Jumat, 25 Februari 2011

Mengawal Paradigma Hukum Islam di Indonesia


JM.  Muslimin, PhD, MA.
Pembantu Dekan Fakultas Hukum dan Syariah UIN Jakarta.

Menerapkan hukum Islam di Indonesia bukan perkara mudah. Namun, sebagian besar hukum positif di tanah air sudah mencerminkan hukum Islam.

Memasuki komplek Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta seperti berada di satu titik negeri di Timur Tengah. Tetapi, aktivitas yang terekam Fathul kembali mengingatkan bahwa kampus ini adalah salah satu kampus terbaik yang berada di tanah air. Di banyak tempat, terlihat kelompok mahasiswa, baik yang tengah bersenda gurau, ataupun berdiskusi dengan wajah serius menemani Fathul yang melangkah menuju gedung Fakultas Hukum dan Syariah.

Di temui di ruang kerjanya yang berukuran 2 X 3 meter, Fathul berbincang hangat dengan pria kelahiran 12 Agustus 1968. Di tengah obrolan, sesekali ia menerima mahasiswanya yang bergantian mahasiswa masuk keruangannya untuk keperluan akademik. Maklum selain sebagai dosen, Muslimin juga sebagai pembantu dekan bidang kemahasiswaan tentunya harus banyak bergaul dengan kebutuhan mahasiswa.

Mudah bergaul dan penuh terobosan dalam pemikiran mengenai penerapan hukum Islam memang dia dapatkan ketika menjadi salah satu santriawan di  Pondok Pesantren Darussalam Modern Gontor , Jawa Timur. 

Mulai dari SMP hingga SMA, Muslimin menghabiskan pendidikannya di sana. Pondok pesantren Gontor memang diakui banyak orang sebagai tempat pendidikan agama yang modern dan berbeda dengan yang lainnya.  Muslimin yang kala masih duduk di bangku SMP mengakui sudah mengagumi pemikiran dan ide-ide Nurcholis Madjid  atau yang di kenal dengan Cak Nur. Pemikiran Cak Nur yang kontroversial dan sempat menjadi perdebatan waktu itu adalah “Islam Yes, Partai Islam, No”.

Pemikiran itu membuat Muslimin lebih bergairah untuk mendalami ajaran Islam. Apalagi pemikiran Cak Nur yang mengolaborasikan gagasan melalui pandangan yang diberi Istilah Ke Islaman, Kemodernan dan KeIndonesiaan.  “Pemikiran Cak Nuri inilah yang membuat saya penasaran sebenarnya apa sih yang diperdebatkan dan kenapa pernyataan itu diperdebatkan,” terang Muslimin yang hoby membaca ini.

Muslimin mengakui, ketika dia masih duduk di SMP memang tidak memahami betul perdebatan tersebut apalagi dia juga dibuat penasaran dengan kata cendikiawan muslim, dan sebagainya.  Karena itulah kemudian dia bertekad untuk memperdalam lagi pemahamannya dengan hijrah ke Jakarta dan masuk keperguruan tinggi Universitas Islam Negeri mengikuti perjalanan Cak Nur yang kala itu juga mengenyam pendidikan di sana.

Setelah menjadi mahasiswa jurusan Hukum dan Syariah UIN yang konon katanya mempunyai proyek exercise untuk memodernisasikan ajaran Islam. Muslimin lebih intens lagi mengikuti perdebatan tersebut.   Keingintahuan makin mengebu-gebu saat menjadi mahasiswa. Saat itu,  Menteri Agama periode (1983-1988 dan 1996-1998) Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. yang sebelumnya juga mempunyai pemikiran yang kontroversial.

Ide Munawir itu adalah mengenai pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan yang menurutnya tidak harus ada perbedaan. Kemudian ide reaktualisasi ajaran Islam bahwa negara yang berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final, negara yang diinginkan oleh Umat Islam Indonesia.  Pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh cendikiawan muslim itulah yang membuat Muslimin menjadi sosok pemikir hukum yang kritis dan lebih mengedepankan sosiologi masyarakat dari pada pemaksaan diberlakukannya hukum Islam di Indonesia.

Menurutnya ada dua pandangan dalam menilai hukum positif yang diarahkan untuk mengadopsi hukum Islam murni. Pandangan pertama menurutnya adalah ada pandangan  yang melihat secara dogmatis hukum Illahi. Dalam artian memandang sesuatu itu antara hitam dan putih sehingga tolak ukur yang di pakai dalam penyerapan hukum Islam menjadi hukum nasional apabila hukum pidana dalam Islam diserap dalam hukum nasional.
          
        Muslimin yang pernah menyelesaikan pendidikan Strata tiga di Universitas Hamburg, Jerman, kembali menjelaskan bahwa pola pandang yang demikian  biasanya berkaitan dengan hukuman seperti qisas, hudud ada hukum potong tangan dan rajam. “Ini  merupakan pandangan atau tolak ukur yang sifanya dogmatis dalam satu aliran.”  

          “Pandangan kedua biasanya disebut dengan pandangan subtansi itu berupa aturan pelarangan misalnya, pencurian itu di dunia, agama manapun pasti melanggar hukum,” lanjut Muslimin.           

Menurutnya, yang menjadi masalah dalam kaitannya tindakan mencuri dalam prespektif hukum Islam adalah adanya bentuk sanksi hukuman. “Bentuk hukuman mencuri sampai kadar tertentu adalah potong tanggan. Ini yang membedakan corak pemikiran yang dogmatis dan subtantif,” ungkap Muslimin yang pernah menjadi ketua Umum HMI Cabang Ciputat.

Adanya elaborasi pendidikan di luar kampus Muslimin menemukan jati darinya dalam menilai berlakunya hukum Islam. Karenanya dia berpendapat bahwa berbicara mengenai pemikiran subtantif harusnya  tidak lagi berbicara mengenai bentuk hukuman melainkan berbicara mengenai norma yang benar dan tidak mengeser norma itu menjadi hal yang dibenarkan.

Jadi Menurut Muslimin. Masalah pencurian itu dalam kehidupan masyarakat pasti merupakan aib, dan melanggar hukum. Nah, inilah yang sesungguhnya pararel dengan hukum Islam. Sehingga, kalau memandang dari ciri hukum Islam yang subtantif sebenarnya aura hukum nasional berupa hukum Islam.  

“Jadi tidak mendikotomikan,” lanjut Muslimin yang sudah mempunyai dua anak hasil pernikahan dengan Ashraf Hanoum. Bahwa bila  memakai cara pandang yang sifatnya dogmatis, maka auranya dikotomi antara hukum nasional yang seolah-olah berdiri sendiri dan  sifatnya sekuler hasil buatan manusia. Sementara hukum Islam seolah-olah wahyu yang suci dan harus terus didorong menjadi hukum nasional dengan berbagai cara.

Kenapa tidak menerapkan sanksi seperti yang ada dihukum Islam, tanya Fathul.  Dia menjelaskan bahwa problematika penerapan sanksi itu memang ada di sana. Bagaimana jika orang yang dikenakan sanksi itu adalah orang yang tidak bersalah.  “Hukum itu ada proses pembuktian, penegakan, pemidanaan. Kalau penegakan hukumnya tidak bersih maka ada kemungkinan dalam proses pembuktian itu yang kalah adalah orang-orang miskin atau lemah,” ujarnya.   

Ia memberi contoh, pencurian  bila pelakunya adalah orang yang tidak melek hukum, miskin yang tidak bisa membayar advokat maka yang terjadi adalah, bisa jadi, orang miskin itu di hukum potong tangan. Sementara yang kerah putih seperti kasus Century tidak tersentuh. “Kalau kemudian hukumannya adalah potong tangan  tiba-tiba ada bukti bahwa bukan dia pelakunya sementara tangannya sudah dipotong bagaimana mengembalikannya,” ungkap Muslimin dengan nada khawatir.

Dia juga berpendapat bahwa melalui pandangan salah satu mazhab yang mengatakan bahwa sebenarnya kalau ada kejahatan yang salah itu bukan hanya penjahat tapi yang salah juga sistem sosial. “Kalau ada orang mencuri belum tentu pencuri itu mutlak disalahkan. Bisa jadi yang disalahkan adalah orang-orang yang ada disekitarnya.”  

Kenapa orang miskin itu dibiarkan, dia bertanya sekaligus memberikan jawaban, karena orang miskin itu tidak disantuni, disubsidi pemerintah, tidak diberikan pekerjaan yang layak, sehingga dia mencuri dalam kondisi yang memang tidak ada pekerjaan lain kecuali mencuri.  Pandangan-pandangan inilah yang sebenarnya menyulitkan untuk melakukan penerapan hukum Islam dengan pandangan yang konvensional tadi,” jelasnya.

Persoalan yang bisa menjadi perdebatan bila hukum Islam dipandang secara dogmatis akan kembali bermunculan manakala hukum Islam dipahami secara parsial. Misalnya, ada sebagian madzhab yang mengatakan apabila ada orang muslim yang pindah agama maka akan di hukum mati.  ”Nah, coba dibayangkan apabila itu kemudian diterapkan maka akan banyak orang yang berpendapat bahwa itu adalah hak untuk memilih agama kenapa dilarang, apakah itu harus dipaksakan inilah yang menjadi probelmnya,” ungkapnya.

 Lebih dari itu, kasus yang sekarang masih bergemin yaitu aliran Ahmadiyah tidak luput dari sorot pemikirannya. Dimana sudah banyak orang yang mengatakan harus dihapus dari Indonesia. Lebih-lebih jika sanksi hukum Islam diterapkan maka orang murtad itu harus dihukum mati. 

Karenanya ada beberapa asumsi-asumsi bila hukum Islam itu diterapkan secara murni yang mana akan menciptakan sebuah image yang sangat kejam dan tidak berkemanusiaan. ”Makanya ini kembali pada model seruannya dan menjadi tugas para ulama.”

****

Pemikiran-pemikiran Muslimin ini tidak terlepas dari semangat yang diberikan Munawir yang mengajarkan agar para mahasiswanya kalau hendak tampil dikemudian hari secara kompetitif harus meneruskan pendidikan di luar negeri.  “Satu kekurangan yang diperoleh oleh Alumni UIN adalah tidak mempunyai metode berpikir yang kritis. Sehingga pak Munawir menyarankan untuk mengambil beasiswa di luar negeri,” cerita Muslimin.

Dengan semangat itulah kemudian Muslimin mengambil pendidikan S-2 di Universitas Leiden. Di sana Muslimin kembali mempertajam pengetahuannya di bidang sosiologi hukum. Sehingga banyak tokoh yang menjadi tolak pemikirannya. Itu semua semakin menantang pemikirannya untuk menemukan apa yang menjadi pertanyaan selama ini. ”Kalau dirumuskan, pertanyaan yang saya cari jawabannya antara lain, apa sih pemikiran yang berdimensi keIndonesian, kemodernan, keIslaman yang diramu dalam satu nuansa pemikiran? Meskipun yang saya kaji lebih ke arah sosiologi hukum,” ungkapnya.   

Muslimin juga memotret hukum Indonesa yang berinteraksi dengan hukum barat dan bagaimana membuat hukum yang berwarna hukum khas Indonesia. “Itulah yang saya pelajari di Leiden. Saya tekuni dengan prespektif pendekatan keIslaman, kemodern dan keIndonesiaan.”  

Semua itu diramu dengan berbagai macam polemik penerapan hukum Islam di Indonesia. Misalnya terkait dengan perdebatan pengaturan hukum mengenai pemakaian jilbab. Di mana ada dua pendapat yang berbeda mengenai itu, yaitu pemakaian jilbad harus dibuat aturan dalam perda atau dibuat undang-undang bagi perempuan muslim.  Pandangan yang kedua, tidak perlu pengaturan tersebut. Biarlah jilbab itu menjadi seruan yang sifatnya kultural tidak melalui UU. “Toh, nanti orang yang melihat perempuan memakai jilbab akan mengatakan anggun, suci, menarik, sholehah, akhirnya orang Indonesia akan semakin banyak memakai jilbab.”  

Ia melihat dua pandangan itu bisa dijadikan sebagai seruan yang menarik sehingga bisa menjadi unsur budaya. Sehingga nantinya orang memakainya dengan sukarela dan betul-betul dari suara nuraninya bukan karena dipaksakan oleh sebuah peraturan yang dibentuk oleh negara, dan pemda.  “Masalah yang muncul ini kan sebenarnya pada formalisasi hukum agama. Nah formalisasi hukum agamanya ini bisa menimbulkan bermacam-macam kalau seandainya dikuatkan dengan UU. Di sisi lain, bagaimana dengan masyarakat yang tidak mengerti agama atau agamanya Islam tapi tidak mengerti dosa, pahala dan sebagainya,” urainya.    

Masalah ini yang menjadi tantangan bagi mubalik serta   orang-orang yang mempunyai misi keIslaman yang baik, supaya mereka menemukan cara untuk mengajaknya tanpa semata-mata mengandalkan UU. Kalau kemudian timbul adanya anggapan bahwa  hukum Islam tidak bisa diterapkan ada benarnya juga. Tapi, di sisi lain sudah ada hukum Islam yang bisa masuk dalam hukum positif. Misalnya Perbankan Syariah, hukum mengenai haji, dan itu semua adalah bagian dari pada hukum Islam.  

          Yang sulit adalah menerapkan  hukum Islam mengenai pidana seperti potong tanggan, dan rajam. “Ini memang sangat sulit diterapkan di Indonesia bahkan di negara Mesir juga demikian. Nah, yang ada sebenarnya itu di Arab Saudi. Itu pun banyak kritik karena lagi-lagi yang dipidana itu orang miskin.”   

Resistensi penolakan masyarakat itu karena di dalam hukum Islam sendiri masih banyak madzhab-madzhab tertentu dan kalau seandainya harus diakomodir menjadi aturan nasional maka madzhab mana yang harus dimenangkan dan itu menjadi masalah tersendiri di dalam masyarakat. 

          Tapi, bagi Muslimin. Sudah ada hukum positif di Indonesa yang menjiwai hukum Islam. “Artinya begini, pada dasarnya sumber hukum formil di Indonesia ini ada sumber adat, barat dan Islam. Saya melihat contoh dalam kontek penerapan hukum pidana.”

Sehingga menurutnya sudah jelas bahwa bagian-bagian yang sifatnya nilai, di mana ketika hakim mengadili sesuatu tidak semata-mata mengunakan kacamata hukum yang sifatnya sekuler karena ada beberapa diktum  yang mewakili suara tuhan. Jadi ini merupakan inspirasi dari hukum Islam.

Pada intinya, kesimpulan yang diberikan Muslimin dalam menalaah hitam putihnya penerapan hukum Islam di Indonesia bisa dilihat dari filosifi hukum berupa ketaatan. Ketaatan  karena dia yakin hukum yang diterapkan itu akan menguntungkan beberapa pihak, oleh karena itu ketaatan ini disebut sebagai ketaatan transaksional.  

Kedua, ada model orang mentaati hukum karena model pemaksaan. Baginya kalau dia menerapkan hukum atau mentaati hukum karena ada sanksi, karenanya ini disebut sebagai keterpaksaan. Ketiga, ketaatan yang sangat tinggi yang disebut dengan  ketaatan Ilaiah, misalnya kalau dia mentaati hukum dalam hal ini membayar pajak artinya mensubsidi orang miskin bagian dari perintah agama.

Karenanya, bila mentaati hukum itu bukan karena terpaksa, karena ada sanksi tapi bangkit dari nurani seperitual. “Nah, filosofi ketiga ini yang jarang ada pada penegak hukum masayarakat karena hukum hanya dilihat pada perintah atasan atau perintah pemerintah serta ketakutan dengan polisi,” pungkasnya.    


Biodata
Nama                            : JM. Muslimin, PhD. MA
Tempat tgl/Lahir          : Cepu, Jawa Timur, 16 Agutus 1968
Menikah                        : Ashraf Hanoum
Anak                              : Adam Jehan
                                      : Salwa Jehan

Pendidikan                 

1982 – 1988                  : Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa
  Timur
1995                              : Fakultas Hukum dan Syariah UIN Syarif
                                        Hidayatullah Jakarta   
1998                              : Universitas Rijk, Leiden, Belanda.
2005                              : Universitas Hamburg, Jerman.

Dosen
1999 sampai sekarang  : Dosen Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta

Seminar dan Konferensi 
1.     Peserta forum internasional pemuda muslim di Maroco. 1994
2.      Panelis seminar dan presentasi laporan penelitian: Sebuah kerjasama antara Pemerintah DKI dan 10 Universitas di Indonesia. 1994
3.     Peserta pada simposium internasional tentang Islam dan pembuatan komunitas global dalam mencari spiritualitas bari di Jakarta. 1995
4.     Peserta pada Konferensi internasional tentang isalam pada abad 21 di Lieden. 1996
5.     Panelis pada sebuah konferensi tentang “Pluralitas Agama dan Nasionalisme” di Indonesia. 1997
6.     Panleis pada konferensi Asosiasi mahasiswa indonesia di Brussel. 2003 
7.     Panelis dalam simposium tentang islam dan terorisme di Hamburg. 2003
8.     Panelis pada seminar tentang pluralisem agam dan integrasi sosial di Indonesia dan Berlin. 2004
9.     Panelis pada seminar tentang Hukum Islam dan hak sipil yang diselenggarakan oleh asosiasi mahasiswa fakultas syariah dan hukum, di UIN Jakarta. 2005
10.                        Panelis dalam simposium tentang orientalisme dan konspirasi dengan institut Asia-Afrika di Universitas Hamburg, 2005
11.                        Panelis pada seminar internasional antar benua Dialog hak asasi manusia Asia-eropa dan keadilan di Kuala Lumpur. 2006

Penelitian dan publikasi
1.     Tesis tentang hukum islam dan perubahan sosial tentang pemikiran Hazairin, Ibrahim Hosen dan Munawir Sjadzali di Universitas Rijk Lieden, Belanda.
2.     Disertasi tentang hukum islam dan studi perbandingan perubahan sosial, institusinalisasi dan kodifikasi hukum keluarga Islam di Mesir dan indonesa pada Univesitas Hamburg, Jerman.
3.     Artikel tentang Negara dan Perkawinan di muat pada Harian Republika, 22 April 2005
4.     Artikel tentang Mengapa Undang-undang perkawinan perlu diamandemen di muat pada Majalah Forum Keadilan, 14 Agustus 2005

Bahasa               
Bahasa Indonesia, English, Arabic, Jerman, Belanda

 








  

 



Read more »

IPB Mesti Mengikuti Etika Akademik atau Mematuhi Hukum

Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) soal keberadaan bakteri E sakazakii dalam susu formula pengganti air susu ibu (ASI) bisa menimbulkan gangguan pencernaan pada tikus telah menimbulkan polemik. Publik kuatir susu formula yang selama ini dikonsumsi anak mereka termasuk sampel yang digunakan peneliti IPB untuk mendapatkan bakteri yang diteliti tersebut.

Timbul desakan agar merek susu asal bakteri tersebut dibuka. Namun IPB menolak dengan alasan etika akademik yang melarang peneliti membuka sampel. Selain itu, tujuan penelitian adalah menguji sifat patogenisasi (menimbulkan penyakit atau tidak) bukan mencari susu tercemar bakteri itu. Apalagi WHO saat itu mentoleran keberadaan bakteri itu dengan alasan tak bersifat patogen.

IPB makin terpojok setelah Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan David L Tobing dan memerintahkan Kemenkes, BPOM dan IPB membuka merek susu. Jasa besar IPB meyakinkan WHO melalui hasil penelitian mereka agar menghapus toleransi bakteri E sakazakii dalam susu forumula, akhirnya tertutup oleh sikap IPB bersikukuh lebih mematuhi etika akademik. Pertanyaannya, manakah yang lebih didahulukan, apakah etika akademik atau putusan MA?

David Tobing
Pihak Penggugat IPB, BPOM dan Kemenkes

Sebenarnya apa yang kami tuntut kepada IPB, BPOM, dan Kemenkes agar membuka sampel dan merek penelitan mengenai pencemaran bakteri E sakazakii pada susu formula tertentu, itu sejalan dengan putusan yang sudah dijatuhkan oleh MA. Namun, sampai pada detik ini IPB masih belum juga melaksanakan putusan tersebut. Oleh karenanya, IPB bisa dibilang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau setidaknya tidak mematuhi hukum.

Soal etika penelitian, saya melihat alasan etika itu tidak berdasar karena tidak pernah disebutkan dari mana asalnya etika tersebut, apakah ada di dalam undang-undang, pasal dan ayat berapa atau terdapat dalam buku lainnya.

Kalaupun etika itu bersifat informal, maka ia jauh berada di bawah hukum. Hal ini saya bisa nilai bahwa alasan yang disampaikan oleh IPB tidak bisa dipakai untuk menunda atau bahkan tidak menjalankan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tetapi saya tak akan berhenti sampai di sini untuk mendapatkan keadilan. Saya akan terus berupaya supaya putusan MA ini dapat dijalankan. Saya juga berencana melakukan laporan tindak pidana. Sebab dalam perkembangan kasus ini, ada kebohongan-kebohongan yang diucapkan ketiga tergugat yang bisa dikualifikasi dalam tindak pidana umum.

Kebohongan itu misalnya, Menkes mengatakan tidak mengetahui penelitian tersebut. Padahal IPB di dalam dokumen perkara sudah menyatakan dan memberitahukan hasil penelitian pada tahun 2006 kepada BPOM. Sementara pada tahun 2008 sudah melaporkan kepada BPOM serta Departemen Pertanian.

Jika kemudian alasan yang dipakai untuk tak membuka sempel tersebut karena beresiko pada adanya persaingan usaha yang tak sehat, itu jelas tak ada. Karena, suatu penelitian atau suatu tindakan itu ada konsekuensinya.

Kalau kemudian setelah dibuka ada gugatan, ada persaingan usaha itu kan konsekuensi IPB melakukan penelitian. Jadi jangan mengambil enaknya saja, tapi harus berani juga untuk bertanggungjawab.

Dengan demikian, saya hanya berpikir bahwa apa yang dilakukan IPB ini akan berdampak sangat buruk terhdap penegakan hukum di Indonesia. Bisa jadi masyarakat dan oknum-oknum yang tak bertanggungjawab akan mengatakan, kami tak akan menjalankan hukum karena ada etika, ini dan itu.

Sementara di dalam UU No.14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi yang dimaksud hendak diminta adalah sifatnya serta merta yang harus diumumkan karena menyangkut kandungan racun pada makanan.

Bila ini tidak di informasikan maka ada ancamannya, di mana dalam pasal 52 disebutkan. Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak menerbitkan Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta maka dapat dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta .


Dr Ir Bonny Poernomo Wahyu Soekarno MSc,
Sekretaris Eksekutif Rektor IPB

Pada prinsipnya bukannya kami tidak mentaati hukum, sebab sekarang ini kami sedang mengkaji persoalan tersebut serta mencoba untuk menjelaskan kepada masyarakat terutamanya kepada media tentang duduk persoalannya dan bagaimana kedudukan bakteri E sakazakii sehingga bukan masalah merek dan lain sebagainya yang dipersoalkan.

Artinya, IPB akan tetap menghormati kaidah hukum yang ada. Bila pertanyaannya kenapa IPB sampai sekarang belum bisa menyampaikan dan apa yang harus dilakukan pada hari ini? Karena kami belum mendapatkan releas putusan MA sehingga belum bisa berbuat banyak.

Perlu diketahui pada dasarnya kami sudah proaktif untuk mendapatkan releas putusan Mahkamah Agung, dan berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari kantor hukum, kami disuruh untuk menunggu putusan tersebut. Jadi jangan dibilang kami tidak proaktif, semenjak mendapatkan informasi putusan tersebut kami sudah menanyakan langsung ke lembaga terkait.

Bila kami sudah mendapatkannya, Insya Allah kami akan menindak lanjuti keputusan MA dengan mempelajari dan tentunya membuat opsi-opsi yang baik bagi semua termasuk apakah nanti membuat opsi untuk mengumumkannya atau tidak. Namun kiranya hal ini bisa dimengerti karena membutuhkan waktu yang lama dan yang lebih penting lagi, kami akan mengkomunikasikan dengan berbagai pihak masyarakat dan media serta berharap agar masyarakat bisa memahami secara utuh apa yang terjadi dengan bakteri E sakazakii yang terjadi belakangan ini. Sehingga apabila diambil suatu langkahpun itu adalah langkah yang terbaik untuk semua.

Sementara alasan etika yang dipersoalkan itu pada umumnya merupakan otoritas seorang peneliti yang sifatnya sangat tinggi dan dihargai di dalam melakukan penelitian dan juga dalam menyampaikan hasil-hasilnya. Jadi di sini kami menghormati keputusan mengenai bakteri sakazakii.

Kami menghargai betul peneliti itu, apabila peneliti tidak mau menyebutkan mereknya, ok kami akan hargai dan sampai sekarang ini kami juga tidak tahu mereknya apa, karena itu merupakan etika peneliti yang sangat khusus yang harus dijaga. Yang saya ketahui di manapun yang namanya etika tak dalam bentuk sebuah peraturan undang-undangan, namun berbentuk sebuah konvensi dan lain sebagainya yang bisa dilihat dalam berbagai penelitian internasional. Kalaupun ada mungkin analoginya terdapat di dalam pasal 21 UU Nomor 16/1997 tentang statistik.

Oleh karena itu, momentum yang terjadi sekarang ini, saya pikir perlu untuk diperkuat atau setidaknya diberikan payung hukum sehingga tidak menimbulkan polemik. Sebab, di negara lain juga sudah ada meskipun tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Sehingga dengan adanya payung hukum yang pasti maka dalam menjalankan putusan atau melaksanakan hukum jangan sampai berbenturan dengan norma-norma apapun. Putusan yang adil tentunya tidak akan bertabrakan dengan norma yang ada termasuk juga dengan norma atau etika akademik.

Nah, inilah yang hendak ingin kami sampaikan kepada masyarakat sehingga dua-duanya bisa berjalan. Bagaimana supaya kami bisa menyampaikan dengan baik, makanya kami sedang menyiapkan opsi-opsi termasuk misalnya opsi membuka namun tentunya masih perlu dikaji ulang dengan etika yang ada sehingga kami tidak disalahkan.

Read more »

MENJADI PEMIMPIN YANG SUPER


Melalui buku ini, dapat membentuk pemimpin yang arif dan bijaksana sepertihalnya kepemimpinan Rasullullah.   

Setiap individu adalah pemimpin, tapi tidak semua pemimpin mampu menjadi pemimpin yang dapat mengayomi orang. bahkan termasuk juga pada dirinya sendiri.

Meskipun pada hakekatnya bakat kepemimpinan itu bisa berasal dari dalam dirinya (bawaan) dan ada pula yang berasal dari luar dirinya (terbentuk oleh lingkungan atau pendidikan).

Terlepas dari itu, bakat kepemimpinan yang ada dalam diri harus terus dikembangkan sehingga bakat kepemimpinan itu bisa lebih baik dan mampu mengarahkan seorang yang dipimpinnya dapat menjadi pemimpin dalam dirinya.

Inilah suatau gagasan atau metode dalam meciptakan pemimpin super yang disajikan dalam buku berjudul. “Islamic Leadership Membangun SuperLeadership Melalui Kecerdasan Spiritual”.

Buku tersebut tidak sekadar mengajarkan teori-teori namun juga memberikan contoh pemimpin besar dieranya sehingga menjadi pemimpin yang dikenang sepanjang massa yaitu, Rasulullah Muhammad.

Karenanya, penulis mengambil rujukan untuk dijadikan sebagai landasan dan acuan dari al-quran dan hadist. Tapi, untuk memperkaya pemahaman penulis juga menyesuaikan dengan perkembangan jaman dengan cara mengambil contoh pemikiran-pemikiran lain.   

Penulis juga mendiskripsikan berbagai macam tipe kepemimpinan dari abad ke abad yang tidak hanya sekadar sebagai perbandingan melainkan sebagai rujukan untuk menyesuaikan cara pandang dan pola pemikir yang baik.   

Buku yang disajikan dengan berbagai rujukan agama, memang mengarahkan kepada umat muslim untuk senantiasa menjadikan panutan terhadap Muhammad yang sekaligus menjadi idola guna  menciptakan pemimpin yang tidak hanya mengerti menegerial kepemimpinan. Namun lebih dari itu, harus mempunyai akhlak yang baik, dan jiwa besar.  

Konsep untuk menjadi pemimpin yang super dielaborasikan dengan persoalan yang biasa dihadapi pemimpin yaitu, masalah mengendalikan emosi. Dan sering kali, masalah ini yang menjadi kendala untuk menjadi pemimpin yang baik.    

Namun, penulis tidak menjadikan masalah itu menjadi besar.
Nyatanya,  emosi tidak sepenuhnya menjadi hal yang menakutkan dan dapat menghambat kepemimpinan. Penulis mengatakan, bila pesan emosi itu bisa dihargai dan diarahkan maka akan menjadi lebih baik sebab emosi itu adalah rangsangan bagi pikiran untuk menghadapi persoalan. 

Caranya, metodenya seperti apa? Penulis dalam buku ini menjawab dengan penuh kesempurnaan dan berdasarkan nash-nash yang ada dalam al-quran dan hadist, di mana salah satunya adalah menggunakan peran spiritual seperti berpuasa dan lain-lain.   

Karenanya untuk menjadi pemimpin yang super tidak hanya menggunakan kecerdasan akal, otot yang kuat melainkan harus didukung dengan kemampuan serta kecerdasan spiritual yang dimilikinya. 

Pada bagian lain penulis juga mengingatkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus menunjukkan kepedulian terhadap orang lain, memberikan kesempatan, dan mendorong terwujudnya tujuan yang dicita-citakan. 

Nah, bagaimana menemukan konsep kepemimpinan yang dianjurkan oleh Islam, dan bagaimana konsep kepemimpinan rasulullah serta bagaimana cara untuk mengimplementasikan konsep kepemimpinan rasuluallah dapat ditemukan melalui buku ini. 

Menariknya, lingkup atau konsep kepemimpinan yang ditawarkan dalam buku ini tidak hanya untuk dipergunakan dalam situasi sebagai pemimpin suatu bangsa, tidak juga sebagai posisi bos dalam perusahaan.

Namun pada intinya, buku ini mengajarkan dan bertujuan untuk menciptakan seorang pemimpin untuk dapat berbuat sesuatu dalam  meningkatkan dan membebaskan self-leadership pada orang lain. Dengan demikian, manfaat dari pada ajaran yang ada dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memimpin sebuah forum-forum tertentu.    

Dalam kontek kebangsaan, buku ini sekiranya wajib dibaca oleh para pemimpin elit politik untuk sebisanya dijadikan renungan, intropeksi diri dalam menghadapi keterpurukan bangsa dan aneka macam persoalan yang dihadapi republik akhir-akhir ini.  

Fathul Ulum

Judul Buku        : Islamic Leadership Membangun SuperLeadership Melalui Kecerdasan Spiritual
Penulis               : Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A dan Ir. H. Arviyan Arifin      
Penerbit              : PT. Bumi Aksara   
Tahun Terbit     : November 2009
Tebal                   : 664 Halaman

Read more »

Dapatkah Pelanggar Syarat Poligami Dipidana


Poligami memang tidak dilarang. Namun sering kali praktik poligami tidak mengindahkan ketentuan syarat poligami dalam undang-undang. Apakah pelanggaran tersebut bisa dikenakan sanksi pidana?

Fenomena praktek poligami di Indonesia sempat menjadi perbincangan yang hangat. Karena tidak sedikit orang yang melakukan praktek tersebut, contoh saja da’i kondang KH. Abdullah Gymnastiar yang sering dipanggil Aa Gym dengan Elvarini atau biasa di sapa Teh Rini. Atau mantan Wakil Presiden Hamzah Haz yang ketika dilantik menjadi Wakil Presiden memiliki istri lebih dari satu.


Pada tahun 2009 juga diwarnai dengan munculnya klub-poligami yang memang mewadahi orang-orang yang melakukan prakteb tersebut. Meskipun, klub itu di pandang sinis kaum feminis yang menantang praktek poligami, namun apa boleh dikata hal ini merupakan kebebasan beorganisasi yang dijamin UU.   

Praktek poligami sendiri memang tidak ada salahnya bahkan diperbolehkan menurut hukum agama dan hukum positif (UU Perkawinan) yang ada di Indonesia. Namun, poligami tidak serta merta bisa dilakukan karena ada beberapa syarat  yang harus dipenuhi.  

Muhammad Shahrur dalam bukunya Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy menyebutkan Allah tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Allah sangat menganjurkannya dengan dua syarat. Syarat yang pertama, perempuan yang menjadi isteri kedua, ketiga, atau keempat berstatus janda dan mempunyai anak yatim.  

Syarat kedua, harus terdapat rasa khawatir tak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Meskipun demikian, tak semua negara memperbolehkan praktek tersebut. ”Di negara-negara muslim seperti Tunisia poligami adalah praktek terlarang,” kata Asep Saepudin Jahar kepada Forum.  

Pelarangan yang sama juga berada di Turki. Di mana pelarangan penerapan praktek poligami bermuara pada penafsiran Qs. An-Nisa’ (4): 3 bahwa poligami harus didasari atas perlakuan adil, sementara dalam Qs. An- Nisa’ (4): 129 dinyatakan manusia sekali-kali tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrinya meskipun telah berupaya. 

Sementara syarat praktek poligami yang ada di hukum positif dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 57, Pengadilan dapat memberikan ijin kepada suami untuk menikah lagi dengan syarat.
Syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut antaranya, lebih pada kondisi pasangan laki-laki yaitu ketika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kemudian syarat yang harus dipenuhi adalah manakala seorang istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.  

Syarat ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan di dalam pasal 5 Undang-undang Perkawinan juga mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi para suami yang akan beristri lebih dari satu orang. 

Syarat yang di maksud dalam pasal tersebut adalah di mana istri telah memberikan persetujuan kepada suami. Syarat yang selanjutnya adalah adanya kepastian bagi suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak mereka. Selain itu, sorang suami juga harus memberikan jaminan kepadan istri dan anak-anaknya supaya berlaku adil. 

Bila persyaratan-persyaratan yang ditentukan telah dipenuhi maka sesui dengan ketentuan undang-undang maka pihak Pengadilan Agama yang merupakan lembaga yang berkompeten memberikan ijin poligami. Namun dalam prakteknya banyak ketentuan-ketentuan  tersebut di langgar. 

Melihat contoh di masyarakat memang terlihat jelas meskipun istrinya dalam kondisi baik, bugar, sehat bahkan bisa memberikan keturunan. Tapi toh, kaum laki-laki masih saja melakukan poligami dengan tameng bahwa istri-istri mereka telah memberikan ijin. 

Ironis memang, di saat syarat yang lain diindahkan, prose poligami masih berlanjut. Apakah ini masuk dalam kualifikasi pelanggaran atau tidak. Sebab, aturan hukum yang berlaku juga mensyaratkan bahwa poligami tidak hanya berdasarkan atas ijin istri melainkan ada syarat lain yang harus dipenuhi, apakah istrinya tidak sehat, dan apakah bisa berlaku adil.

Asep Saepudin Jahar, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah
”Ini Lebih Bersifat Perdata”  

Kebanyakan praktik poligami tidak sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi aturan-aturan poligami itu sendiri. Oleh kerena itu, muncul lah usulan agar pelanggaran ketentuan syarat itu mestinya diberi sangsi pidana agar tidak ada celah orang memanfaatkan bolehnya berpoligami tersebut. Apakah usulan pemidanaan pelaku poligami yang tidak memenuhi ketentuan syarat dari UU tersebut bisa dipidana?  

UU perkawinan mensyaratkan bagi kaum laki-laki dalam berpoligami. Ironisnya meskipun istri sehat, tidak gila tapi pihak suami tetap saja mendapatkan ijin poligami. Bagaimana Anda melihat realitas ini? 

Filosfi dari UU perkawinan itu memang ingin melindungi hak-hak perempuan supaya dalam perkawinan atau poligami sah di dalam Islam tapi dilakukan dengan cara-cara yang adil, tramnsparan, dan baik. Nah, karena itu dibuatlah aturan sedemikian rupa. Untuk PNS ada aturannya dalam PP No. 10 Tahun 1983 (Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) yang diperkuat dengan PP No. 45 Tahun 1990.
Masalah terjadi penyimpangan dalam prakteknya, pada satu sisi juga ada ijin dari istri. Sebanarnya secara legal formal tidak dibenarkan karena istri itu hanya satu. Meskipun istri kedua itu legal tapi secara legal formal istri kedua tidak mendapatkan apa-apa terutama di dalam warisan, perwalian dan lain-lain. 

Apakah hanya cukup dengan ijin istri, sementara suami tidak mengindahkan syarat-syarat lain ini bisa dibilang pelanggaran?

Bila dilihat, ini kan lebih pada masalah perdata sehingga memang tidak bisa di bawa ke meja pengadilan seperti halnya masalah pidana. Di samping itu negara ini juga belum mempunyai pengaturan seperti yang ada di wilayah Timur Tengah seperti di Tunisia yang bisa memenjarakan suaminya apabila dia melakukan poligami. 

Perlukah pengaturan sanksi pidana di Indonesia perihal poligami?

Menurut hemat saya terkait dengan isu tersebut bila sampai diarahkan pada proses pemidanaan maka ini akan menimbulkan masalah yang lebih komplikatit lagi.  Menurut saya yang harus dilakukan adalah pembinaan atau penghukuman bagi yang memberikan ijin poligami itu sendiri. Karena seorang yang hendak melakukan poligami tidak akan bisa tanpa seijin lembaga terkait seperti, KUA, pengadilan, maka yang harus dihukum adalah orang yang memberi ijin tersebut dan tentunya diberi hukuman kepada suami apabila melakukan pelanggaran terkait dengan hak-hak yang ada. Jadi, saya juga kurang setuju bila pemberian sanksi pidana ini dilakukan dengan semena-mena. 

Sebenarnya, syarat mengenai poligami itu berlaku secara komulatif atau tidak?

Persyaratan-persyaratan yang ada dalam UU Perkawinan itu sangat berat untuk dijalankan, misalnya mendapat ijin dari istri, kemudian istri dalam kondisi tidak sehat dalam arti tidak bisa melahirkan. Jadi syarat itu memang bersifat komulatif artinya dalam kondisi itu ada suatu hal yang  mendasar. Sementara yang ada dalam masyarakat itu terkadang mengatakan bila tidak mau dipoligami ya cerai. Padahal istrinya juga sudah mempunyai anak. 

Inilah yang menjadi masalah, istri sehat tapi masih poligami. Apa komentar Anda?

Jadi ini memang ada  masalah pada penerapan hukum yang tidak konsisten. Contohnya juga masalah KTP ganda ada dimana-mana. Jadi harus juga dilihat bahwa logika dari poligami itu terdapat dalam individu-individu itu sendiri yang menyimpan lepido tertentu kalau dilihat secara antropologis baik laki-laki maupun perempuan tapi terutama laki-laki ada yang memang tidak bisa melayani suaminya yang kemudian megijinkan suaminya untuk poligami, tapi ini tidak bisa juga dijadikan sebagai alasan pembenar.  Dalam hal ini bukan kemudian mengharamkan poligami karena itu tadi masih berkaitan dengan masalah administrasi.

Dengan realitas undang-undang yang demikian, bagaimana solusinya menurut Anda?
 
Jadi biarkan saja ada pengaturan poligami seperti itu, tapi yang harus dilakukan adalah memberikan perlindungan kepada istri sehingga tidak terjadi ”kesewenang-wenangan” yang dilakukan oleh suami untuk menikah lagi tanpa adanya alasan yang jelas dan kuat. Di samping itu juga, harus ada pengaturan yang kuat terhadap hak istri dalam hal misalnya, pengasuhan anak, dan lain-lain. Kemudian harus ada hukuman yang jelas kepada aparat yang memberikan ijin tanpa ada kelengkapan syarat yang dimaksud dalam undang-undang. Saya pikir biarlah hukum poligami seperti itu, meskipun terjadi perdebatan tapi yang harus dilakukan lebih melindungi pi

Read more »

Jumat, 18 Februari 2011

Etis Atau Tidak Anggota Dewan Turut Dalam Gerakan Ekstraparlemen

Keterlibatan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam deklarasi Dewan Penyelamat Bangsa yang dideklarasikan Kamis, 10 Februari 2011 di  Gedung Parlemen, Sanayan, Jakarta, mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sebagian mengatakan bahwa anggota DPR telah melakukan gerakan ekstraparlementer dan masuk katagori makar? Semantara yang lain, mengatakan itu adalah bagian dari tugas pengawasan?  Fathul Ulum dari FORUM meminta tanggapan kepada dua narasumber untuk meminta pendapatnya terkait  masalah tersebut. Berikut penjelasannya.



H. Ahmad Shahab
Ketua Umum People Aspiration Center (LSM-Peace)

Sejumlah anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) dan anggota dewan perwakilan daerah (DPD) yang turut serta mengikuti deklrasi dewan penyelamat negara (DEPAN) yang diselenggarakan pada Kamis, 10 Februari 2011 lalu di Gedung Nusantara III DPR menimbulkan pertanyaan bagi publik. Sebab, deklarasi tersebut tidak habis-habisnya menghujat kepemimpinan pemerintahan yang masih berjalan saat ini.

Padahal anggota yang turut serta mendeklarasikan itu masih menjadi anggota parlemen yang resmi dan sah, dan juga memiliki basis konstitusional, mempunyai kewenangan yang besar dalam mengatur negara. Namun kenapa mereka  bisa ikut-ikutan membentuk “Dewan Dagelan” (tidak jelas dasar konstitusinya). Dan dengan gagahnya mengecam segala rupa kebobrokan dan mengklaim dirinya sebagai penyelamat negara yang tergabung dalam Dewan Penyelamat Negara.

Kegiatan ini jelas merupakan kegiatan ekstraparlement yang dilakukan oleh sejumlah anggota parlemen bersama sejumlah tokoh lainnya yang mendeklarasikan dengan menamakan dirinya Dewan Penyelamat Negara telah menyalahi peran dan fungsinya sebagai anggota dewan dan bahkan sudah mengarah pada gerakan makar atas pemerintahan yang sah.

Apa tidak berpikir akan ditertawai orang. Anggota dewan mengolok-olok dirinya sendiri, lantaran tidak pecus mengurus negara. Anggota dewan ini seperti lempar batu sembunyi tangan. Padahal, sudah menjadi kewajiban konstitusionalnya di mana semua anggota legeslatif harus memikul tanggungjawab konstitusional atas segala kebobrokan negara yang dituduhkan.
 Karena di tangan para anggota parlemenlah negara mau dibawa kemana dan dikontrol seperti apa. Kalau ada gagasan ingin menyelamatkan negara, kenapa tidak dibahas di parlemen. Kalau ada anggota parlemen, mau bergerak bebas diluar parlemen, lepaskan dulu atribut dan tanggalkan status jatidirinya sebagai anggota parlemen,  termasuk tidak menerima fasilitas dari negara, gaji, tunjangan, dan lain-lain.

Atau Secara ksatria mengundurkan diri dari anggota parlemen, lalu masuk menjadi kekuatan civil society bergerak bebas diluar secara ekstraparlementer. Tapi ini aneh, masih berstatus anggota parlemen, tapi mengadakan gerakan ekstraparlementer seperti itu. Bila ingin berbicara menyelematkan negara, siapa yang yang akan diselamatkan? Semantara kalau mendeklarasikan sebagai Dewan Penyelamat Negara dari mandat siapa?

Beraninya membuat kegaduhan politik. Siapa yang mengangkat dan memberi kuasa. Rakyat mana yang memilih, apakah reprensentatif, atau hanya gerakan elitis yang mau jual atas nama rakyat yang tidak pernah mereka perjuangkan. Lalu apa kerjanya selama ini di parlemen?

          Anehnya lagi, merekan menyimpulkan bahwa Dewan Penyelemat Negara, menyelamatkan negara dari negara gagal. Dari mana sehingga bisa menyimpulkan Indonesia negara gagal. Ini orang-orang DPR dan DPD harus menjaga perkataannya dan harus hati-hati kalau mengeluarkan statemen. Jangan bikin bingung rakyat kecil.

Sebenarnya, apa kriterianya sampai berani menyimpulkan bahwa  Indonesia negara gagal. Ini sama artinya menjelekan nama besar Indonesia sendiri. Hal ini sepantasnya perlu dicurigai, kalau ada anggota parlemen yang mengatakan Indonesia negara gagal, dan kemudian ia seenaknya lepas tanggungjawab.

          Apalagi ungkapan yang dikatakan oleh wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD),  Laode Ida di dalam media masa. Kalau ada politisi atau kader partai yang tidak ikut dalam aksi ini berarti mereka menjadi bagian dari penghancur negara. Ini hasutan apa lagi, bukankah orang yang melakukan tindakan diluar konstitusi itu yang justru penghancur negara, karena tidak patuh pada konstitusi.

Ini kan contoh yang tidak benar pada rakyat. Dengan hasutan yang mengatakan penghancur negara. Itu tindakan gegabah yang mengada-ada, tidak proporsional. Justru kualitas kepemimpinan lembaga DPR dan DPD inilah yang harus diselamatkan terlebih dulu, perlu dibenahi,  supaya kecongkakannya itu tidak menular meluas kemana-mana, rakyat yang tidak tahu apa-apa terkena imbasnya. 


Bambang Soesatyo 
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar

Deklarasi Dewan Penyelemat Negara yang diikuti oleh beberapa anggota dewan perwakilan rakyat merupakan bentuk dari tugas pengawasan yang dimiliki oleh anggota legeslatif baik berbetuk teguran, kritikan atau sikap yang menerangkan bahwa pemerintah salah. Tidak terlepas bahwa anggota DPR juga termasuk masyarakat biasa. Karenanya, hal itu juga diatur dalam undang-undang menyampaikan pendapat dan berekspresi.

Dengan demkian tindakan ini juga merupakan pembelaan terhadap masyarakat bukan pembelaan terhadap siapa yang membayar. Olehkarena itu, apa yang dilakukan oleh anggota dewan dalam hal ini turut terlibat dalam acara tersebut tidak ada yang salah karena itu juga bagian dari pada tugas kenegaraan yang diemban oleh anggota parlemen.

Jika dilihat bahwa tugas anggota dewan meliputi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Sehingga bentuk ekspresi yang dintunjukan oleh beberapa anggota parlemen tersebut bagian dari pada fungsi pengawasan. Semantara jika gerakan secara formal tidak bisa didengar oleh pemerintah maka cara-cara yang dilakukan seperti kemarin itu tidak bertentangan dengan undang-undang.

Kenapa? Karena anggota DPR bagian dari pada warga negara yang berhak mengajukan pendapat dan berekspresi dan itu ada undang-undanganya baik sebagai anggota DPR maupun sebagai warga negara. Jadi tindakan yang dilakukan oleh teman-teman legislative, dari sehingga bisa dikatakan sebagai tindakan yang salah. Kalau tidak ada yang cocok dengan sikap DPR tersebut, ya silakan saja melakukan demonstrasi atau menyampaikan pendapat dan itu tidak dilarang.

Kami juga tidak hanya menyuarakan-menyuarakan diluar parlemen, bahkan diparlemen sendiri pun kami suarakan dalam bentuk hak angket, hak pendapat dan anggota parlemen juga tidak terlepas dari bagian warga negara, jadi tidak bisa dibatasi. Bedanya kami sekarang ini kan sebagai anggota DPR, tapi apakah dengan psosisi ini kami tidak berhak untuk menyuarakan pendapat kami sebagai warga negera dan yang paling penting itu kan tidak anarkis, merugikan dalam arti merugikan orang lain, dan tentunya tidak berupa fitnah.

Jadi kalau ada teman-teman anggota parlemen yang menghadairi dan turut serta mendeklarasikan dewan penyelamat negara kemarin disebut sebagai gerakan ekstraparlemen dan mengarah pada tindakan makar. Sebenarnya LSM Peace itu mengerti tidak yang namanya makar? Karenanya, mereka (LSM Peace) harus belajar lagi, apa yang disebut dan dikatakan tindakan makar dan apa kriterianya. Karena makar itu kan menggulingkan pemerintah yang sah.

Sementara yang kami lakukan dalam deklarasi kemarin itu hanya menyampaikan pikiran dan pendapat. Gerakan tersebut juga sebatas sebagai gerakan moral yang dideklarasikan berbagai macam elemen masyarakat yang meliputi, tokoh agama, dan gerakan tersebut hampir sama dengan gerakan-gerakan sebelumnya yang mengingatkan pemerintah sehingga tidak lupa terhadap peristiwa-peristiwa yang belum diselesaikan oleh pemerintah ini.  

Selain itu, kami juga menghimbau kepada pemerintah untuk kembali kepada jalan yang benar sesuai dengan konstitusi dan sebagaimana janji pemilu dan program kerja yang mensejahterakan rakyat. Kalau pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 69 persen, apakah tingkat kemiskinan sudah berkurang, masyarakat sudah sejahtera. Kan tidak begitu. Faktanya dilapangan masih banyak masyarakat tidak sanggup secara ekonomi, putus asa dan kemudian meracuni anaknya.

Pada prinsipnya gerakan moral ini mengingatkan pemerintah dan fakta yang ada dimasyarakat bukan hanya menduga-menduga. Misalnya, masalah harga cabe meningkat, kami mengingatkan agar pemerintah langsung terjun kelapangan untuk melihat dan mencari solusi guna mengatasi maslah kenaikan harga cabe yang terus melambung. 

Tidak hanya melakukan di luar. Kami juga sedang mengajukan pengunaan hak angket karena ada susuatu yang tidak beres perihal penerimaan negara terutama tentang perpajakan, jadi ada gerakan formal juga yang kami lakukan. Apa yang kami sampaikan di parlemen ini wujud dari keluhan masyrakat. Sebab, anggota DPR ini dibayar oleh masyrakat untuk menyuarakan keluhan yang dialami masyarakat yang menganggap bahwa pemerintah belum memenuhi harapannya.  

Read more »

Pembela Kaum Dhuafa Dari Yogyakarta

Menghargai serta mempelajari pengalaman orang terdahulu termasuk pengalaman pribadi menjadikan M. Busyro Muqoddas sebagai tokoh yang dikenal sebagai pembela hukum kaum dhuafa.  

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 17 Juli 1952 dari pasangan keluarga yang sederhana Mugqoddas Syuhadaa dan Siti Laila Zaini. Muhammad Busyro Muqoddas yang biasa menyingkat namanya dan dikenal dengan M. Busyro Muqoddas kini dikenal oleh berbagai elemen dengan pribadi yang kalem.

Busyro yang pernah menjabat sebagai ketua priode 2005-2010 pada lembaga yang dibentuk oleh UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) namanya semakin bergeming seperti petir menyambar para koruptor.

Belum tiga bulan memimpin lembaga anti korupsi tersebut, Busyro langsung mengoncang-gancingkan praktek korupsi pemilihan Gubenur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Bisa dibilang, sekarang ini Busyro akan menjadi lawan para koruptor dan ditakuti para koruptor.

Sikap pejuang, dan kribadian yang santun itu tidak terlepas dari ajaran yang diberikan orangtuanya. Meskipun ayah Busyro hanya sebagai seorang pegawai negeri sipil yang bertugas sebagai Kepala Perpustakaan Islam Departemen Agama di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta.  Sementara Ibunya sebagai guru di Madrasah Muallimat Muhammadiyah di Notoprajan. Busyro tumbuh dan berkembang sebagai teladan yang jujur dan tidak congkang.  

Ditengah kehidupan yang sederhana dan taat pada keyakinan agama. Orang tua Busyro mengajarkan pada anank-anaknya bagaimana menempa dan mengembangkan kepribadian yang baik serta bagaimana mempunyai rasa kepedulian antar sesama.

Tak jarang, orangtuanya membawa dia beserta saudara-saudara yang lain untuk bersilaturahmi kepada saudara yang kurang mampu. Inilah yang membuat Busyro menjadi sosok yang mempunyai sikap santun, ramah, ideologis, tangguh dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran. 

Dengan memperbanyak silaturahmi membuat anak ke empat (Busyro) dari tujuh bersaudara  semakin mempunyai empati dan kepedulian sosial yang menjadi pelajaran bagi pribadinya. Di mana dengan keterbatasan keluarganya, tidak menjadikan Busyro ciut nyali untuk menantang pahitnya lika-liku kehidupan.

”Saya jadi mengerti, saudara-saudara saya yang tidak mampu itu telah bekerja dengan bersungguh-sungguh. Kondisi serba kekurangan justru mendorong mereka lebih serius. Dari situlah saya mengenal apa yang namanya etos kerja, meskipun istilah itu belum saya kenal,” kenang Busyro tatkala orangtuanya membawa dia bersama adaik dan kakaknya bersilaturahmi.

Sikap kepedulian antar sesama terus dan terus dibawa sampai dirinya menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di sini Busyro yang dikenal sebagai sosok yang low profil  bertemu dengan berbagai tokoh, akademisi, dan cendikiawan seperti, Prof. Abdul Kahar Muzakir, Goesti Pangeran Harjo Parabuningrat, A.R. Fachrudin, Prof. Kasman Singodimejo dan masih banyak tokoh lainnya.

Beberapa tokoh tersebut tidak sekadar dikenal oleh Busyro. Bahkan Busyro mengagumi sikap, tindak, dan pemikiran mereka, bahkan bisa dibilang turut serta membentuk pemikiran, sikap, dan tindak yang terkompilasi  dalam kepribadian Busyro yang tercermin nasionalisme, patriotisme,  spritualisme, transformatif, reformis, leadership, dan egaliter.

Aktualisasi dan penempaan kehidupan riil menjadi penting bagi Busyro untuk menguji dan menantang kerasnya ketidakadilan. Setelah menyandang gelar sarjana hukum pada 1977 Busyro bergelut dibidang hukum dengan profesi sebagai pengacara pada 1979. Hitam putih prosedur hukum menjadi kontemplasi (perenungan) bagi Busyro tatkala menagani kasus Petrus (penembak misterius).

Hukum seakan menjadi alat kekuasaan untuk menekan dan menindas masyarkat bawah. Rintangan, ancaman baik politis, maupun psikis, teror kerap menjadi santapan biasa bagi Busyro. Namun, berpegang nilai-nilai kebenaran serta tetap istiqomah (konsisten) untuk membela kebenaran dan keadilan mengantarkannya pada sikap perlawanan dalam arti tidak gentar. “...orang yang zalim saja tidak takut, kok kami harus takut.”  

Karenanya, Busyro dengan berbagai pengalaman praktik hukum yang dimilikinya berpikiran bahwa seharusnya hukum itu berwatak profetik; pembebasan, kemanusian, dan keberimanan karena hukum merupakan a toll of humanization process. Bukan sebaliknya hukum diintervensi oleh pemerintah yang dapat menganggu independensi dan professionalitas sehingga dapat melemahkan law inforcement.

Begitulah pemikiran yang menjadi “Ideologi Pengacara Jalanan Penyuara Nurani Keadilan” yang juga sebagai judul buku biografi M. Busyro Muqoddas yang sekarang membaktikan pemikirannya, waktunya, tenaganya pada lembaga anti korupsi (KPK) untuk memberantas mafia hukum di negeri yang tercinta ini.   

RESENSI BUKU 

Judul               : Ideologi Pengacara Jalanan Penyuara Nurani Keadilan
Penyusun        : Binhad Nurrohmat, Eva Dewi   
Editor              : Nina Pane
Terbit              : 2010
Penerbit          : Sekertaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia   
Tebal               : 364 Halaman

Read more »