Rabu, 30 Maret 2011

Berjuang Merubah Kiblat Pendidikan Nasional

Drs. Rintis Yanto, MM
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok.



Sebagai anak petani, ia biasa bekerja keras dan pantang menyerah. Kini, sebagai Ketua DPRD Depok, ia terus bekerja keras mengajak masyarakat berubah lewat dunia pendidikan.

Terlahir sebagai anak dusun yang berada di Wilayah Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Suatu wilayah yang mempunyai pemandangan alam yang sangat indah seperti, air terjun Tancak Kembar dan pegunungan Hyang (Gunung Argopuro). Ditambah lagi udara yang begitu segar, menyatu padu dengan makhluk lainya menjadi saksi lahirnya bayi sang perintis.   

Adalah Rintis Yanto, anak kesatria terlahir tanpa kekurangan satu pun struktur dalam tubuhnya menjadikan dirinya sebagai laki-laki yang tangguh. Sungguh bahagia pasangan keluarga petani yang katanya berbeda suku itu memilikinya. “Orang tua saya bernama Sumarto asal Madura dan Suamiati asal Jawa Tengah,” ungkapnya kepada FATHUL. Senin, 8 Maret 2011 di ruang kerjanya di DPRD Kota Depok, Jawa Barat.  

Perbedaan suku antara orang tua Rintis menjadi pelajaran yang amat sangat berharga bagi dirinya. Di samping memang Bondowoso terkenal sebagai daerah yang banyak dihuni oleh suku Jawa dan Madura. Indahnya perbedaan membuat Rintis mudah bergaul dengan orang-orang yang baru dikenalnya meskipun dari berbagai macam keturunan, suku, bahasa, etnis, agama dan golongan. Perbedaan ini yang menjadikan Rintis sebagai pribadi yang santun dan mudah bergaul. 

Sebagai anak petani, Rintis merasakan bagaimana susahnya menjalani hidup yang hanya bertumpu dari hasil pertanian. Dia juga merasakan bagaimana susahnya takala membantu orangtuanya bercocok tanam. Belum lagi harus menelusuri pohon-pohon yang tinggi setinggi pendiriannya. Ketaatan kepada orang tua, dan perjuangan semasa kecil menjadi pelajaran berharga bagi dirinya hingga kemudian Rintis dikenal sebagai anak yang pantang mengeluh dalam menghadapi rintangan apapun.   

Laki-laki periang yang memang pada dasarnya berwajah ceria sejak kecil ini, berusaha menggembirakan siapa saja. Hal itu terlintas manakala Rintis bercerita panjang lebar tentang dirinya kepada FATHUL. Tidak sedikit dia tertawa, menundukan kepala, mata terlihat merah saat bercerita masa kecilnya, dan tumbuh besar dalam lingkungan tak berada sampai akhirnya memilih mengabdi di ranah politik. “Saya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) III, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) I di Bondowoso, Jawa Timur,” katanya.   

Pria yang mempunyai badan kekar, dan berpenampilan sederhana dilahirkan 16 Maret 1968 di Dusun Pekalangan Kecamatan Tenggarang, Bondowoso mengaku, setelah menyelesaikan pendidikan wajib belajar selama sembilan tahun. Dia kemudian menuntaskan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jember, Jawa Timur  dengan menyandang gelar sarjana pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Negeri Jember (UNEJ).  

Gelar yang disandang hingga dia menyandang tamat pendidikan tinggi tidaklah mudah didapatkan. Sebab anak dari keluarga yang kurang berada membuatnya harus  berjibaku untuk mendapatkan uang seribu rupiah dengan bekerja sebagai tukang becak, jualan kopi sebagai tambahan uang saku hingga membuatnya kurang mempunyai waktu bermain-main.  “Berbagai macam cara saya berusaha menyelesaikan kuliah agar tidak mendapatkan drop out, dan karena orang tua juga kurang mampu membiayai kuliah, maka saya kuliah sambil bekerja,” kata Rintis.

Lebih lanjut, Pria yang telah dikarunia tiga anak ini  mengatakan. Meskipun pada semester dua sampai akhir kuliah dirinya mendapatkan beasiswa Supersemar tak membuatnya berhenti bekerja lantaran banyak buku yang harus dibeli sebagai pendukung mata kuliah dan memperkaya pengetahuannya. 

Sambil kuliah, anak dusun ini juga aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan yang berada di intra maupun ekstra kampus. Dia pernah menjadi anggota Senat Mahasiswa, pernah mendirikan Majalah Historika yang lingkupnya berada di kampus. Sebagai pengagum pemikiran Soekarno, dia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan organisasi ekstra kampus yang dikenal sangat kritis dan nasionalis yaitu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Kepribadian Rintis Yanto yang pantang menyerah dan teguh dalam pendirian akhirnya dipercaya teman-temannya sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang GMNI Jember (1989-1992).

Tak pernah lelah dalam mengasah keilmuan dan tak pernah puas mencari pengalaman, suami dari Rista Gusfaniar ini mulai terlibat aktif dalam politik. Pada Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1992 yang kala itu hanya diikuti tiga partai politik yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan). 

Rintis mendapatkan kepercayaan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai juru kampanye di Jember. ”Meskipun saya sebagai juru kampanye, saya tidak menggunakan hak saya sebagai warga Negara Indonesia karena saya masih mencari pandangan politik sesungguhnya dan saya belum mantap untuk menggunakan hak saya dengan mendukung salah satu partai tertentu,” terangnya menjelaskan kondisi pada waktu itu. 

Lebih jauh dirinya berkecimpung di dunia politik. Dia kembali mendapat kepecayaan untuk menjadi juru kampanye di Jember pada pemilu 1997 dari partai yang sama yaitu, PDI-Perjuangan. Kematangannya dan lihainya bak Soekarno ketika dalam panggung. Semangat berkobar-kobar dalam beorasi serta pintarnya dalam melakukan lobi-lobi membuat lawan politiknya berpikir ulang saat menghadapi dirinya.    

Perjalanan di kancah politik pada 1992 - 1997, sejenak berhenti lantaran pada awal tahun 1998 terjadi berbagai macam pergolakan dan penindasan terhadap kaum buruh di Jember. Jiwanya terpanggil, sebagai anak petani ia harus melakukan pembelaan dan advokasi bagi kaum miskin kota untuk melawan tirani kekuasaan yang dilakukan oleh elit penguasa.     

Tak pernah lelah untuk melakukan pemenuhan hak asasi manusia khususnya pada isu-isu perburuhan didaerahnya. Rintis Yanto kemudian hijrah ke Jakarta. Pulogadung menjadi persinggahan pertama kala telapak kaki Rintis menyentuh tanah Jakarta. Kepedulian sosialnya semakin meningkat bersama dengan maraknya tirani terhadap kaum miskin kota. Berbagai elemen yang konsen terhadap isu kemanusiaan turut menyambutnya. Tokoh nasional buruh seperti, Muchtar Pakpahan, Ratna Sarumpaet menjadi guru dan teman Rintis dalam membela kaum buruh. 

Waktu dan tanggungjawab organisasi yang ada di Jember membuatnya tidak lama berada di Jakarta. Rintis harus bolak-balik dari Jakarta -  Jember lantaran harus menjalankan fungsi organisasinya dan itu dilakukan sampai beberapa bulan. Namun, setelah berakhirnya konstalasi politik nasional yang dikenal dengan era reformasi, Rintis kembali hijrah ke Jawa Barat tepatnya di daerah yang dikenal dengan ikon Belimbing yaitu, Kota Depok, Jawa Barat.

Di kota ini, naluri politik Rintis kembali muncul. Dia bersama dengan temannya mulai mendirikan basis konstituen melalui partai politik PDI-Perjuangan. Kurang lebih satu tahun, dia bersama teman-temannya melakukan pendidikan politik kepada masyarakat setempat.  Momen pemilihan Dewan Pewakilan Rakyat Daerah Kota Depok yang diselengarakan pada 1999 menantang dirinya dengan menggunakan kendaraan PDI-Perjuangan mencalonkan diri. ”Alhamdulillah, akhirnya saya terpilih menjadi anggota legislatif Kota Depok untuk pertama kalinya,” kenangnya sembari tersenyum kecil.

Perjalanan Rintis di dalam kancah politik pun tidaklah mulus, banyak cobaan yang dia harus selesaikan. Di mana setelah berakhir masa jabatan menjadi anggota dewan, dia mengalami guncangan di dalam PDI-Perjuangan.  Berkat apa yang diajarkan oleh orangtuanya dan dukungan dari sang istri. Rintis  yang dikenal mempunyai pendirian yang kokoh, akhirnya di tahun 2003 keluar dari partai yang berlambang Banteng Moncong Putih itu.

*************

Foto dengan latar belakang pelbagai kegiatan mendominasi dinding ruang kerja Rintis. Beberapa piagam penghargaan yang merupakan buah kerja keras dari pria yang baru saja berulang tahun ke 43 ini juga  terlihat. Dia mengaku lika-liku dalam mencari jati diri, belajar di ranah politik, berjuang untuk membela buruh tidak mudah seperti apa yang dibayangkan dan dicita-citakan.  Ada saja kerikil yang mengganjal, namun aral dan semangat untuk  memperjuangkan rakyat di parlemen membuat semua itu menjadi bagian tantangan yang tidak terpisahkan. Rintis pun berniat mencalonkan diri kembali dalam pemilihan anggota DPRD Kota Depok pada pemilihan tahun 2004 dengan menggunakan kendaraan partai yang baru saja dia kendarai.  

Rintis yang semasa kecil diharapkan menjadi seorang guru oleh orangtuanya, akhirnya memilih jalan politik dan sekarang dipercayai menjadi ketua DPRD Kota Depok priode 2004-2009. “Memang orang tua saya waktu itu mempunyai harapan pada saya untuk menjadi guru, tapi karena saya senang mengabdi lewat politik jadi saya meyakinkan diri untuk berkecimpung di dunia politik,” cetus Rintis yang sampai sekarang menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Depok Priode 2009-2014 .    

Sebagai orang nomor satu di DPRD Depok, Rintis tergolong biasa-biasa saja. ”Jangan neko-neko ya,” ucap rintis menirukan pesan Istrinya. Ideologi nasionalisme yang dimiliki membuat Rintis menjadi sosok yang tangguh dan bisa dibilang mempunyai perangkat Antivirus yang tidak  mudah menyalah gunakan kekuasaannya.  Pengalaman pertamanya menjadi anggota dewan menjadi salah satu pelajaran bagi dirinya untuk kembali memperjuangkan rakyat.

Kali ini, dia memanfaatkan alat itu untuk memperjuangkan masyarakat khususnya di bidang pendidikan. Ia melihat berbagai macam tempat pendidikan yang ada di depok yang kurang memperhatikan pendidikan kepada anak didiknya terhadap kultur pendidikan yang nasionalis dan mempunyai faham-faham kebangsaan. Takala DPRD Kota Depok sedang merancang peraturan mengenai pengelolaan pendidikan yang kemudian menjadi Perada Nomor. 3 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan. Banyak kiprah dan pemikiran yang ditorehkan.      

“Meskipun perda ini awalnya bersifat inisiatif, tapi hasil yang kami lakukan mendapatkan apresiasi dari anggota dewan yang berada di daerah lain. Perda yang dibuat oleh DPRD Kota Depok sangat inovatif berbeda dengan yang lainnya bahkan anggota DPRD yang ada di seluruh Indonesia pernah bekunjung ke DPRD Kota Depok guna berbagi pengalaman dalam pembuatan perda itu,” tuturnya

Ia prihatin karena melihat potret pendidikan yang sudah tidak lagi memperhatikan semangat kebangsaaan dan nilai-nilai keagamaan. Makanya  dalam perda itu juga mengatur semua siswa khususnya di Kota Depok sebelum masuk kelas wajib membaca do’a atau setidaknya membaca kitab sucinya selama lima belas menit sesuai dengan kitabnya masing-masing.
         
Dengan demikian, anggapan selama ini yang mengatakan bahwa ketika memilih sekolah yang berbasis agama, maka bisa dipastikan basis agamanya kuat, sementara paham kebangsaannya melemah. Sebaliknya bila sekolah di negeri paham kebangsaannya biasa-biasa tapi bekal keagamaannya berkurang. Untuk itu, pengaturan yang sederhana ini setidaknya mampu membangun karakter bagi anak didik. “Selain membangun paham kebangsaan, juga memperkuat keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama masing-masing.” 

Diakui atau tidak generasi bangsa belum cukup kuat untuk membentengi dirinya dalam melawan globalisasi. Karenanya, yang bisa Rintis lakukan selama masih menjadi anggota dewan dan melihat mirisnya pendidikan dewasa ini, maka satu hal yang harus dia lakukan adalah dengan cara menyalamatkan generasi bangsa yang mempunyai jiwa nasionalisme dengan menggunakan perangkat fungsi dewan yang diamanatkan undang-undang yaitu membuat perda pengelolaan pendidikan.     
 
          Perihal pengawasan, memang banyak orang yang mempertanyakan hal itu. Maka, Rintis berkata untuk melihat sejauh mana efektivitas dari aturan yang disebutkan di atas. Khusunya mengenai jam belajar. Maka dia berpendapat berhasil atau tidaknya budaya belajar tentunya berada di tanggan orang tua. ”Kami sudah melakukan sosialisasi bahkan sudah membuat daerah percontohan untuk menjalankan program tersebut,” terangnya dengan penuh harapan.

FATHUL ULUM

Bio Data

Nama                             : Drs. Rintis Yanto, MM
Tempat/Tgl Lahir        : Bondowoso, 16 Maret 1968
Agama                           : Islam
Pendidikan                   : S-2
Nama Istri                    : Rista Gusfaniar
Anak                            : 1. Selvy Wulandari
                                      2. Vidyadari Anjelita
                                      3. Reno Brahmantyo
Rumah                           : Perumahan Jatijajar Blok A5/16 Depok
Kantor                           : Jl. Boulevard Kota Kembang-Grand Depok City-Depok

KARIR POLITIK

Partai Politik                 : PDI- Perjuangan (1998 - 2003) Partai Demokrat (2003 - Sekarang)
Jabatan                          : Ketua DPRD Kota Depok (2004 - Sekarang)

PENGALAMAN ORGANAISASI

1. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) (1989-1992)
2. Aktif di berbagai LSM Perburuhan (1992-1997)




Read more »

Haram Perempuan Bersentuhan dengan Bencong

Agama hanya mengakui dua jenis kelamin manusia. Yaitu, llaki-laki dan perempuan. Namun keberadaan banci atau khuntsa yang makin banyak membuat kehadiran golongan ini fakta adanya. Khuntsa pun kadang terlibat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari berbaur dengan manusia normal.


Fenomena khuntsa memang tidak menjadi rahasia umum lagi bagi masyarakat, mereka (khuntsa-red) tidak canggung-canggungnya berkumpul dan menyatu dikerumunan masayrakat. Bahkan laki-laki yang sempurna berdandan menor menjadi khuntsa dan berakting di depan kamera bisa ditemui dalam beberbagai tayangan televisi sebagai hiburan.
 
Lakon menjadi bencong dalam pertunjukan lawakan sudah muncul pada tahun 80-an semata-mata untuk memancing agar penontonya tertawa terbahak-bahak. Misalnya di era itu, ada Ester atau Joice yang mendampingi Jojon (Jayakarta Group). Semantara, di Srimulat ada Kabul yang berlagak jadi Tessy. Mereka berfungsi sebagai pemancing tawa agar tujuan lawakan berhasil.

Setelah era tersebut, pemeran khuntsa tidak lagi lelaki normal yang berpura-pura sebagai banci. Namun, malah banci benaran yang menjadi pemain. Mulai dari Olga, Tata Dado, Aming,  Ivan Gunawan, Ruben sampai Dave Hendrik. Penampilan bencong mereka di  televisi sudah sangat akrab di mata para pemirsa, sampai nyaris tidak ada lawakan yang menarik tanpa hadirnya peran menjadi khuntsa.    

Selain dalam dunia hiburan, peran khuntsa dalam dunia nyata juga belakangan semakin signifikan. Mereka menjadi bagian dalam aktivitas keseharian masyarakat. Mulai dari ativitas bisnis seperti salon dan perawatan kecantikan sampai dengan pijat khusus perempuan. Para perempuan tidak merasa risih ketika mereka disentuh oleh khuntsa. Pertanyaannya, Islam menilai pergaulan wanita dengan para khuntsa?

Inilah yang patut diperhatikan bila menjalin pergaulan atau pertemanan. Meskipun, sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kecenderungan untuk berteman dengan siapa saja, namun Islam telah menganjurkan untuk menjalin pertemanan dengan baik. Pertemanan yang di dalamnya saling menasihati untuk menetapi kebenaran dan kesabaran (QS Al-‘Ashr [103]: 3). 

Tidak hanya itu, Islam juga mengingatkan bahwasanya berhati-hatilah dalam memilih teman. Hal ini sebagaimana apa yang pernah dikatakan Sayidina Ali RA. “Kalau kalian ingin melihat kepribadian seseorang, lihatlah bagaimana teman-temannya.” Hal itu sesuai dengan apa yang dianjuirkan Rasulullah, “Seseorang itu dipengaruhi oleh agama teman-temannya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dengan siapa kita bergaul.”

Fenomena pergaulan patut diperhatikan. Karena orang dari putih bisa menjadi hitam disebebkan pergaulan. Kalau tidak mengindahkan apa yang dianjurkan di dalam Islam, tanpa di sadari atau tidak  bisa saja terjerumus dalam kemaksiatan. Pergaulan dengan waria. Meskipun orang selalu berdalih bahwa menjadi khuntsa adalah takdir atau kehendak Allah. Dan dikatakan bahwa itu merupakan pilihan hati yang harus dilindung serta menjadi hak asasi.   

Kenyataannya alasan itu, merupakan perkataan yang paling nista yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Sebab, Menjadi bencong jelas bukan kehendak Allah,  justru Allah SWT telah mengharamkan perbuatan itu.  Bahkan lafadz haditsnya sampai kepada sebutan laknat. “Rasululllah SAW telah melaknat laki-laki yang bergaya (menyerupai) perempuan, dan juga melaknat perempuan yang bergaya (menyerupai) laki-laki,” Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu,  HR Bukhari. 

Lalu bagaimana dengan fakta bahwa khuntsa tidak mempunyai gairah seksual karena dalam psikologi mereka sama dengan wanita yang feminim dan lain sebagainya. Dia bisa melakukan persentuhan sepeti bersama dengan wanita pada umumnya, bahkan bisa dimungkinkan mereka tidur bersama dalam satu kamar. Nah, apakah pergaulan wanita dengan khuntsa ini diperbolehkan di dalam kaedah Islam?  

Ketua Bathsul Masail Pengurus Besar Nahdatul Ulama, KH. Arwani Faishol mengatakan. Yang pertama yang perlu dijelaskan bahwa waria itu sangat banyak tingkatannya misalnya ada yang bener-bener seperti wanita ternyata bukan wanita melainkan laki-laki. Tapi juga ada yang sebaliknya, namun kebanyakan yang ada adalah waria itu adalah dari kalangan laki-laki yang mempunyai kecenderungan dan karakternya wanita.

Meskipun waria kecenderungannya memiliki sikap kewanitaan dan bersahabat dengan wanita. “Waria itu tetap saja dihukumi sebagai laki-laki, artinya ketika dilihat dari masahadah maka waria itu ketika bersama dengan perempuan sebenarnya tidak membahayakan. Karena kelelakiannya juga tidak normal,” katanya kepada FATHUL.  

Bila waria ini kemudian tidur bersama dengan wanita pada umumnya dalam satu kamar. ”Ketika kelakianya normal, maka ini jelas haram secara mutlak,” tandasnya sembari menambahkan meskipun alat kelaminnya benar-benar mati dan juga karakter sifatnya jelas-jelas perempuan dalam fikih tetap dihukumi sebagai laki-laki sehingga tidak boleh bercampur dengan kaum hawa.  

Hal ini berkenaan pandangan Madzhab Syafi’i yang mengatakan bila tidak muhrimnya dan terjadi persentuhan kulit antara wanita dan laki-laki maka hal itu juga berlaku bagi seorang khuntsa ketika bersentuhan dengan wanita. “Kalau ada wanita yang sudah melaksanakan wudhu dalam arti suci kemudian tersentuh oleh khuntsa, maka persentuhan itu membatalkan wudhu wanita tersebut.”

Lebih lanjut Arwani menjelaskan khuntsa  tak bisa dihukumi sebagai laki-laki karena bila alat kelaminnya sebagai lelaki tidak normal.  Namun ketika wanita itu sedang tidur bersama dan wanita tersebut bisa terobsesi atau membayangkan khunsta tersebut sebagai lelaki normal maka hukumnya berubah menjadi haram. “Segala sesuatu yang bisa membangkitkan birahi itu dilarang oleh agama,” cetusnya.

Sementara itu Ketua Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, KH, Syarifuddin Abdul Ghani, MA mengatakan apapun bentuknya, khuntsa yang bersentuhan dengan wanita di dalam hukum Islam tetap di larang.  Ia pu memberikan alasan, karena jika khuntsa itu jenisnya laki-laki maka dia dalam hukum agama dia tetap sebagaimana laki-laki pada umumnya.  

“Jika khuntsa bersama dengan perempuan maka sama halnya perempuan itu berdua-duan dengan laki-laki dan hukumnya sama dengan laki-laki. Walau alat kelaminnya tidak berfungsi atau diputus sekalipun. Ketika dia bersama dengan wanita tetap saja dia adalah laki-laki dan tidak dibenarkan bersama wanita yang tidak muhrimnya,” jelasnya.

Namun, bila ia mempunyai kelamin ganda maka dia terkena hukum yang paling berat, artinya ketika khuntsa bersama dengan laki-laki maka dia dianggap sebagai perempuan dan ketika khuntsa bersama dengan wanita maka dia dianggap sebagi laki-laki. “Bagi mereka-mereka (khuntsa-red)  mempunyai kelamin ganda dan semuanya berfungsi dia dikenakan hukum berat ketika dia bersama dengan laki-laki dianggap sebagi perempuan dan sebaliknya,” ungkapnya.
Untuk itu, Syarifuddin Abdul Ghani memberikan solusi. Guna menghindari hukuman yang paling berat, maka khuntsa yang di maksud harus memilih jenis kelaminnya dan menjadi manusia yang sempurna. “Bagi pandangan Imam Syafi’i persentuhan laki-laki dan perempuan itu mengakibatkan batanya wudhu, karenanya orang yang mempunyai kelamin ganda maka dia akan batal ketika bersentuhan dengan laki-laki dan sebaliknya.”
  
Masalah khuntsa pada dasarnya memang sudah dilarang dalam agama, maka orang-orang yang sebagaimana di lihat dalam infotaimen ada laki-laki yang berdandan menyerupai wanita atau sebaliknya maka itu perbuatan yang sangat di larang oleh agama. “Dilarang orang atau laki-laki yang menyerupai perempuan dan itu terkutuk, kata Nabi SAW,” ungkapnya.
  
Jadi orang-orang yang mempunyai kejiwaan seperti perempuan (khuntsa-red) itu dianggap sebagai laki-laki apalagi laki-laki yang berdandan seperti khuntsa. “Andaikata laki-laki itu merbuah kelaminnya sekalipun menjadi perempuan, bisa dilihat apakah didalamnya dalam arti alat reproduksinya apakah perempuan maka kalau alat reproduksinya laki-laki maka dia adalah laki-laki sejati,” pungkasnya.

Fathul Ulum




Read more »

Menghapus Kewenangan Presiden Membahas Undang-undang

Rabu 13 Maret 2011 lalu, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pakar hukum tata negara tampak asik berdisuksi di sebuah café di Gedung DPD. Mereka sedang serius membahas naskah komprehensif amendemen kelima UUD 1945 yang diusulkan anggota DPD. Intinya, menawarkan perubahan sistem ke tata negaraan Indonesia. Salah satunya perubahan dalam proses legislasi yang menghilang kan kewenangan Presiden dalam ikut membahas undang-undang (UU). Mungkinkah itu bisa diwujudkan. Berikut pendapat dua narasumber kepada Fathul Ulum.


Bambang Suroso  
Pimpinan Kelompok Kerja (Pokja) Amandemen UUD, dari DPD.

Pada naskah amendemen kelima UUD 1945 milik DPD tersebut, ditegaskan bahwa pemegang kekuasaan membentuk UU adalah DPR dan DPD. Ketentuan Pasal 20 Ayat (2) konstitusi, yang menyebutkan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, dihilangkan.

Jadi kedepan apabila lembaga perwakilan sudah menjadi lembaga yang efektif maka DPD juga akan terlibat secara aktif untuk melakukan pembahasan dan memutusakan pembuatan undang-undang.  Selain itu, dengan adanya perubahan ini juga berkaitan dengan penyempurnaan bentuk dan implementasi sistem presidensial pada UUD 1945. 

            Bila usulan amandemen ini disetujui maka lembaga dewan perwakilan daerah ini akan menjadi sangat efektif dalam menjalankan fungsi konstitusional legislative. Nah, sebenarnya perubahan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menggerus kewenangan lembaga yang lain. Sebab usulan itu adalah harapan serta keinginan dari konstituen DPD yang ada di daerah.

Salah satu keingninan dari kosntituen ya itu, supaya fungsi legislasi DPD diberdayakan sampai dengan pembahasan UU dan ikut serta dalam  memutuskan karena selama ini fungsi itu tak maksimal, DPD hanya menyerahkan RUU kepada DPR dan hanya ikut dalam pembhasan awal,  makanya dengan rancangan amandemen ini ke depan DPD harus terlibat dan menjalankan fungsi sebagai mana mestinya.
  
Keterlibatan DPD dalam membentuk UU merupakan bentuk check and balances.  Oleh karenanya ketika DPD terlibat dalam pembentukan UU maka dapat mengimbangi DPR. Selain itu, perubahan kewenangan dalam pembentukan undang-undang adalah cerminan dari sistem presidensial di mana fungsi eksektif tidak masuk dalam fungsi legislatif.

           Dengan mengembalikan sistem presidensial yang seutuhnya, maka kualitas pembentukan UU akan lebih mendalam karena ini sudah diimbuhi secara komplimentari dari anggota DPD. Karena undang-undang itu sudah berkualitas maka presiden dalam melaksanakannya sesuai dengan amanat UU dan sesuai dengan aspirasi masyarkat.

Dengan demikian, eksekutif menpunyai fungsi untuk melaksanakan apa yang menjadi produk-produk legislasi baik undang-undang atau yang lainnya. Nah, walaupun presiden tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atau usul RUU, presiden mempunyai hak veto atas usul RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dan DPD.

Efektifnya lagi, ketika presiden ”tidak berkenan” bagi dia maka presiden bisa melakukan veto atas undang-undang itu. Hal ini bisa dimungkinkan misalnya, rancangan undang-uandang yang sudah disetujui DPR dan DPD maka presiden dapat memberikan hak veto dengan cara menyetujui atau menolak. RUU yang ditolak Presiden masih akan berlaku apabila terdapat sekurang-kurangnya dua pertiga anggota DPR dan dua pertiga anggota DPD yang menyatakan dukungannya terhadap RUU itu.

Secara lengkap, Pasal 20A Ayat (3) menyebutkan jika Presiden menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR dan DPD, RUU dimaksud sah menjadi UU jika disetujui sekurangnya dua pertiga dari anggota DPR dan dua pertiga dari anggota DPD dalam jangka waktu paling lama tiga hari sejak penolakan tersebut disampaikan kepada DPR dan DPD dan wajib diundangkan. 

Dengan kewemangan sebelumnya yang dimiliki presiden sebenarnya banyak disandra oleh kepentingan-kepentingan politik. Padahal presiden itu diamanatkan rakyat secara langsung karenanya dengan rencana amandemen UUD ini dengan mengembalikan fungsi legislasi. Jadi kami tidak bermaksud memangkas kewenangan presiden tapi kami menata kewenangan presiden sebagaimana hakekat dalam sistem presidensial, yakni presiden sebagai eksekutif dan biarkan domain pembentukan undang-undang berada dilegislator. 

Kami mengakui bahwasanya untuk mengajukan amandemen UUD harus melalui proses politik di MPR. Sekarang ini, kami di DPD sedang melakukan komunikasi dengan anggota fraksi yang ada DPR untuk mencari suatu pemaham bersama. Oleh karena itu, kami berharap anggota DPR dari berbagai macam partai politik bersepakat dan sepaham.


Drs. H. Sutan Bhatoegana, MM
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat

Pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwa UUD 1945 yang dimiliki bangsa ini sudah terlampau sering diamandemen. Meskipun pada hakekatnya tujuan untuk melakukan amandemen untuk menyempurnakan konstitusi dan memang baik, namun kenyataannya hasil dari perbaikan itu terlampau sangat jauh dari apa yang dicita-citakan.  

Oleh sebab itu, menurut saya rancangan amandemen UUD yang telah dibuat anggota dewan perwakilan daerah perlu kiranya disikapi dengan hati-hati. Menurut saya kalaupun ada keinginan untuk melakukan amandemen UUD seharusnya datangnya tidak dari pemerintah, DPR, maupun DPD.

Mengapa? Menurut hemat saya, untuk melakukan amandemen konstitusi harus ada lembaga independen yang melihat dan mengkaji bagaimana kontitusi bangsa ini benar.  Memang pada dasarnya setiap orang berhak untuk mengajukan amandemen konstitusi karenanya saya tetap menghargai apa yang dilakukan anggota DPD.

Namun saya masih melihat alangkah baiknya yang melakukan amandemen itu dari independen hingga hasilnya bisa bersifat universal dan diterima seluruh masyarakat. Sebab, jika yang mengajukan adalah lembaga independen maka mereka tidak akan terkontaminasi dengan kepentingan politik kecuali untuk melakukan perbaikan UUD. 

Oleh karena itu, kalau amandeman ini datang dari pemerintah, DPR maupun DPD percayalah bahwa keinginan untuk melakukan perubahan di dalam UUD tidak akan murni dalam artian pasti ada kepentingan golongan dan kelompok-kelompok tertentu.  Terkait usulan amandemen dari anggota DPD mengenai kekuasaan pembentukan UU yang tadinya dilakukan DPR (legislatif) bersama Presiden (eksekutif ) kemudian bergeser kepada DPR dan DPD, menurut saya pemerintah tak akan mau melepas begitu saja. Bagaimana kalau ada yang membuat UU dan tidak bisa dijalankan pemerintah, maka pemerintah akan jatuh ditengah jalan.  

Jadi, memang dari dulu dewan perwakilan daerah ini mempunyai keinginan untuk merubah UUD di mana mereka ingin ikut serta dalam membahasan dan memutuskan pembentukan undang-undang dan mengundang pemerintah. Nah, untuk kewenangan itulah, semantara ini anggota DPR juga masih belum bisa merekalan. Bayangkan saja, pemerintah menghadapai DPR saja kebingungan apalagi kalau wewenang DPD seperti DPR, jadi ini yang perlu kehati-hatian.
  
Sehingga menurut saya, apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 di jalankan saja terlebih dahulu secara konsekuen termasuk juga bagi DPD untuk menjalankan fungsinya secara konsekuen demikian juga dengan DPR. Karena ini juga konsekuensinya terhadap perubahan undang-undang dasar sebelumnya yang turut serta memperkuat fungsi eksekutif sehingga hasilnya gado-gado seperti ini, yang mana presidensil tidak, parlementer tidak.

Kalau mencotoh di negara-negara maju meskipun ada amandemen-amandemen UUD namun sepertinya konstitusi mereka masih bersifat sacral tidak seperti apa yang terjadi dengan konstitusi Indonesia.  Jadi kalau UUD masih dikatakan sebagai UUD 1945 tapi sudah dilakukan empat kali amandemen apakah bisa dikatakan sebagai UUD 1945.  

Mestinya dikatakan UUD 1945 dengan tambahan bab-bab dan hasilnya tetap utuh mestinya itu, tapi sekarang ini sudah salah kaprah. Karena di dalamnya ada satu kekurangan kemudian bongkar sana bongkar sini, akhirnya trial and error. Harusnya satu dulu dijalankan, kalau memang dibutuhkan penyempurnaan ada tambahan yang dinamakan addendum.  

  

  

Read more »

BERBISNIS SAMBIL BERIBADAH

Pada dasarnya buku ini diterbitkan untuk membedah bagaimana selama ini aktivitas sistem ekonomi konvensional, dan memberikan solusi untuk membangun ekonomo yang di ridhoi oleh Allh Swt. 


Ketika berbicara mengenai praktik bisnis, maka yang ada di dalam benak kita adalah untung dan rugi. Padanannya kurang lebih sama halnya ketika berbicara mengenai Islam yang ada dalam pikiran kita hanyalah halal dan haram. Pemikiran seperti ini tak ubahnya seperti mengengam sebutir pasir yang berhamparan di pesisir laut. Kaitannya dengan sistem ekonomi, memang banyak teori-teori tentang sistem ekonomi. Tapi, apakah itu sudah sesuai dengan ajaran Islam?

Karenanya selama dunia ini masih terbentang, kita tidak akan terlepas dengan masalah ekonomi. Tentunya sebagai umat muslim, untuk menjalankan rotasi ekonomi dalam setiap aktifitasnya harus dilandasai dengan ilmu-ilmu khusunya mengenai ekonomi Islam. Maka buku yang berjudul ”Islamic Economics (Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tapi Solusi)” setidaknya dapat dijadikan pedoman dalam menggerakkan ekonomi. 

Pasalnya, dalam pandangan Islam setiap kehidupan manusia di dunia merupakan rangkaian kehidupan yang telah ditetapkan Allah kepada setiap makhluk-Nya untuk nanti diminta pertangungjawabannya di akhirat. Sebab itu, dalam buku ini dijelaskan bagaimana Islam mengajarkan tata cara dalam melakukan kegiatan ekonomi yang tidak dibenarkan menurut Syariat Islam meskipun secara fisik material mungkin menguntungkan seperti, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Penulis dalam hal ini mengatakan bahwa aktivitas ekonomi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi juga sekaligus merupakan bagian dari pada ibadah kepada Allah. Karenanya manusia diciptakan juga sekaligus diberikan tuntunan hidup agar dapat menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya.

Kaitannya dengan itu, dalam buku ini penulis hendak menyampaikan bahwasanya ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ekonomi yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Karenanya,  penulis dengan tegas mengatakan Ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, komunisme, maupun fasisme karena dalam sistem ekonomi Islam terdapa landasan dasar yaitu, keimanan (tauhid), keadilan (adl), kenabian (nubuwwah), pemerintahan (khilafah), dan hasil (ma’ad).

Dengan bangunan perbedaan itu, maka penulis mengatakan bahwasanya hal yang paling mebedakan ekonomi dalam sistem Islam yaitu ekonomi yang dibangun bertujuan untuk kesejahteraan semua pihak, tidak satu pihak atau satu golongan saja, tidak untuk memperkaya satu pihak, dengan kata lain bahwa konsep keadilan harus ditegakkan senyata-nyatanya tanpa adanya kepentingan golongan.

Bila selama ini pekalu bisnis menilai bahwasanya sitem ekonomi di dunia dikelompokan menjadi dua yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis. Akan tetapi, sistem ekonomi Islam mempunyai karakteristik tersendiri meskipun terkadang ada beberapa kesamaan tapi ekonomi Islam tidak mungkin bisa dikompromikan dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, penulis mengatakan pentingnya ekonomi Islam untuk menciptakan masyarakat dunia yang adil dan makmur.

Sehingga penulis berharap dan menganjurkan agar saatnya masyarakat memahami dengan seksama konsep ekonomi Islam yang sesunguhnya. Sebab, prinsip keseimbangan pada ekonomi konvensional dalam kenyataannya hanya sebatas teori yang dilandasi asumsi-asumsi dan kenyataannya keseimbangan dan kesejahteraan pada ekonomi konvensional tidak pernah terjadi.

Hal ini ditandai dalam aktivitas ekonomi konvensional di mana dalam aktivitasnya selalu ada pihak yang diuntungkan dan ada pula pihak yang dirugikan karenanya terdapat kesenjangan dalam ekonomi antara si kaya dan si miskin. Sementara dalam ekonomi Islam mengajarkan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong menolong, saling menyayangi, dan jauh dari sifat iri, dengki dan dendam.  

Ekonomi konvensional lahir berdasarkan pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu sehingga tidak bersifat kekal maka dengan terbitnya buku ini, diharapkan dapat membimbing serta memandu dalam memahami konsep ekonomi Islam karena dalam buku yang terdiri dari 16 bab ini, menjelaskan secara detail ilmu ekonomi Islam, mulai dari definisi, paradigma, tujuan, prinsip, hukum, sistem moneter, pandangan pemikir Islam tentang ekonomi Islam, penanman modal, bunga dan riba pasar modal dalam prespektif Islam.

Fathul Ulum 


Judul               : Islamic Economics (Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tapi Solusi) 
Penulis           : Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A dan Ir. H. Andi Buchari, M.M
Penerbit         : PT. Bumi Aksara
Tebal              : 553 Halaman
Terbit                         : 2009 

Read more »

Jumat, 18 Maret 2011

HITAM PUTIH KINERJA ANGGOTA DPR

Letak pasang surut kinerja dewan perwakilan rakyat berada pada pengaturan perundan-undangan, selain itu juga berkaitan dengan kemauan anggota legislatif sendiri.

Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan yang amat sangat mendasar. Apa perubahan itu? Buku yang berjudul “Pasang Surut Kinerja Legislasi” menyajikan sejarah panjang perjalanan pembentukan UUD beserta dengan perubahannya yang menjadi penentu perubahan bentuk negara beserta sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia. 

Dalam buku ini, penulis memang tidak banyak mengupas tentang pergulatan perubahan bentuk negara karena buku yang ditulis lebih khusus membahas bergesernya kekuasaan pembentukan UU yang awalanya ditangan pemegang kekuasaan tertinggi negara yaitu presiden. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen mengatakan. “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.”

Nemun, setelah adanya perubahan UUD 1945, kekuasaan pembentukan undang-undang bergeser ke dewan perwakilan rakyat yang tertuang dalam pasal 20 ayat (1) berbunyi. “Dewan Perwakilan Rakyat memagang kekuasaan membuat undang-undang.”

Kekuasaan itu sejalan pula dengan fungsi yang dimilik DPR yaitu, fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sebagaimana tertuang dalam pasal 20A ayat (1) UUD.  Berjalannya waktu, fungsi dan kewenangan DPR mendapat kritikan dari masyarakat terutama dari dalam sendiri.

Pasalnya, masyarakat Indonesia meletakan harapan yang amat sangat berat dipunggung anggota dewan untuk mewujudkan suatu perubahan dalam pembentukan UU, tatanan sosial, ekonomi, pemenuhak ham dan lain-lain.   

Lebih jauh, anggota dewan dirasa amat lamban dalam membentuk dan mengesahkan undang-undang. Selain itu, tak jarang undang-undang yang baru disahkan bertentangan dengan Undang-undang Dasar, sehingga tidak sedikit keringat yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi untuk menguji produk UU yang dihasilkan ligeslatif.  

Kaitannya dengan itu, penulis dalam buku ini mengurai dengan tajam problem yang ada serta memberikan beberapa tawaran solusi. Karenanya, besar harapan agar anggota dewan membaca buku ini untuk menemukan satu pandangan yang sama guna mewujudkan pembangunan hukum yang efektif.  

Penulis menilai lambannya pembentukan undang-undang itu berkaitan dengan proses dan alur pembahasan rancangan undang-undang yang begitu panjang sebagaimana prosedur yang diatur dalam UU No.  10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

UU No. 10 Tahun 2004 itu mengamanatkan bahwa perencanaan penyusunan RUU dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional (prolegnas) yang nantinya prolegnas akan memuat daftar judul RUU yang akan disusun dalam jangka waktu yang ditentukan.

Sementara penentuan RUU yang ada di Prolegnas itu dibahas bersama dengan Badan Legislasi DPR dan juga dengan pemerintah. Meskipun sudah ada penentuan RUU yang akan dibahas tapi terkadang masih ada ketidak singkronan atau bertambahnya RUU.

Penambahaan RUU dimungkinkan berdasarkan PP No. 61 tahun 2005 yang mengatakan  pemrakasa dapat menyususn RUU di luar prolegnas. Inilah yang menyebabkan adanya pandangan bahwa masih lemahnya kinerja legislasi dan ketidak singkronan.

Selain itu, penetapan RUU yang sudah masuk di dalam prolegnas juga tidak disertai dengan kelengkapan pendukung seperti Naskah Akademik dan naskah RUU. Tak jarang pula ditemukan adanya kesamaan atau duplikasi judul dalam RUU. Ini mengambarkan adanya ketidak telitian dalam penyusunan prolegnas.

Meskipun sudah ada penjadwalan pembahasan RUU, tapi karena adanya masa reses terkadang juga menjadi persoalan tersendiri. Selain itu juga anggota pansus yang terlibat dalam pembahasan RUU juga belum secara utuh memahami ruh dari rancangan awalnya. Olehkarena itu, penulis memberikan solusi guna mewujudkan target pencapain RUU yang sudah ditetapkan oleh Prolegnas.

Pertama, perlu ada restrukturisasi alat kelengakapan DPR. Karena denga banyaknya alat kelengkapan yang ada di DPR menyebabkan terjadinya rangkap jadwal pada setiap kali rapat sehingga anggota tidak dapat mengalokasikan waktu secara maksimal dalam penyusunan dan pembahasan RUU.

Karenanya, penulis berpendapat bahwa alat kelengkapan DPR harus dikembalikan sebagaimana tiga fungsi pokok DPR. Artinya, dengan mengacu fungsi DPR maka semestinya alat kelengkapan itu meliputi Komisi Legislasi, Komisi Anggara, dan Komisi Pengawasan. Dengan demikian, maka penyusunan dan pembahasan RUU semakin efektif, efesien sesuai target Prolegnas.  Fathul Ulum

RESENSI BUKU  
Judul          : Pasang Surut Kinerja Legeslasi
Penulis       : Ahmad Yani, S.H., M.H
Editor        : Abdullah Mansur, Abdul Holik, Pram Pode, Widodo
Penerbit       : PT. Rajagrafindo Poersada, Jakarta
Tebal         : 274 Halaman
Terbit        : 2011 



   
  

Read more »

Bolehkah Memprogram Jenis Kelamin Anak

Keinginan untuk mendapat jenis kelamin bayi tertentu bisa dilakukan melalui cara inseminasi atau bayi tabung. Apakah perencanaan ini bertentangan dengan kaedah Islam dan bisa dikatakan mendahului takdir. 


Urusan jenis kelamin anak sering kali membuat keluarga kecewa. Berharap punya anak perempuan, eh yang lahir ternyata anak lelaki. Begitu juga sebaliknya, berharap anak lelaki tetapi yang dikaruniai adalah anak perempuan. Urusan jenis kelamin anak akhirnya dianggap sebagai takdir yang ditentukan.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini membuat segalanya bisa diatur.  Sebuah pasangan bahkan bisa menentukan apakah anak yang mereka miliki kelak akan berjenis kelamin lelaki atau perempuan.  Rekayasa untuk mendapatkan anak dengan jenis kelamin tertentu tersebut kini bisa dilakukan dengan inseminasi atau bayi tabung (IVF).

Sebelum pasangan suami istri melakukan proses mendapatkan anak melalui bayi tabung, dokter biasanya akan bertanya, ingin (punya bayi) laki-laki atau perempuan? Setelah mendapat jawaban, amaka proses pencucian sperma akan dilakukan melalui alat yang sudah tersedia di laboratorium untuk menyeleksi sperma terbaik, dan memilih jenis kelamin yang diinginkan melalui teknik yang disebut Preimplantation Genetic Diagnosis (PGD).

Bagi banyak pasangan, jenis kelamin bayi tak dipermasalahkan. Yang penting, bayinya sehat. ”Inilah bentuk rasa syukur atas anugrah yang diberikan Tuhan yanga Maha Esa,” kata Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Ziyad kepada FATHUL pekan lalu. 

Menanggapi polemik haram dalan halalnya proses pemograman jenis kelamin bayi sebelum adanya hubungan suami sitri melalui bantuan medis, Ziyad mengatakan dalam al-quran dan hadist dijelaskan bahwa ada beberapa yang menjadi rahasia Allah yaitu mengenai mati, hidup, rizeki, jodoh. dan salah satunya mengenai jenis kelamin bayi pada saat berada dalam kandungan. 

Namun, di dalam ajaran Islam juga mengakui adanya usaha atau ikhtiar untuk mencari kebahagiaan di dunia. Kaitannya dalam masalah ini, sebenarnya di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 223, “Isteri-isteri kamu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kamu itu kapan dan bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kedepankanlah untuk diri kamu, serta bertaqwalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Berilah kabar gembira orang-orang mukmin”.

Kalimat “kapan kamu kehendaki”, menurut pendapat Ziyad dengan menukil hasil penafsiran yang dilakukan oleh Quraish Shihab sebagai “petani”.  Artinya, petani yang dimaksud dapat menentukan bibit apa yang mau ditanamkan sehinggal ilustrasinya laki-laki dan perempuan itu adalah petani dan ladang.  

Kalau demikian, jangan salahkan ladang bila yang tumbuh apel, padahal Anda menginginkan mangga, karena benih yang anda tanam adalah benih apel bukan benih mangga. Suami jangan salahkan isteri jika dia melahirkan anak perempuan, sedang suami menginginkan anak lelaki, karena kromosom yang merupakan faktor kelamin yang terdapat pada wanita sebagai pasangan homolog adalah (XX), dan pada lelaki sebagai pasangan yang tidak homolog adalah (XY).

”Jika X pada jantan atau lelaki bertemu dengan X yang ada pada wanita, maka anak yang lahir perempuan, sedang jika  X bertemu dengan Y  maka anak yang lahir lelaki. Bukankah wanita hanya ladang yang menerima, sedang suami adalah petani yang menabur,,” kata Ziyad yang juga sebagai Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah.

Oleh karena itu, Ziyad berkata temuan dunia medis modern yang bisa menentukan benih itu lahir perempuan atau laki-laki sesuai keinginan sang ayah atau sang ibu, itu bisa diberikan solusinya. Sesungguhnya hanya bagian dari ikhtiar dunia medis saja, bukan berarti  mengingkari ketentuan Tuhan, yang menyatakan bahwa misalnya kelahiran dan kematian itu adalah hak Allah yang Maha Mengetahui.

Jadi sesungguhnya dunia kedokteran hanya mengembangkan keilmuannya, yang itu merupakan bagian dari mengungkap rahasia ilmu Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an dan karuniyah-nya. Tetapi harus diyakini, bahwa itu hanya merupakan ikhtiar tetapi ketentuannya tetaplah di tangan kekuasaan Allah.

Lebih lanjut dia mengatakan dalam praktek sehari-hari yang dilakukan oleh ibu-ibu hamil ketika sedang melakukan foto CT scan medis yang  menyatakan bahwa bayi yang dikandung seorang ibu adalah perempuan, ternyata ketika melahirkan anaknya seorang laki-laki.  ”Disinilah keyakinan bahwa kekuasan Allah yang menentukan, sedangkan medis hanyalah melakukan ikhtiar saja dan Ilmu Allah itu bisa dipelajari oleh manusia meskipun kebenarannya tidak bersifat absolute karena kebenaran absolute itu adalah miliknya Allah SWT,” ujarnya 

Hal senada juga dikatakan Pembantu Dekan Fakultas Hukum dan Syariah Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, JM. Muslimin. Dia mengatakan perencanaan untuk mendapatkan jenis bayi yang dinginkan itu adalah bagian dari pada ikhtiar. Seperti halnya, ketika seseorang merancang pendistribusian keuangan secara merata. ”Bagaimana distribusi pendapatan itu bisa merata maka ini adalah bentuk ikhtiar dari sisi ekonomi.”

Lebih jauh, Muslimin juga menganalogikan perencanaan kelahiran untuk memperoleh jenis bayi yang diinginkan dengan mengambil contoh ketika ada seseorang sedang terjangkit penyakit kaki gajah kemudian datang berobat kepada dokter dan berharap penyakit yang dia derita tidak menyebar secara luas kepada orang sekelilingnya. “Perencanaan yang dimaksud adalah bagian dari ikhtiar manusia untuk bisa mendapatkan kemaslahatan dan kebahagian di duniaw tak dilarang  agama.” 

Muslimin juga berpendapat perencanaan itu akan menjadi hal yang diharamkan oleh agama manakala benih yang diambil itu dari orang lain. ”Yang menjadi masalah, seandainya ada proses perencanaan untuk mendapatkan jenis bayi dengan menggunakan sperma bukan dari hasil pernikahan yang sah maka menurut agama itu haram,” tandasnya. 

Jadi ikhtiar itu adalah usaha sebelum adanya takdir.  Sementara takdir itu terjadi manakala sudah dijalankan ikhtiar. Oleh karena itu, semua orang yang menginginkan anaknya laki-laki atau perempuan meskipun ada upaya medis. “Pada prinsipnya yang tidak boleh adalah memastikan bahwa nanti anak yang akan lahir itu laki-laki atau perempuan karena prediksi ilmu sesungguhnya tidak seratus persen,” imbuhnya.  

Yang menjadi problem menurut Muslimin adalah ketika si pasien terlalu mempercayai apa yang dikatakan oleh dokter. “Jadi yang bersangkutan itu tidak boleh terlalu meyakini itu, karena kita minum obat saja tidak boleh diyakini, sebab yang memberi kesembuhan itu adalah Allh. Kalau sudah meyakini, levelnya seolah-olah yang membuat kita sembuh adalah obat, sama dengan ketika meyakini seoalah-olah yang membuat laki-laki atau perempuan itu dokter. Disinilah letak siriknya.” 

Sementara Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Cholil Nafis berkata. Perencanaan untuk mendapatkan jenis keturunan laki-laki atau perempuan itu harus dilihat caranya. Kalau prosesnya melalui hubungan suami istri, ya tidak apa-apa karena itu masih dalam kontek kemanusiaan sendiri. ”Jangan sampai ada transfer gen di situ karena bisa menyebabkan terjadinya cacat permanen,” ujarnya

Selain itu, dia juga berpendapat bahwa proses perencanaan kelahiran  bayi ini perlu dilakukan uji coba. Jangan sampai merubah jenis manusia dan jangan sampai dilakukannya diluar konteks senggama. Karena di dalam konteks senggama, perencanaan itu hanya menggunakan sebuah ramuan yang dibuat misalnya, dengan cara mengambil gen x atau y.

Dia juga mengingatkan bila proses ini tidak merubah asal kejadian manjusia dalam arti tidak merubah struktur pada anggota tubuh manusia dan jangan sampai ada gen yang tidak terbawa karena ini bisa beresiko terjadinya kelahiran yang prematur secara fisik maupun mental.  “Jadi akurasi teknologi itu seperti apa?” tanyannya.

Oleh karena itu, Cholil berpendapat kalau hanya merencakan ciptaan Allah tidak  menjadi masalah. ”Yang menjadi masalah adalah merubah ciptaan Allah. Kalau hanya seksdar berikhtiar itu tidak dilarang tapi bila ikhtiarnya dengan cara merubah struktur manusia maka itu hukumnya haram,” pungksanya.  
  

Read more »

Keabsahan Keterangan Saksi Lewat Teleconference

Persidangan perkara tindak pidana terorisme dengan terdakwa Abu Bakar Ba'asyir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Senin pekan lalu diwarnai keributan. Para penasehat Abubakar Ba’asyir menolak keterangan saksi dengan teleconference dan melakukan protes keras hingga berbuntut pengusiran dan pelaporan hakim ke Komisi Yudisial. Namun hakim tetap melanjutkan persidangan. Penasihat hukum menilai bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference tidak sesuai dengan KUHAP. Lalu bagaimana keabsahan keterangan saksi sebagai alat bukti? Berikut dua pendapat yang disampaikan dua pakar kepada Fathul Ulum. 

Dr. Chairul Huda.
Pakar Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ)

Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah apa yang dia nyatakan di depan persidangan sehingga apabila tidak ada hal-hal lain, maka apa yang dia nyatakan di dalam persidangan dapat dijadikan sebagai alat bukti.  Nah, dalam kasus pemberian keterangan saksi untuk kasus terorisme dengan terdakwa Ustadz Ba’asir melalui teleconference ini memang ada problem. Di mana problem yang dimaksud adalah kaitannya dengan masalah keamanan secara keseluruhan. Sebab, penyelenggaraan sidang terorisme ini korbannya tidak hanya menyangkut perseorangan. 

Berkaitan dengan acara mendengarkan keterangan saksi melalui teleconference, memang pihak penegak hukum sudah mengajukan izin kepada Mahkamah Agung untuk mendengarkan keterangan beberapa saksi dengan mengunakan teleconference dengan alasan terjaminnya keamanan dan berjalannya persidangan dengan baik.  

Dalam hal ini, saksi dimungkin untuk memberikan keterangannya di sebuah rumah tahanan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Tentunya dalam tahanan tersebut sudah terdapat penjanggaan yang maksimum tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Karenanya, pengadilan juga sudah mengantongi izin dari Mahkamah Agung sehingga ketua pengadilan melaksanakan acara tersebut.  

Apabila dari pihak terdakwa, Ustad Abu Bakar Ba’asyir atau pengacaranya merasa keberatan dengan acara mendengarkan pemberian keterangan saksi melalui teleconference. Maka cukup alasan keberatannya itu disampaikan dan dicatat dalam berita acara sidang, tidak kemudian harus dengan cara menolak seperti itu. 

Perlu diingat bahwa pembuktian di dalam tindak pidana terorisme itu tidak semata-mata apa yang disebutkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab, di dalam undang-undang  Terorisme pun sudah menerima alat bukti berupa informasi yang diungkapkan melalui alat elektronik dan seterusnya.  Memang yang menjadi masalah dalam sidang Ustad Abu Bakar Ba’asyir kemarin karena terjadinya eskalasi yang meningkat ketika tidak terkendalinya salah seorang penasihat hukum Ustad Ba’asyir yang kemudian mengakibatkan dikelurkannya oleh Majelis Hakim. 

Jadi menurut saya, pada dasarnya acara pemeriksaan saksi melalui teleconference  itu dikhawtairkan ada tekanan kepada saksi ketika diminta keterangannya secara langsung. Oleh sebab itu, untuk meyeimbangkan salah satu cara yang bisa dilakukan adalah penasihat hukum Ustad Ba’asyir dan Jaksa ditempatkan di Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok  untuk melihat secara langsung proses keterangan yang disampaikan. 

Pada intinya, pelaksanaan mendengarkan saksi melalui telekonfrence itu adalah hal yang teknis. Karenanya, yang menjadi subtansi adalah masalah keamanan yang perlu dipertimbangkan. Sebab,  ketika saksi di hadapkan dimuka persidangan itu  sangat beresiko. Nah, bila solusinya adalah saksi dihadirkan kemudian terdakwa dikeluarkan. Bukan itu masalahnya.

Selain itu, jumlah saksi ini kan juga banyak karena yang terlibat di Aceh itu menjadi saksi semua. Sementara, fasilitas tahanan di PN Selatan tak memadai. Jadi mau diletakan di mana, ini juga yang menjadi masalah dan resikonya sangat tinggi. Saya melihatnya dari sisi itu, sehingga saksi bisa memberikan keterangannya secara luas tanpa harus merasa tertekan melalui teleconference.

Perlu diingat bahwa mendengarkan keterangan melalui teleconference itu juga pernah dilakukan oleh B.J Habibie pada waktu itu dia berada di Jerman.  Yang paling penting sebenarnya, apakah bisa saksi itu memberikan keterangan secara bebas. Soal teleconference  itu merupakan masalah teknis.


Guntur Fatahilah
Pengacara Ustad Abu Bakar Ba’asyir

Kami dari awal tidak berkeinginan untuk mengikuti acara persidangan dengan acara mendengarkan keterangan saksi melalui teleconference. Karena kami berpendapat bahwa hakim yang memimpin persidangan sudah tak mengindahkan prosedur acara yang dimaksud dalam pasal 173 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut.

“Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidãk hadir.” 

Karena itu, menurut saya apabila saksi merasa keberatan atau diduga takut atau gugup seperti yang diutarakan oleh jaksa dalam suratnya. Sebenarnya di dalam pasal 173 KUHAP itu sudah mengakomodir bahwasanya saksi tetap harus dihadirkan di dalam persidangan.
 
Untuk menjaga alasan-alasan yang dimaksud, maka bisa saja mekanisme acara pemeriksaan saksi melalu seperti ini, saksi berada di ruang sidang sementara terdakwa menunggu di luar persidangan bukan kemudian saksi memberikan keterangan melalui teleconference di Mako Brimob kemudian terdakwa ada di pengadilan. Sementara masalah teleconference juga belum diatur di dalam undang-undang.  

Itulah pendapat kami, jadi apa yang  kami utarakan bukan kemudian itu adalah sebagai alat pembenaran. Namun perlu diingat dan diperhatikan bahwa berkaitan dengan prosedur beracara di dalam persidangan yang dijadikan landasan hukum adalah ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bukan undang-undang yang lain.  

Jadi, kenapa Ustad Abu Bakar Ba’asyir kemarin tidak mau sidang, ya karena para penasihat hukum tidak mau mendampinggi ustadz apabila acara  untuk mendengarkan keterangan saksi masih memakai teleconference. Kami  akan hadir di dalam persidangan apabila memang sidangnya konvensional,  di luar itu, kami tidak akan hadir dalam persidangan.  

Ironisnya, surat permohonan dari jaksa perihal penggunaan teleconference yang dikirim pada tanggal 8 Februari 2011 kepada Mahkamah Agung (MA). Pihak MA baru menjawab pada tanggal 24 Februari 2011. Artinya, belum ditentukan hari sidang saja acara mendengarkan saksi melalui teleconference sudah dilakukan pada sidang kemarin.

Berkaitan dengan pasal 34 ayat (1) hruf c Undang-undang Tentang  Tindak Pidana Terorisme mengatakan bahwa pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan ”tanpa bertatap muka” dengan tersangkan. Makusd “tidak bertatap muka” di situ bahwasanya bisa disidangkan ditempat yang sama tapi berbeda ruangan. 
Dalam pasal tersebut juga tidak ada kata-kata yang menyebutkan teleconference. Artinya tidak secara “serta merta” yang dimaksud dengan tidak bertatap muka itu adalah berbeda ruangan pada tempat yang sama. Karena pada persidangan yang lain ada juga yang dilakukan seperti itu. Di mana terdakwa di tempatkan di tahanan dan saksi dihadirkan di muka pengadilan.
   
Jadi kalau sidang dengan agenda mendengarkan saksi melalui teleconference disamakan dengan pada waktu itu B.J. Habibie memberikan ketarangannya melalui teleconference jelas berbeda karena pada waktu itu B.J Habibie berada di Jerman dan dalam kasus ini, semua saksi berada di Indonesia.

Apalagi, kalau alasannya berkaitan dengan masalah keamanan, lihat saja begitu banyaknya aparat keamanan yang menjaga persidangan ini. Jadi mana yang tidak aman, apakah masih kurang penjagaannya. Menurut kami, penjagaan persidangan ini sudah lebih dari pada cukup. Jadi apa yang dikhawatirkan. Dalam persidangan ini, kami hanya berharap tidak lebih untuk menjalankan rule of law.

Kami mempunyai pandangan bahwasanya persidangan kemarin tidak sesuai dengan prosedur hukum karenanya kami tidak mau turut andil dalam menabrak ketentuan KUHAP. Selain itu, kami juga berpandangan bahwa dari awal sidang ini sudah amat sangat dipolitisir dan amat sangat diintervensi karena banyak hal yang unprosedural.  





Read more »