UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara, jelas mengatakan pada Pasal 23 huruf c. bahwa Menteri Negara dilarang merangkap jabatan. Kenyataannya praktek yang terjadi masih terdapat menteri-menteri yang merangkap jabatan, misalnya Ketua PKB Muhaimin Iskandar merangkap sebagai Menakertrans. Ketua PPP Suryadarma Ali merangkap sebagai Menteri Agama dan Ketua PAN Hatta Rajasa merangkap sebagai Menteri Sekretaris Negara. Sehingga Lily Wahid mengangap pasal tersebut ada yang salah, dengan mengajukan yudisial review ke MK. Apakah jabatan para menteri tersebut bertentangan dengan UU? Berikut perdebatan kedua narasumber di sampaikan kepada Fathul Ulum.
Yahdil Abdi Harahap
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Amanat Nasional
Seperti kita ketahui, bahwa di dalam pasal 23 huruf c UU Kementerian, Memang tidak ada keharusan seorang menteri, dilarang merangkap jabatan sebagai ketua umum partai. Artinya jika melihat dalam konteks pasal tersebut, maka kata yang terdapat dalam penjelasan umum, adalah “diharapkan” maka tidak ada suatu kewajiban untuk menuruti klausula yang ada di dalam UU tersebut.
Maka dari itulah, pertimbangan efektifitas partai dan pertimbangan demokrasi di kedepankan. Misalnya jika seorang menteri terpilih dalam internal partai sebagai ketua umum dan ketika partai memandang bahwa sosok tersebut di butuhkan dalam membangun partai, meskipun dia juga sebagai menteri. Saya kira tidak jadi persoalan, karena hal tersebut tidak melanggar UU.
Bahwa misalnya, jabatan yang diemban seorang menteri, yang sekaligus merangkap sebagai ketua umum partai. Berdasarkan pengalaman yang terjadi, masalah rangkap jabatan tersebut tidak menganggu aktifitas menteri tersebut. Artinya bahwa asumsi ada hambatan pada kinerja mereka saat merangkap jabatan, maka hambatan tersebut tidak berarti, karena tidak signifikan dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya.
Kami tidak melihat rangkap jabatan dalam permasalahan dalam konteks etika ketatanegaraan. Artinya bukan berarti seorang menteri yang menjabat sebagai ketua umum partai, dia tidak beretika. Justru kita memandang bahwa etika politik itu ada disana, jika seorang kader partai terbaik, kemudian ditunjuk presiden menjadi menteri, tentu itu merupakan sebuah kebanggaan dan tanggung jawab kenegaraan.
Sehingga tanggung jawab politik, dan tanggung jawab kenegaraan itu bisa digunakan dan di jalankan dengan baik. Sehingga apa yang menjadi kebijakan-kebijakan pemerintah dapat di sosialisasikan secara cepat kepada partai-partai dan dapat pula di perjuangkan oleh partai tersebut secara efektif. Maka disanalah sebuah pertimbangannya, jika ia menjadi seorang menteri dan sekaligus pengurus partai.
Jadi intinya, bahwa apa yang terkandung di dalam pasal 23 huruf c UU kementerian tersebut, kami nilai tidak ada keharusan seorang menteri tidak boleh menjabat sebagai pengurus partai tertentu, dan di dalam UU disebutkan bahwa rangkap jabatan itu dapat dibolehkan dan tidak dibolehkan. Jika dilihat pada aturan internal partai politik, boleh saja partai mengatur tidak dibolehkan rangkap jabatan, tapi ada partai yang diberi kebebasan untuk mengatur dibolehkannya rangkap jabatan.
Disitulah menurut kami nyawa dari UU No 39 Tahun 2008, bahwa UU ini tetap memberi kebebasan bagi partai politik untuk mengatur dirinya sendiri, apakah seorang pengurus partai boleh merangkap menjadi menteri. Sehingga pandangan saya, yang diinginkan dalam UU tersebut adalah merangkap jabatan pada antar Lembaga Negara, itu sebenarnya ruhnya. Misalnya seorang menteri merangkap sebagai komisaris BUMN, dan itu sebetulnya yang diharapkan oleh UU. Jadi menurut saya tidak ada yang overlap di antara lembaga-lembaga Negara.
Terkait dengan organisai yang di maksud dalam UU 39 tahun 2008, yaitu organisasi yang di biayai oleh APBN dan APBD, maka jelas partai politik tidak di biayai, namun bisa mendapatkan bantuan. Jadi sangat berbeda antara di biayai dengan boleh mendapatkan bantuan, artinya bantuan ini dapat dan tidak tergantung pembahasan pada APBN dan APBD. Apakah partai politik mendapatkan anggaran atau tidak. Artinya bahwa ini juga tidak bertentangan dengan UU tersebut. Apabila kader partai yang merangkap sebagai menteri itu sah-sah saja, dan harapan kami UU tersebut tetap berjalan karena masih relevan.
Refly Harun
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
Saya kira dalam Hukum Tata negara, sebenarnya tergantung pada presiden. Artinya, Presiden mempunyai hak preogratif untuk memilih dan tidak memilih orang menjadi menteri. Sehingga bisa saja dalam merekrut menteri yang bukan pimpinan partai, dari sisi lain jika tidak merekrut menteri dari pimpinan partai, maka tidak power full kualisinya.
Apabila berpandangan pada peraturan saat ini, memang tidak ada larangan. Makanya dilakukan upaya yudisial review untuk kemudian menjelaskan persoalan tersebut, dan saya menganggap ini sebenarnya wilayahnya abu-abu. Terhadap norma yang sifatnya abu-abu ini, biasanya MK tergantung pada opini publik, bagaimana membangun konstruksi hukum, karena tidak secara nyata-nyata bertentangan dengan Konstitusi.
Apabila MK nantinya mengabulkan yudisial review tersebut, maka para menteri yang menjabat sebagai ketua umum parpol, harus mundur atau memilih salah satu jabatan yang dirangkap. Karena UU mengatakan bahwa apabila putusan yang dikeluarkan oleh MK, maka tidak ada upaya hukum lagi.
Memang benar, dalam penjelasan umum ada kata “Diharapkan” dalam UU Kemeterian itu tidak imperatif, artinya tidak memerintahkan tapi menghimbau. Jika dihimbau maka bisa ditaati dan bisa tidak. Namun jika kita lihat dalam etika politik, seharusnya mereka mundur dari jabatannya, tapi karena itu tidak imperatif maka mereka tidak mundur, dan tidak ada sanksinya. Karena mereka beranggapan bahwa rangkap jabatan tidak melanggar UU.
Kalau misalnya sekarang ada menteri yang tidak mau mengundurkan diri, karena tidak melanggar UU, karena beralasan bahwa itu sifatnya himbauan, maka itu adalah hanya bersifat etika poltik. Akakn tetapi sikap itu kurang beretika secara ketatanegaraan, artinya kurang menjujung tinggi etika ketatanegaraan. Jika melihat sikap dari PKS, yang mana setiap mereka yang menjadi menteri, orang tersebut selalu mengundurkan diri dalam salah satu jabatan yang dimiliki. Maka menurut saya itu adalah etika ketatanegaraan yang baik.
Sehingga menurut saya persoalaan yang abu-abu ini, satu-satunya jalan adalah MK yang harus menjelaskan, dan sekaligus memberi pelajaran DPR ketika dalam membuat UU, jangan sekali-sekali membuat UU yang loyo, karena yang terjadi sekarang, dengan adanya rangkap jabatan yang dilakukan oleh menteri, seakan menjadi pisau bermata dua.
Disisi lain mereka tidak ambivalen, karena presiden juga membutuhkan menteri-menteri yang menjabat sebagai ketua umum partai untuk memperkuat kualisi, sehingga ambivalennya seperti ini. Jadi menurut saya peroalan semacam ini harus segera diakhiri, artinya harus diperjelas dalam ketentuan UU, boleh atau tidak merangkap jabatan sebagai menteri dan sebagai ketua umum partai.
Secara tegas saya katakan tidak boleh merangkap jabatan, dan seharusnya presiden mencari orang-orang yang loyal 100 persen kepadanya. Karena jabatan menteri itu juga tidak mudah, maka sepatutnya tidak boleh di rangkap. Karena presiden tidak bisa diajak kompromi lagi, maka seharusnya dipagari dengan UU. Dengan dasar pertimbangan tersebut. Maka harapan saya, MK menerima yudisial review atas persoalan yang abu-abu ini.
Jadi menurut saya, lebih baik diatur dalam UU, yang menyatakan dengan tegas tidak boleh menteri merangkap jabatan. Dan larangan-larangan jabatan misalnya pada perusahaan dan lain-lain. Dari segi hukum, saya kira jika ada rangkap jabatan maka akan berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang. Makanya perlu ada UU yang mengatur adanya rangkap jabatan, sehingga bisa menghindari adanya penyalahgunaan wewenang, serta dalam rangka pemerintahan yang bersih dan baik .
Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 51 Tahun 2009