang dipidana itu orang miskin.”
Resistensi penolakan masyarakat itu karena di dalam hukum Islam sendiri masih banyak madzhab-madzhab tertentu dan kalau seandainya harus diakomodir menjadi aturan nasional maka madzhab mana yang harus dimenangkan dan itu menjadi masalah tersendiri di dalam masyarakat.
Tapi, bagi Muslimin. Sudah ada hukum positif di Indonesa yang menjiwai hukum Islam. “Artinya begini, pada dasarnya sumber hukum formil di Indonesia ini ada sumber adat, barat dan Islam. Saya melihat contoh dalam kontek penerapan hukum pidana.”
Sehingga menurutnya sudah jelas bahwa bagian-bagian yang sifatnya nilai, di mana ketika hakim mengadili sesuatu tidak semata-mata mengunakan kacamata hukum yang sifatnya sekuler karena ada beberapa diktum yang mewakili suara tuhan. Jadi ini merupakan inspirasi dari hukum Islam.
Pada intinya, kesimpulan yang diberikan Muslimin dalam menalaah hitam putihnya penerapan hukum Islam di Indonesia bisa dilihat dari filosifi hukum berupa ketaatan. Ketaatan karena dia yakin hukum yang diterapkan itu akan menguntungkan beberapa pihak, oleh karena itu ketaatan ini disebut sebagai ketaatan transaksional.
Kedua, ada model orang mentaati hukum karena model pemaksaan. Baginya kalau dia menerapkan hukum atau mentaati hukum karena ada sanksi, karenanya ini disebut sebagai keterpaksaan. Ketiga, ketaatan yang sangat tinggi yang disebut dengan ketaatan Ilaiah, misalnya kalau dia mentaati hukum dalam hal ini membayar pajak artinya mensubsidi orang miskin bagian dari perintah agama.
Karenanya, bila mentaati hukum itu bukan karena terpaksa, karena ada sanksi tapi bangkit dari nurani seperitual. “Nah, filosofi ketiga ini yang jarang ada pada penegak hukum masayarakat karena hukum hanya dilihat pada perintah atasan atau perintah pemerintah serta ketakutan dengan polisi,” pungkasnya.
Biodata
Nama : JM. Muslimin, PhD. MA
Tempat tgl/Lahir : Cepu, Jawa Timur, 16 Agutus 1968
Menikah : Ashraf Hanoum
Anak : Adam Jehan
: Salwa Jehan
Pendidikan
1982 – 1988 : Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa
Timur
1995 : Fakultas Hukum dan Syariah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
1998 : Universitas Rijk, Leiden, Belanda.
2005 : Universitas Hamburg, Jerman.
Dosen
1999 sampai sekarang : Dosen Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta
Seminar dan Konferensi
1. Peserta forum internasional pemuda muslim di Maroco. 1994
2. Panelis seminar dan presentasi laporan penelitian: Sebuah kerjasama antara Pemerintah DKI dan 10 Universitas di Indonesia. 1994
3. Peserta pada simposium internasional tentang Islam dan pembuatan komunitas global dalam mencari spiritualitas bari di Jakarta. 1995
4. Peserta pada Konferensi internasional tentang isalam pada abad 21 di Lieden. 1996
5. Panelis pada sebuah konferensi tentang “Pluralitas Agama dan Nasionalisme” di Indonesia. 1997
6. Panleis pada konferensi Asosiasi mahasiswa indonesia di Brussel. 2003
7. Panelis dalam simposium tentang islam dan terorisme di Hamburg. 2003
8. Panelis pada seminar tentang pluralisem agam dan integrasi sosial di Indonesia dan Berlin. 2004
9. Panelis pada seminar tentang Hukum Islam dan hak sipil yang diselenggarakan oleh asosiasi mahasiswa fakultas syariah dan hukum, di UIN Jakarta. 2005
10. Panelis dalam simposium tentang orientalisme dan konspirasi dengan institut Asia-Afrika di Universitas Hamburg, 2005
11. Panelis pada seminar internasional antar benua Dialog hak asasi manusia Asia-eropa dan keadilan di Kuala Lumpur. 2006
Penelitian dan publikasi
1. Tesis tentang hukum islam dan perubahan sosial tentang pemikiran Hazairin, Ibrahim Hosen dan Munawir Sjadzali di Universitas Rijk Lieden, Belanda.
2. Disertasi tentang hukum islam dan studi perbandingan perubahan sosial, institusinalisasi dan kodifikasi hukum keluarga Islam di Mesir dan indonesa pada Univesitas Hamburg, Jerman.
3. Artikel tentang Negara dan Perkawinan di muat pada Harian Republika, 22 April 2005
4. Artikel tentang Mengapa Undang-undang perkawinan perlu diamandemen di muat pada Majalah Forum Keadilan, 14 Agustus 2005
Bahasa
Bahasa Indonesia, English, Arabic, Jerman, Belanda





