Senin, 15 November 2010

Haruskah Menteri Secara Tegas Dilarang Rangkap Jabatan

UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara, jelas mengatakan pada Pasal 23 huruf c. bahwa Menteri Negara dilarang merangkap jabatan. Kenyataannya praktek yang terjadi  masih terdapat menteri-menteri yang merangkap jabatan, misalnya Ketua PKB Muhaimin Iskandar merangkap sebagai Menakertrans. Ketua PPP Suryadarma Ali merangkap sebagai Menteri Agama dan Ketua PAN Hatta Rajasa merangkap sebagai Menteri Sekretaris Negara. Sehingga Lily Wahid mengangap pasal tersebut ada yang salah, dengan mengajukan yudisial review ke MK. Apakah jabatan para menteri tersebut bertentangan dengan UU? Berikut perdebatan kedua narasumber di sampaikan kepada Fathul Ulum.

Yahdil Abdi Harahap

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Amanat Nasional


Seperti kita ketahui, bahwa di dalam pasal 23 huruf c UU Kementerian, Memang tidak ada keharusan seorang menteri, dilarang merangkap jabatan sebagai ketua umum partai. Artinya jika melihat dalam konteks pasal tersebut, maka kata yang terdapat dalam penjelasan umum, adalah “diharapkan” maka tidak ada suatu kewajiban untuk menuruti klausula yang ada di dalam UU tersebut.  

Maka dari itulah, pertimbangan efektifitas partai dan pertimbangan demokrasi di kedepankan. Misalnya jika seorang menteri terpilih dalam internal partai sebagai ketua umum dan ketika partai memandang bahwa sosok tersebut di butuhkan dalam membangun partai, meskipun dia juga sebagai menteri. Saya kira tidak jadi persoalan, karena hal tersebut tidak melanggar UU.
  
Bahwa misalnya, jabatan yang diemban seorang menteri, yang sekaligus merangkap sebagai ketua umum partai. Berdasarkan pengalaman yang terjadi, masalah rangkap jabatan tersebut tidak menganggu aktifitas menteri tersebut. Artinya bahwa asumsi ada hambatan pada kinerja mereka saat  merangkap jabatan, maka hambatan tersebut tidak berarti, karena tidak signifikan dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya.

Kami tidak melihat rangkap jabatan dalam permasalahan dalam konteks etika ketatanegaraan. Artinya bukan berarti seorang menteri yang menjabat sebagai ketua umum partai, dia tidak beretika. Justru kita memandang bahwa etika politik itu ada disana, jika seorang kader partai terbaik, kemudian ditunjuk presiden menjadi menteri, tentu itu merupakan sebuah kebanggaan dan tanggung jawab kenegaraan.   

Sehingga tanggung jawab politik, dan tanggung jawab kenegaraan itu bisa digunakan dan di jalankan dengan baik. Sehingga apa yang menjadi kebijakan-kebijakan pemerintah dapat di sosialisasikan secara cepat kepada partai-partai dan dapat pula di perjuangkan oleh partai tersebut secara efektif. Maka disanalah sebuah pertimbangannya, jika ia menjadi seorang menteri dan sekaligus pengurus partai.

Jadi intinya, bahwa apa yang terkandung di dalam pasal 23 huruf c UU kementerian tersebut, kami nilai tidak ada keharusan seorang menteri tidak boleh menjabat sebagai pengurus partai tertentu, dan di dalam UU disebutkan bahwa rangkap jabatan itu dapat dibolehkan dan tidak dibolehkan. Jika dilihat pada aturan internal partai politik, boleh saja partai mengatur tidak dibolehkan rangkap jabatan, tapi ada partai yang diberi kebebasan untuk mengatur dibolehkannya rangkap jabatan.

Disitulah menurut kami nyawa dari UU No 39 Tahun 2008, bahwa UU ini tetap memberi kebebasan bagi partai politik untuk mengatur dirinya sendiri, apakah seorang pengurus partai boleh merangkap menjadi menteri. Sehingga pandangan saya, yang diinginkan dalam UU tersebut adalah merangkap jabatan pada antar Lembaga Negara, itu sebenarnya ruhnya. Misalnya seorang menteri merangkap sebagai komisaris BUMN, dan itu sebetulnya yang diharapkan oleh UU. Jadi menurut saya tidak ada yang overlap di antara lembaga-lembaga Negara.  

Terkait dengan organisai yang di maksud dalam UU 39 tahun 2008, yaitu  organisasi yang di biayai oleh APBN dan APBD, maka jelas  partai politik tidak di biayai, namun bisa mendapatkan bantuan. Jadi sangat berbeda antara di biayai dengan boleh mendapatkan bantuan, artinya bantuan ini dapat dan tidak tergantung pembahasan pada APBN dan APBD. Apakah partai politik mendapatkan anggaran atau tidak. Artinya bahwa ini juga tidak bertentangan dengan UU tersebut. Apabila kader partai yang merangkap sebagai menteri itu sah-sah saja, dan harapan kami UU tersebut tetap berjalan karena masih relevan.     

 

Refly Harun

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Indonesia    


Saya kira dalam Hukum Tata negara, sebenarnya tergantung pada presiden. Artinya, Presiden mempunyai hak preogratif untuk memilih dan tidak memilih orang menjadi menteri. Sehingga bisa saja dalam merekrut menteri yang bukan pimpinan partai, dari sisi lain jika tidak merekrut menteri dari pimpinan partai, maka tidak power full kualisinya. 

Apabila berpandangan pada peraturan saat ini, memang tidak ada larangan. Makanya dilakukan upaya yudisial review untuk kemudian menjelaskan persoalan tersebut, dan saya menganggap ini sebenarnya wilayahnya abu-abu. Terhadap norma yang sifatnya abu-abu ini, biasanya MK tergantung pada opini publik, bagaimana membangun konstruksi hukum, karena tidak secara nyata-nyata bertentangan dengan Konstitusi.

Apabila MK nantinya mengabulkan yudisial review tersebut, maka para menteri yang menjabat sebagai ketua umum parpol, harus mundur atau memilih salah satu jabatan yang dirangkap. Karena UU mengatakan bahwa apabila putusan yang dikeluarkan oleh MK, maka tidak ada upaya hukum lagi.

Memang benar, dalam penjelasan umum ada kata “Diharapkan” dalam UU Kemeterian itu tidak imperatif, artinya tidak memerintahkan tapi menghimbau. Jika dihimbau maka bisa ditaati dan bisa tidak. Namun jika kita lihat dalam etika politik, seharusnya mereka mundur dari jabatannya, tapi karena itu tidak imperatif maka mereka tidak mundur, dan tidak ada sanksinya. Karena mereka beranggapan bahwa rangkap jabatan tidak melanggar UU. 

Kalau misalnya sekarang ada menteri yang tidak mau mengundurkan diri,  karena tidak melanggar UU, karena beralasan bahwa itu sifatnya himbauan, maka itu adalah hanya bersifat  etika poltik. Akakn tetapi sikap itu kurang beretika secara ketatanegaraan, artinya kurang menjujung tinggi etika ketatanegaraan. Jika melihat sikap dari PKS, yang mana setiap mereka yang menjadi menteri, orang tersebut selalu mengundurkan diri dalam salah satu jabatan yang dimiliki. Maka menurut saya itu adalah etika ketatanegaraan yang baik. 

Sehingga menurut saya persoalaan yang abu-abu ini, satu-satunya jalan adalah MK yang harus menjelaskan, dan sekaligus memberi  pelajaran DPR ketika dalam membuat UU, jangan sekali-sekali membuat UU yang loyo, karena yang terjadi sekarang, dengan adanya rangkap jabatan yang dilakukan oleh menteri, seakan  menjadi pisau bermata dua.   

Disisi lain mereka tidak ambivalen, karena presiden juga membutuhkan menteri-menteri yang menjabat sebagai ketua umum partai untuk memperkuat kualisi, sehingga ambivalennya seperti ini. Jadi menurut saya peroalan semacam ini harus segera diakhiri, artinya harus diperjelas dalam ketentuan UU, boleh atau tidak merangkap jabatan sebagai menteri dan  sebagai ketua umum partai.

Secara tegas saya katakan tidak boleh merangkap jabatan, dan seharusnya  presiden mencari orang-orang yang loyal 100 persen kepadanya. Karena jabatan menteri itu juga tidak mudah, maka sepatutnya tidak boleh di rangkap. Karena presiden tidak bisa diajak kompromi lagi, maka seharusnya dipagari dengan UU. Dengan dasar pertimbangan tersebut. Maka harapan saya, MK menerima yudisial review atas persoalan yang abu-abu ini.  

Jadi menurut saya, lebih baik diatur dalam UU, yang menyatakan dengan tegas tidak boleh menteri merangkap jabatan. Dan larangan-larangan jabatan misalnya pada perusahaan dan lain-lain. Dari segi hukum, saya kira jika ada rangkap jabatan maka akan berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang. Makanya perlu ada UU yang mengatur adanya rangkap jabatan, sehingga bisa menghindari adanya penyalahgunaan wewenang, serta dalam rangka pemerintahan yang bersih dan baik .  

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 51 Tahun 2009
 

Read more »

Perlukah Koruptor Dihukum Mati

Kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mengancam kemakmuran dan kesetabilan negeri ini. Tidak salah, jika Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mengatakan sanksi yang harus di berikan kepada korupotr adalah hukuman mati. Apakah sanksi  hukuman mati bagi koruptor menjawab persoalan? Ataukah malah bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam pemenuhan HAM? Berikut rangkuman perdebatan yang disampaikan kepada Fathul Ulum.    

Ahmad Santosa

Anggota Satgas Mafia Hukum        


Menurut saya, bahwa sepanjang sanksi hukuman mati itu diberikan kepada para koruptor, yang juga di imbangi dengan adanya perbaikan sistem, serta untuk mencegah terjadinya penggarongan uang rakyat, saya kira boleh-boleh saja. Disamping itu pemerintah dan negara harus bekerja keras jika memang penghukumannya demikian, karenanya hukuman mati ini belum ada.   

Sehingga, jangan kita terlalu terlena atau terbuai dengan hukuman mati, tapi yang paling penting kita harus bekerja keras untuk memperbaiki sistem ini. Misalnya dengan sistem perpajakan yang baik, sistem penegakan hukum yang baik agar tidak terjadi adanya peluang korupsi dan juga termasuk di dalamnya. Kemudian yang harus ditekankan bagaimana memberdayakan Komis Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendorong upaya-upaya pencegahan maupun pemberantasan koruptor.      

Tapi pada prinsipnya saya setuju dengan adanya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (koruptor), namun  dengan adanya penghukuman itu, jangan dilihat secara sendiri-sendiri. Karena harus juga dilihat adanya upaya yang menyeluruh karena saya khawatir jika hanya hukuman mati saja, tapi kita tidak membenahi judisial corruption. Maka tidak mungkin hukuman mati itu bisa  diterapkan dengan baik.     

Kalau soal hak untuk hidup yang telah di jamin dalam UUD dan beberapa konvenan-konvenan yang telah diratifikasi  Indonesia. Maka saya tidak ingin masuk di dalam tataran perdebatan soal itu, karena itulah kemudian bagaimana orang menginterpretasikan dan bagaimana orang menafsirkannya. Olehkarenanya saya tidak mau masuk pada word interpretation (perang penafsiran), tapi yang paling penting, bahwa intinya adalah para pelaku tindak pidana korupsi ini jelas-jelas telah  menggrogoti bangsa ini, dan membuat proses pemiskinan serta  membuat bangsa kita tidak kredibel di mata dunia. Dan kemudian para koruptor ini juga membuat  bangsa kita, serta generasi muda  menjadi bodoh dan tidak sehat.   

Karena negara kita tidak kuat dalam menjamin hak asasi misalnya dibidang kesehatan, dibidang pendidikan dan hak untuk hidup, yang itu tidak terpenuhi  karena memang anggaran kita terbatas. Hal ini juga disebabkan karena adanya tindakan pengroggotan oleh oknum aparatur penyelenggara negara, sehingga hal-hal itu juga harus difikirkan.   

Soal sanksi hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Intinya begini, saya setuju dengan adanya hukuman mati. Karena kalau corruption by greed disebabkan keserakahan, dan karena sudah menganggu tatanan kehidupan, serta merusak sistem dan merusak kredibilitas bangsa yang jumlahnya juga luar biasa. Sehingga orang tersebut melakukan akumulasi penjarahan uang berkali-kali, maka saya kira harus di hukum seberat-beratnya dan terbuka kemungkinan dengan adanya sanksi  hukuman mati bagi para koruptor.   

Soal apakah nantinya sanksi itu bisa menjadi efek jera atau tidak bagi para koruptor? Tidak bisa dilihat secara berdiri sendiri. Jadi penghukuman yang seberat-beratnya itu tidak bisa dilihat secara sendiri-sendiri, karena dia harus ditempatkan di dalam setrategi yang menyeluruh, jika dilihat demikian? Maka nantinya percuma kalau misalnya hukuman mati di berlakukan, tetapi pengadilannya masih bisa di pengaruhi, sehingga nantinya sama saja tidak akan terlaksana juga.  

Apabila kemudian hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di laksanakan, tapi sistemnya kropos maka tidak memungkinkan orang melakukan itu. Oleh sebab itu, harus di tempatkan pada setrategi berdasarkan adanya upaya pemberantasan korupsi termasuk juga pencegahan secara menyeluruh.    

 

Agung Putri

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)


Saya memandang bahwa hukuman mati dari segi pertimbangan HAM  itu adalah salah satu bentuk praktek yang melanggar HAM. Dan soal hukuamn mati di Badan International sedang membuat index semacam panduan untuk menghimbau kepada Negara-negara yang masih mempraktekan hukuman mati untuk di hapuskan.  

Karena kita punya hukuman mati, misalnya untuk kejahatan narkoba, dan terorisme kalau ditambah lagi maka kredibilitas negara ini makin turun. Jadi ini bukan soal pro-kontara hukaman mati, tapi secara otomatis menjadi ukuran Badan International bahwa hukuman mati itu bertentangan dengan  HAM.
Jika ada yang setuju untuk memberlakukan hukuman mati, maka ia harus benar-benar membaca pelaksanaan HAM international, kalau tidak? Kita akan rugi dari segi politik luar negeri,  dan itu juga akan merugikan citra presiden sendiri. Yang di citrakan di international sebagai salah satu bapak demokrasi yang dipilih secara demokratis.

Hukuman mati sudah menjadi satu norma pergaulan international yang sangat kuat sehingga hukuman mati, itu bertentangan dengan HAM. Kita tidak perlu melihat Negara lain, tapi kenapa hukuman itu tidak menimbulkan efek jera? yang pertama hampir di semua perundang-undangan kita, dalam menjawab sebuah permasalahan  selalu memberikan jawaban adanya sanksi pidana.  

Sebetulnya dari segi perundang-undangan kita ini,  sudah over-kriminalisasi, sebab apapun yang dilakukan pasti kita kriminalkan. Dan itu lama-lama orang tumpul karena apapun di kriminalkan. Jadi kita ambil contoh yang paling sederhana misalnya UU Pornografi saja sekarang berpakaian bisa dikriminalkan. 

Kedua, sebab cara berfikir perundang-undangan kita ini masih bermotif untuk menyelesaikan masalah masih dengan cara menghukum. Sehingga para ahli hukum harus mulai mengembangkan satu cara-cara lain untuk menimbulkan efek jera, tentunya selain dengan menghukum.  

Karena kita sering mengeluarkan peraturan dengan adanya hukuman pidana, maka kemudian masyarakat tidak melihat lagi nilai dari sanksi itu. Misalnya sanksi pidana untuk kesehatan,  semua perundangan mempunyai dimensi sanksi pidana, buat saya sekarang sudah era reformasi, bukannya mengatur melainkan maunya itu menghukum orang terus.  

Dari segi interpretasi kita tahu persis,  praktek menghukum itu tidak pernah benar-benar dilaksanakan dengan baik. Ada banyak sekali penyimpangan-penyimpangan ketika memberikan sanksi hukuman,  dan kita tahu persis proses persidangan dan keputusan peradilan itu bisa di beli oleh mafi peradilan.

Kenapa para koruptor tidak gentar? karena dia bisa menyiasati badan peradilan. Jadi di sini, kita masih menganggap bahwa dalam membuat suatu peraturan, hendaknya berdasarkan apa yang kita inginkan, bukan berdasarkan apa yang jalan dan tidak jalan di masyarakat. Kenyataannya, setiap orang sudah tahu cara menyiasatinya, sehingga hukuman bukan sesuatu yang  menakutkan lagi.

Artinya, jika hukuman mati di berikan pada koruptor, dengan anggapan dapat memberikan efek jera. Justru, saya melihat itu bahaya besar, di banyak tempat hukuman yang kejam, bisa menjadi lahan untuk memeras. Kenapa? karena sistem hukum kita belum berjalan dengan baik,  aparat penegak hukum belum bersih, dan masih banyak makelar kasus. Sehingga hukuman yang besar itu akan menjadi lahan subur bagi makelar kasus.   

Jadi buat saya hukuman mati hanya memberikan peluang bagi orang yang mempunyai motif politik untuk memperbesar kekuasaannya dan semakin mendiskriminasikan yang lain. Jadi saya kira kita tidak bisa hanya berpangku kepada urusan perbuatan jahat, efek jerannya apa?  

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 50 Tahun 2009
 

Read more »

Pemilihan Deputi Gubenur BI Tak Melalui DPR

Pertengahan April mendatang, Komisi XI DPR RI akan menggelar uji kelayakan dan kepatutan untuk memilih Deputi Gubenur Bank Indonesia (BI) yang telah diusulkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Sebagaian masyarakat berpendapat pemilihan Gubenurdan Deputi Gubenur BI, dinilai sarat kepentingan politik dan ekonomi. Kasus Miranda S Goeltom, misalnya. Belakangan muncul ide agar pemilihan Gubenur dan Deputi Gubenur BI cukup dilakukan kalangan internal?  Berikut perdebatan nara sumber yang disampaikan kepada Fathul Ulum dari FORUM KEADILAN.   

Ismed Hasan Putro
Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani (MPM)

Jadi pertama begini, Deputi Gubenur BI itu kan akan berkerja sama dengan Gubenur BI, maka sebaiknya tidak ada dualisme dalam kebijakan dan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban dia kepada Gubenur bukan kepada DPR RI, jangan sampai Deputi itu merasa karena dia dipilih oleh DPR kemudian loyalnya hanya kepada DPR, karena itu juga akan berpengaruh pada kebijakan nantinya.  

Kemudian yang kedua, pemilihan ini juga akan menambah beban kerja DPR, padahal banyak sekali pekerjaan DPR yang harus dilakukan. Karena setiap tahunnya ada pergantian Deputi, dan apabila itu misalnya menjadi kegiatan rutin, maka itu membuat tidak produktif buat DPR.

Sebenarnya banyak masalah yang lebih strategis yang memerlukan perhatian para anggota DPR. Biarkanlah pemilihan Deputi Gubenur BI dipilih melalui mekanisme internal BI. Jika DPR misalnya memberikan masukan silakan saja, tetapi ketentuannya Deputi Gubenur BI tetap dipilih oleh Gubenur BI.  

Kalau soal pemilihan Gubenur BI boleh saja dipilih melalui DPR, karena itu menyangkut soal lembaga tinggi. Dan kalau soal deputinya saya tegaskan tidak perlu lagi dipilih melalui DPR. Hal ini juga untuk menghindari aspek transaksional yang ditumpanggi oleh orang-orang yang berkepentingan, para cukong dan para bandar yang ingin memangfaatkan para deputi dan anggota DPR RI.

Kalau itu tidak ada lagi, maka sudah tidak ada lagi korban yang harus merugikan bangsa ini. Jika misalnya ada sekian banyak anggota DPR masuk penjara lagi, maka yang akan rugi adalah bangsa ini dan  investasi SDM terhadap bangsa ini jadi hilang.
Soal UU. Ya, harus ditinjau kembali karena ini bukan alquran jadi masih bisa dirubah untuk penyempurnaan. Berdasarkan pengalaman dan sejarah membuktikan dengan melibatkan anggota DPR ternyata banyak sekali anggota DPR kita yang terlibat dalam praktek-praktek transaksional pemilihan Deputi Gubenur BI. Yang ujung-ujungnya mereka masuk penjara.

Oleh karenanya, kita tidak ingin lagi bangsa ini diwarnai oleh para politisi yang tergoda untuk menerima suap dan kegiatan yang sifatnya haram. Konteksnya disitu, jadi UU bisa dirubah tidak ada yang tidak bisa dirubah karena ini bukan alquran.       

Untuk mekanisme pemilihan melalui internal, masyarakat bisa mengajukan misalnya siapa begitu, dan dari BI siapa, kemudian nanti di pilih melalui internal BI berdasarkan masukan-masukan tadi. Tentu saja ada badan, seperti badan supervisi atau misalnya panitia ad hoq tapi bukan melalui DPR lagi.

Nantinya yang akan melakukan pememilihan itu adalah Gubenur BI yang menentukan, bukan lagi parlemen. Jika DPR memberi  masukan-masukan silakan saja. Tapi tetap Gubenur yang memilih karena Gubenur membutuhkan orang yang solid dengan dirinya.  
Jadi tidak seperti sekarang, deputi yang lalu dipilih oleh presiden priode yang lalau, dan deputi sekarang melalui presiden yang sekrang, itu kan bisa menimbulkan disharmonisasi di dalam. Karena loyalitas mereka tidak tunggal. Dan yang lebih penting adalah adanya kepentingan yang tidak sama.  

Sehingga nantinya di dalam BI ada tim ad hoq yang memilih, dan itu harus transparan, tidak boleh kemudian menjadi eksklusif untuk orang-orang BI. Kemudian dibuka peluang untuk masyarakat. Karena ada badan-badan independent seperti Perbanas. Serta KPK harus juga di libatkan dalam pengawasan untuk mencegah terjadinya praktek transaksional  yang berujung pada penjara.

Saya ulanggi, bahwa kita tidak ingin putra-putri terbaik bangsa ini, harus berhubungan dengan hukumdan harus masuk penjara, karena mereka terlibat dalam praktek suap. Saat ini Yang menyakitkan kita semua seperti halnya kasus Miranda Gultom. Hendaknya kasus tersebut adalah kasus yang terahir yang di alami oleh para pejabat parlemen dan pejabat BI.      

Ahcsanul Qosasi
Wakil Ketua Komisi XI Fraksi Partai Demokrat
Ini kan mekanisme UU BI, yang dibuat antara BI dan DPR. Dengan kondisi seperti itu, otomatis jajaran pimpinan BI baik itu gubernur maupun deputi dipilih melalui fit and proper test oleh DPR. Alasan utama karena BI sifatnya independen. Dia tidak boleh bergantung pada pemerintah, dan tidak boleh mendapat campur tanggan dari pemerintah, serta dia harus murni menjalankan kepentingan ekonomi nasional dalam bidang perbankan, bidang pembayaran dan juga dalam bidang stabilitas moneter.   

Denggan alasan itu, misalnya tidak bisa langsung ditetapkan presiden. Karena ini harus melalui DPR sesuai dengan UU. Jika itu dipilih oleh internal BI, ini justru akan menjadi hal yang tidak sehat.  Internal BI bisa memilih secara langsung ini kan bukan perusahaan, jadi tidak perlu dipaksakan, atau misalnya memaksakan diri dipilih secara intern. Ini kepentingan rakyat, makanya baget BI itu sepesial mendapat persetujuan DPR nantinya.  

Oleh karena itu di dalam UU bagetnya hanya melaporkan kepada DPR, dan ini berdasarkan pada kepentingan rakyat. Maka Gubenur dan Deputi Gebunur BI itu betul-betul dipilih oleh rakyat secara langsung melalui mekanisme di dalam DPR. Sehingga Presdien sendiri tidak bisa intervensi langsung kepada BI misalnya untuk melakukan ini, itu.   

Jika dipilih melalui internal, bagaimana mekanisme independennya, apakah ini dipilih oleh rakyat kemudian langsung diserahkan kepada BI itu lain lagi. Jadi karena ini sifatnya independent kemudian keluar dari kepentingan, maka DPR inilah yang menentukan Gubenur BI yang layak.

Karena begini, BI juga kepada DPR melaporkan secara rutin dan dia di bawah koordinasi kerja DPR komisi XI, sehingga DPR itu kembali kepada politik dan wakil rakyat tidak usah dilihat lembaga politiknya tapi dari wakil rakyat dia bisa memonitor kinerja BI secara regular.  

Kalau berbicara menganai Miranda Gultom, ini kan kasus, jadi itu adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi di dalam pemilihan Deputi dan Gubenur BI berikutnya. Kalau hal seperti ini terjadi berarti independensi ini sudah tidak lagi berjalan, sehingga pemilihan berikutnya kita harus hindari intervensi-intervensi, maney politik yang di kirimkan kepada anggota dewan untuk memilihnya, itu yang harus di hindari dan ini menjadi berbahaya kalau misalnya kita meniru kasus Miranda Gultom.  

Kasus Miranda Gultom, menurut saya adalah kecelakaan professional dan kecelakaan politik yang luar biasa, dan tidak boleh terjadi lagi. Kecelakaan professional menimpa Miranda Gultom, kecelakaan politik menimpa DPR sehingga ini tidak boleh terjadi dalam pemilihan-pemilihan berikutnya.

Sistem sudah dibentuk tetapi ternyata mental teman-teman, kalau kasus ini betul-betul terjadi ini yang harus diperkuat. Jadi saya yakin dalam pemilihan Deputi Gubenur BI selanjutnya, tidak ada akan ada lagi hal-hal seperti ini. Dan saya yang akan memimpin langsung sidang itu, dan saya tahu betul kalau ada pergerakan-pergerakan tidak sehat disana. Dan silakan Perss, LSM, dan kalau perlu PPATK, memantau mulai dari sekarang.         

Saya rasa, pemilihan Deputi Gubunur BI sekarang atau selanjutnya masih tepat dipilih melalui DPR. Dan saya fikir itu adalah mekanisme yang terbaik, nanti kalau ada penyempurnaan UU diamandemen bisa saja. Dalam pemilihannya, DPR juga meinta pendapat dari berbagai kalangan, dan itu juga tidak hanya melalui fit and proper test kepada mereka-mereka.

DPR akan meminta pertimbangan dari badan-badan terkait, misalnya dari Perbanas, Perbarindo, Pasar modal dan dari pengawas lainnya. Kami juga meminta pertimbangan seperti apa kriterianya. Sehingga kita akan lebih objektif dalam menentukan pemilihan Deputi Gubuner dan Gubenur BI.      

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 49 Tahun 2009
 
  
      

Read more »

Layakkah Dana Nasabah Century Ditalangi Lagi dengan APBN

Dalam pidatonya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), terkait dengan polemic pengembalian dana nasabah PT Antaboga Delta Securitas. Maka Presiden SBY membuka peluang pengembalian dana nasabah PT Antaboga Delta Sekuritas yang jumlahnya mencapai Rp 1,4 triliun. Melalui pengembalian aset-aset nasbah Antaboga yang dibawa ke luar negeri dan dengan menggunakan dana APBN. Apakah tepat opsi tersebut? Berikut hasil penjelasan dari nara sumber kepada Fathul Ulum .  

Didi Irawadi  Syamsudin
Anggota Komisi III  Fraksi Partai Demokrat

Partama yang harus kita lihat adalah niat baik dari SBY dan pemerintah, karena pemerintah begitu konsen untuk membantu nasabah PT Antaboga Delta sekuritas. Jadi niat baik ini kita harus hargai,  karena ternyata pada akhrinya waktu di Pansus, yang pertama kali untuk memperjuangkan adalah dari Partai Demokrat. Yang tadinya  masih mengambang semuanya. Alasannya mereka masih ingin melihat aturan, jadi jangan sampai niat baik SBY diabaikan begitu saja.

Dua opsi itu adalah memberikan talangan kepada nasabah PT Antaboga Delta sekuritas dengan menggunakan APBN, kemudian opsi kedua mengejar asset-asset Robert Tantular baik di dalam atau di luar negeri. Bahwa niat baik ini, apabila dilihat dari sisi DPR dan aturan-aturan hukum yang ada, maka ada peluang disana sehingga kami akan dukung opsi tersebut serta kami akan perjuangkan. Bahwa kami juga akan melihat lagi berbagai aturan-aturan yang ada. Sehingga bisa mendukung antara UU yang satu, dengan peraturan perudang-undangan yang lain.

Kami mengerti bahwa nantinya ketika opsi tersebut diajukan, DPR tentunya akan mengkaji hal ini. Dan prinsipnya kami mendukung opsi yang ditawarkan oleh pemerintah. Tentunya kami juga melihat dan taat pada koridor hokum yang ada. Artinya apakah peraturan perundang-undangan yang ada itu memungkinkan atau tidak. Saya katakana kembali prinsipnya kami akan perjuangkan menyangkut kepentingan rakyat. Karena bagaimanapun mereka adalah rakyat Indonesia yang harus dibantu untuk memperoleh kembali hak-haknya. 

Opsi itu diminta atau tidak oleh SBY, tentu harus dibwah kepada DPR untuk meminta persetujuan. Maka hemat saya siapapun dan dalam logika yang sederhana, pasti nasabah ingin uangnya tersebut secepatnya dikembalikan. dan jawabannya yang paling memungkinkan saat ini serta terdapat peluang adalah dengan menggunakan uang Negara atau APBN.  
Kalau pihak nasabah PT Antaboga Delta sekuritas tidak mau menggunakan dana dari APBN, terus dana dari mana. Karena ada aturan mainya didalam APBN. Jadi tidak bisa begitu saja, dan saya memaklumi keingginan itu, mungkin karena selama ini pihak nasabah sangat menderita karena masalahnya mereka ingin uangnya secepatnya dikembalikan oleh Robert Tantular, sehingga uang itu bisa kembali kepada mereka.   

Sebenarnya dana dari LPS itu sumbernya juga dari APBN, sehingga tidak perlu dipersoalkan secara panjang hal tersebut. Dan tentunya kami juga akan melihat peraturan yang ada, apakah nantinya memakain APBN atau tidak. Tapi pastinya menurut kami itu tepat menggunakan dana dari APBN. Maka jika pemerintah mengajukan opsi untuk mengganti dana dari APBN, maka sudah seharusnya DPR menyetujui hal tersebut. Jadi seyognya, dalam mencarai penyelesaian tersebut, kami tetap dalam koridor UU yang berlaku, kalau tidak nanti jadi preseden buruk buat kedepan.   

Oleh karenannya, apa yang dikatakan oleh pemerintah  sudah tepat, artinya dalam koridor UU yang ada. Sehingga salah satu usulan dan niat baik itu nantinya harus dilihat lagi, apakah aturan yang ada itu memberikan ruang, serta dalam mengambil  suatu kebijkan tidak bertentangan dengan aturan lainya.  Serta dapat memberikan ruang kepada niat baik itu, dan kami akan lakukan.   

Jadi, nanti kami juga akan melihat yang mana yang paling memungkinkan dan riel, apakah bisa dilakukan saat ini, apakah dengan cara memberikan talangan kepada nasabah PT Antaboga Delta sekuritas melalui APBN. Ataukah dengan cara menunggu hasil pencarian asset-aset Robert Tantular baik di dalam maupun diluar. Biar asset-aset yang masih likuid tersebut, dapat ditemukan oleh para penegak hokum.

Romy Romahurmuzy
Wakil Sekjen DPP PPP  
Jadi menurut saya, apa yang sudah disampaikan oleh SBY itu kan sifatnya normative, bahwa akan dikembalikan dari hasil recovery asset itu yang sudah pasti. Adapun terkait dengan keuangan Negara itu akan dikonsolidasikan kepada dewan. Oleh karenanya dewan dalam hal ini tentunya adalah badan anggaran atau badan pengawas yang menunggu pengajuan dari pemerintah dalam hal ini LPS, yang merupakan pemegang saham dari Bank Century atas nama Negara.  

Maka melalui pengajuan tersebut, yang akan mempertemukan kepada kita, nanti bagaimana pola pengembaliaannya, dasar hukumnya, sumber pendanaannya itu apa, dan itu yang kami akan  lihat. Apakah memang ada kaitan  hukumantara PT Antaboga Delta Securitas dan Bank Century, apakah itu secara formil mengharuskan Bank Century atau Bank Mutiara yang kemudian mengganti kerugian yang didapatkan oleh nasabahnya. Jika berbicara masalah nasabah Century, maka wajib diganti oleh Bank Mutiara,  artinya LPS sebagai pemegang saham.  

Tetapi, jika kami berbicara nasabah maka harus ada kaitannya secara yuridis formil dan undang-undang yang ada. Karena LPS ini, dalam prospek infestasinya, apakah juga sudah di kaver atau bahkan Bank Century, sepanjang itu memang benar. Sesungguhnya tinggal menunggu saja apa yang akan diajukan oleh LPS, karena LPS itukan ekskutif havie yang mana disitu, ada komisaris yang berasal dari Departemen Keuangan dan Bank Indoensia. Kemudian juga ada komisaris independent yang setiap saat harus selalu berkoordinsai, apakah dana yang dikeluarkan LPS adalah khas Negara.

Jika nasabah PT Antaboga Delta Securitas dikaitkan dengan APABN, hal ini belum tentu ada APBN, karena APBN tidak ada kaitannya sebagai talangan dana nasabah PT Antaboga Delta Securitas. Dan jika melalui APBN, akan sulti untuk digunakan secara langsung, karena memang tidak ada kaitanya dengan talangan dana yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan  reksadana dengan APBN. Dan secara hukumresiko infestasi yang terkandung dalam reksadana, tentu itu adalah resiko nasabah, jadi kalau itu dikaitkan dengan menggunakan dana APBN secara langsung tidak mungkin bisa.  

Tetapi kalau kami berbicara keuangan Negara yang tersimpan didalam khas LPS, yang itu modal  awalnya adalah dari APBN, sehingga itu sangat memungkin jika PT antaboga Delta Securitas dan Bank Century ada dasar secara yuridis untuk menggunakan APBN baru bisa dilakukan.  Karena tidak semua pihak bisa menerima usul Presiden tersebut, karena APBN notabene berasal dari uang rakyat, termasuk rakyat kecil.  Logikanya, perusahaan saja tidak tanggung jawab, apalagi Negara.   

Kalau nantinya APBN tetap digunakan, rasanya pasti akan bermasalah secara hokum. Dan saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh  Forum nasabah PT Antaboga Delta Securitas, bahwa memang tidak ada kaitannya talangan yang diberikan tersebut dengan menggunakan dana APBN, karena tidak ada kaitannya APBN dengan prospek infestasi reksadana dimanapun. Karenanya kami tidak berbicara danareksa melainkan bahwa dana LPS dari keuangan Negara.

Jadi alangkah baiknya, jika pemerintah mengeluarkan opsi yang baru, apabila tetap mengupayakan dana dari APBN pasti akan timbul resiko. Dan menurut saya,  yang wajib mengembalikan dana kepada nasabah itu yang pertama adalah tim likuidasi yang menjual dari asset-asset itu  dan kemudian dikembalikan kepada nasabah-nasabah tersebut, itu yang pertama. Kemudian yang kedua yang wajib mengembalikan dana tersebut adalah pemegang saham bank century. Jika memang Bank Century sudah terbukti secara yuridis, sebagaimana disampaikan oleh hasil putusan pengadilan arbitrase di Yogyakarta yang nantinya akan dijadikan dasar hukum.     

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 48 Tahun 2009
  
  
       




Read more »

Anggota DPR Fraksi TNI/Polri Korupsi Haruskah Diadili di Pengadilan Militer

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengusut kasus korupsi. Apakah KPK juga mempunyai wewenang dalam mengusut tiga mantan anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus penerimaan cek perjalanan (traveler cheque) pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Goeltom. Sebagaimana kewenangan KPK yang diatur dalam pasal 11 huruf a, b dan c UU KPK, apakah KPK dapat  mengusut kasus tersebut? Berikut penjelasan narasumber kepada Fathul Ulum.

Johan Budi SP
Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Jadi seperti ini, bahwa militer itu mempunyai peraturan atau undang-undang yang tersendiri, serta mempunyai peradilannya. Dan kemudian mengenai  mekanisme untuk melakukan penghukuman kepada para anggota militernya. Sehingga ketika melakukan sebuah kejahatan tindak pidana maka memakai acuan undang-undangnya.
Makanya kemudian, acuan yang dipakai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, maka didalam aturan tersebut tidak menerangkan untuk militer.     
Bahwa kemudian militer mempunyai aturan tersendiri, punya peradilan sendiri serta kemudian mempunyai mekanisme pengadilan sendiri pula. Karena berdasarkan itulah, maka kemudian KPK mempunyai dua opsi untuk mengusutnya dan sebenarnya tidak hanya itu, bisa juga ke Polisi Militer (POM) dan juga ke kejaksaan karena itu koneksitas.
Oleh karenanya KPK tidak bisa koneksitas, kenapa hal ini dikatakan tidak bisa? karena undang-undangnya memang mengatur demikian. Jika ada pertanyaan kenapa hal itu tidak bisa dilakukan? jangan dibantah begitu lagi.   
Kenapa milter begitu, ya karena undang-undangnya mengatakan begitu. Olehkarenanya persoalan itu nanti akan diserahkan, dan sampai sekarang masih dikaji serta dipelajari. Apakah nanti penyelidikan untuk kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota fraksi TNI/polri ini, nanti diserahkan misalnya kepada Polisi Milter (POM). Ataukah nanti kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota fraksi TNI/polri ini,  nanti diserahkan kepada kejaksaan koneksitas, begitu.   
Bahwa R. Sulistyadi, Darsup Yusuf, dan Suyitno yang diduga melakukan  kasus tindak pidana korupsi. Pada saat itu mereka menjabat sebgai anggota fraksi TNI/Polrid di DPR RI tidak ada surat nonaktif. Karena pada waktu itu anggota farkasi TNI/Polri adalah merupakan utusan dari TNI, sehingga pangkat dan jabatannya masih melekat. Coba saja di chek bahwa mereka adalah masih militer bukan non aktif pada waktu itu.   
Jadi tindak pidana dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota fraksi TNI/Polrid ini tidak bisa kita selesaikan, karena acuannya berbeda. Bahwa kemudian kenapa KPK tidak mengusut perkara dugaan tindak  pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota fraksi TNI/polri. Karena yang dilakukan KPK adalah murni hanya untuk mentaati aturan hukum yang ada.   
Dan jika itu adalah dari anggota Polri maka KPK bisa menangani seperti halnya anggota Polri Dudhie Makmun Murod pangkat Djendral lagi. Yang sekarang disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Maka KPK bisa mengusut anggota Polri, karena berdasarkan Undang-undang yang ada di KPK itu penyelengaran dan aparat penegak hukum.     
Jadi tidak ada yang namanya karena dia anggota militer atau siapa saja, sepanjang mereka telah melakukan tindak pidana korupsi, maka KPK akan mengusutnya. Serta apabila KPK mempunyai kewenangan untuk mengusut adanya dugaan tersebut, maka KPK akan mengustnya sebagaimana kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.   
Bahwa pelimpahan kasus ketiga mantan wakil rakyat tersebut adalah untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan tugas KPK. Meski ketiganya saat ini tidak lagi menjadi anggota aktif TNI, TNI melalui Polisi Militer (POM) tetap berhak memeriksa dan mengadakan penyelidikan terhadap ketiganya.
Jadi saya katakan, dugaan korupsi mantan anggota fraksi TNI/Polri  DPR RI bukan menjadi wilayah kewenangan kami. Karena ada mekanisme tersendiri dalam militer. Oleh karenanya, memang sudah menjadi keharusan kasus ini ditangani secara langsung oleh Polisi Militer.    
Febri Diansah
Peniliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW)
KPK harus secara clear memahami UU nya, KPK justru mempunyai kewenangan untuk menangani siapapun itu. sepanjang dia adalah penyelenggara negara, dan yang dilakukan adalah tindak pidana korupsi dengan catatan kerugian negaranya diatas satu milyar, atau mendapat perhatian dari masyarakat, atau melibatkan penyelenggara negara.
Pejabat militer itu, masih dalam katagori peneyelenggara negara berdasarkan UU nomor 28 tahun1999 mengenai penyelenggara negara pasal 2 angka 7. disebutkan, yang termasuk penyelenggara negara lainnya adalah pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan kepolisian.
Benar bahwa tindak pidana milter itu harus ditangani oleh pengadilian yurisdiksi militer. Tapi kita harus lihat pertama dugaan tindak pidana korupsi itu terjadi apakah ketika seseorang itu menjadi anggota DPR atau ketika dia menjadi pejabat di Dinas Militer atau sejenisnya. Kalau dia menjadi anggota DPR maka dia harus tunduk dan taat kepada tindak pidana umum.
Yang kedua, kalaupun dia dianggap dalam posisi sebagai pejabat militer. Maka pejabat militer adalah salah satu penyelenggara yang disebutkan didalam UU nomor 28 tahun 1999. Karena itu KPK punya kewenangan untuk mengusut dugaan korupsi terkait dengan penyelenggara negara.
Saya kira pimpinan KPK atau pihak KPK harus chek kembali kewenangannya yang ada pada “Pasal 11, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.”
Kemudian  “Huruf a, melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;” UU 30 tahun 2002 itu.
Maka pertanyaan sederhananya, apakah korupsi itu tindak pidana militer atau tindak pidana non militer. Jika itu merupakan tindak pidana non milter,  kecuali kalau korupsi itu termasuk dalam salah satu pasal misalnya di kitab UU hukum pidana milter, itu yurisdiksinya memang pada proses peradilan militer. Jadi saya kira isunya bukan militer atau tidak militer tapi kejahatan apa yang dilakukan dan dalam posisi apa ketika kejahatan itu dilakukan.
Jika kejahatannya adalah dugaan suap saat dia sedang menjabat sebagai anggota DPR, maka posisi sipilnya sebagai anggota DPR itu lah yang harus dipertanggung jawabkan. Dan pada UU apa dia harus tunduk, tentu saja pada UU nomor 31 tahun 1999  jo, UU nomor 20 tahun 2001 itu.
Apabila nantinya ini diselesaikan oleh pengadilan militer serta sampai selesai, sebenarnya tidak menjadi persoalan. Cuman hal ini akan menimbulkan kerancuan pemahaman hukum kita, dan sayangnya itu juga dilakukan oleh KPK.
Jadi saya kira KPK harus betul-betul faham bahwa dia punya kewenangan yang cukup besar, dan itu diatur dalam UU 30 tahun 2002. kalaupun ada kewenangan lain yang bertabrakan dengan itu, sepanjang masih terkait dengan tindak pidana korupsi maka kewenangan KPK lah yang lebih mempunyai legitimasi hukum.
Sehingga saya tidak mempertentangkan militer atau non militer segala macam, tapi sebaiknya KPK menuntaskan ini dalam satu paket kasus yang ditangani sekarang. Persoalan apakah nanti ada koordinasi dengan pihak militer, tentu akan lebih baik lagi. Tapi yurisdiksinya tetaplah menurut saya harus di pengadilan tindak pidana korupsi, tidak boleh ada lagi dualisme dalam kasus peradilan tindak pidana korupsi. Karena dualisme itulah kemaren KPK sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konsititusi, jadi kita harus hati-hati betul soal ini.   

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 47 Tahun 2009


Read more »

Perlukah Hak Menyatakan Pendapat DPR untuk Kasus Century

Menurut tata tertib, kalau kebijakan melanggar peraturan, maka bisa dilanjutkan hak menyatakan pendapat, hal itu juga diatur dalam Pasal 182 ayat 1 UU No. 27 Tahun 2009. Akankah hasil rapat paripurna terkait Bailout Bank Century, mengarah kepada pengunaan hak  menyatakan pendapat, sebagai sikap politik DPR, dan bentuk sanksi politik? Berikut penuturan narasumber kepada Fathul Ulum, menjelaskan.


Ibrahim Fahmi Badoh
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW

Hak untuk menyatakan pendapat, sebagai bentuk menjaga konsistensi atas  putusan politik maka hal itu harus dilakukan. Dan saya kira hak untuk menyatakan pendapat, itu akan berlanjut terus sampai pada pemakzulan.  
Kalaupun akan berjalan terus, maka itu sah-sah saja. Hanya saja yang harus diperhatikan jangan lagi ada upaya menyatakan benar itu salah terhadap persoalan hukum secara politik. Karena Ini yang akan menjadi preseden buruk, karena kebenaran politik itu hasil dari kompromi.    
Dan kebenaran hokum, saya kira hasil dari sebuah kesepakatan perlindungan hak-hak warga. saya fakir paling utama dari pada persoalan politik beginilah kekuasaan itu. Apabila mendukung  kebijakan yang menyebabkan adanya tindak pidana saya kira itu juga penting untuk didorong.    
Soal hak menyatakan  pendapat, sebenarnya kita menyerahkan saja kepada temen-temen di DPR. Sebab sejak awal, kasus ini agar dibuka.  Dan akhirnya kemudian kasus ini ditunjukan kepada publik permasalahan-permasalahan yang di anggap sebagai sebuah penyelewengan  kekuasaan.
Dan saya kira, Pansus yang berjalan kemarin cukup bagus, sampai hasilnya ke Paripurna. Jika misalnya sekarang ini, anggota DPR ingin terus sampai kepada hak menyatakan pendapat. Saya kira sah-sah saja. Dan itu merupakan suatu proses yang lazim, serta akan menjadi sebuah uji coba terhadap UU yang baru, dan terhadap kredibilitas DPR yang sekarang.
Serta ini akan menjadi pijakan yang kuat untuk perbaikan citra DPR ke publik. Saya kira dalam konteks itu harus dilanjutkan kepada proses politik selanjutnya. Akan tetapi jangan dulu meninggalkan proses hukum, kalau terus-menerus akan menjadi alat pembenaran secara politik.
Sehingga Ini akan menjadi preseden buruk terhadap institusi hukum. Karena pada saat yang sama kondisi KPK sangat terpuruk, dan kelihatan betul bahwa bisa disetir oleh kekuasaan.
Saya kira, rekomendai pada saat sidang paripurna harus ditindak lanjuti. Karena sebuah konsekuensi logis terhadap pilihan langkah politik. Memang kelihatannya ada semacam kebutuhan untuk memperjelas apa sebenarnya sanksi pilitik yang bisa diberikan.   
Sehingga jangan hanya selesai kepada kesimpulan awal, yang itu bersalah, kemudian berakhir dengan transaksi-transaksi. Jadi kejelasan sikap politik itu sebenarnya yang dilihat. Sejauh ini kita melihat selama tidak berujung adaanya penambahan jumlah menteri misalnya, atau penambahan posisi seperti komisaris BUMN saya kira mereka secara keputusan politik konsisten.   
Hanya memang lebih baik lagi, jika diambil langkah selanjutnya untuk memproses bahwa kekuasaan dianggap bermasalah dan merusak citra pemerintahan. Tapi proses politik ini tidak bisa berjalan sendiri, proses politik itu harus dibarengi dengan proses hukum.
Saya kira hak menyatakan pendapat itu harus digunakan, dan harus ada inisiatoir lagi. Kemudian nanti diputuskan pada sidang  paripurna apakah menempuh jalur itu atau tidak?. Dan sebenarnya hasil ini kan sudah berjalan seperti kesimpulan awal yang dibuat dipansus. Jadi  tidak begitu sulit, keculai mereka langsung menggambil hak itu.  
Namun, hasil dari pertimbangan pansus, fraksi tidak boleh berubah dalam hak menyatakan pendapat. Jadi kalau rumusannya disamakan saja dengan rumusan pansus, saya kira sudah sangat mewadadi. Makanya MK menganggap tidak perlu lagi adanya menempuh jalur ini.
Makanya sekarang ini, diproses secara hukum. Persoalan politik apakah nanti ada suatu pemakzulan atau tidak itu persoalan nanti. Yang paling penting sekarang adalah perampokan itu harus segera diproses.    


Eva Kusuma Sundari
Anggota Pansus Century dari Fraksi PDI-P

Pertama-tama, harus diluruskan terlebih dahulu sebelum bicara hak menyatakan pendapat. Bahwa penanganan kasus ini tidak semata-mata melalui penyelesaian politik. Karena ketika BPK mengadakan pemeriksaan, dan hasilnya bermasalah.
Sehingga dalam bidang pengawasan DPR  ini adalah soal akuntabilitas pengunaan keuangan Negara. Kemudian sebagai tindak lanjut DPR  merespon dari laporan itu, jadi tidak out of the blow DPR punya ide sendiri, tidak. Jadi ada semacam rangkain.  
Kemudian perkara sudah sampai kepada kesimpulan, terutama hasil voting menyebutkan ini bermasalah. Dan rekomendasi itu membutuhkan tidak lanjut dari DPR sendiri. Meskipun saya sendiri sepakat kalau di bidang penegakan hukum tidak ada urusan dengan Pansus maupun dengan pidato presiden itu, betul.    
Tapi, mayoritas paham bahwa kenapa kemudian menggambil isu ini, karena KPK yang memulai penanganan ini. Yang waktu itu di ancam sama cicak dan buaya. Sehingga sempat tengelam begitu, jadi upaya ini selagi menjadi tugas pokok dan fungsi DPR di bidang pengawasan.  Maka harapan kita ada dampaknya kepada percepatan penanganan  hukumnya.  
Dan ini membantu, melalui proses pemeriksaan sehingga sampai kepada rekomendasi,  Kemudian ada indikasi kesewenang-wenangan dalam mengunakan kekuasaan atau bahkan kerugian Negara. Itu merupakan semacam hasil analisis, dan harapan kita bisa ditindak lanjuti secara hukum oleh KPK.     
Di pihak lain sebetulnya, hasil ini pun bisa diserahkan kepada MK apalagi MK sudah mengundang, dan sudah menetapkan hukum beracaranya. Cuman kita focus kepada jangka pendek ini, rekomendasi yang pertama sudah dibentuknya tim pengawasan DPR untuk mengawasi implementasi rekomendasi yang kita ajukan.
Harapan kita selama masa resers ini, kita sudah mulai persiapkan sehingga saat resersnya kita sudah mulai on. Tapi ternyata dari fraksi-fraksi lain belum siap, akhirnya kita tunggu dan kita sepakat setelah habis resers kita bentuk tim pengawasan itu.   
Soal hak menyatakan pendapat. Jadi begini, kita ada masalah prioritas dalam jangka pendek dan jangka panjang. Bukan berarti PDI-P tidak siap untuk pemakzulan, kita siap saja. Tapi, kita ingin tunjukan kinerja kita, ketika implementasi itu menjadi prioritas jangka pendek.   
Tapi pada saat yang sama, apabila kita melihat pra kondisi di DPR ketika memang mendorong perlunya pemakzulan kita siap juga. Tapi tidak kemudian hasil pansus angket langsung ke hak menyatakan pendapat, karena memang mekanisme beda dan tidak bisa secara otomatis melanjutkan dari anget, tidak.   
Untuk menggunakan hak menyatakan pendapat, harus ada penggalangan inisiatif dulu. Seperti tanda tanggan persis seperti ketika memulai Angket,  jadi bukan otomatis menggunakan hak itu.  Dan kita kan tidak memutuskan, karena wiliyah itu diputuskan oleh hukum.
Saya dengar Hanura sudah siap, untuk PDI-P sia-siap saja karena ketua umum sudah bilang fokuskan kepada penegakan rekomendasi dulu. Makanya  itu kemudian hak menyatakan pendapat menjadi jangka panjang.  
Karena kalimat yang ada dikesimpulan kita “mengindikasikan” dan  yang bisa mengambil keputusan MK buka kita. Jadi ketika kita menyimpulkan ada pelanggaran UU dan kesewenang-wenangan dan setrusnya nanti. Kalau DPR melakukan penggalangan tanda tanggan untuk membawa rekomendasi ke MK.
Maka nanti akan menjadi hak menyatakan pendapat dan itu yang memutuskan MK kita tidak bisa memutuskan karena tidak punya otoritas hukum kita. Makanya biar diperiksa oleh MK, dan ketika MK sudah memutuskannya memang ada pelanggaran akan dikembalikan ke MPR dan MPR akan ada siding pemakzulan.   

Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 46 Tahun 2009



Read more »

Penolakan Perpu Pengangkatan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK


Di tengah hiruk-pikuk kasus Century, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat dengan Menteri Hukum dan HAM menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 4 tahun 2009 Tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka ditengah adanya penolakan perpu tersebut terdapat pro dan kontra. Apakah Perpu tersebut tepat untuk KPK? Berikut wawancara Fathul Ulum kepada narasumber. 

Didi  Irawadi  Syamsudin
Anggota Komisi III  Fraksi Partai Demokrat

Kami mendukung perpu ini menjadi UU, karena jangan pernah ada kekosongan di dalam pimpinan KPK. Dengan adanya kekosongan pimpinan, ini bisa menghambat proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena selama di bawah pimpinan yang ada sekarang ini, benar-benar berjalan dengan sangat baik serta mempunyai komitmen luar biasa, dibandingkan dengan pimpinan sebelumnya yang kemudian bermasalah.

Kalau Perpu ini ditolak, berarti proses untuk memilih pimpinan yang baru memakan waktu yang sangat lama. Seperti halnya ada proses seleksi, lalu nanti ada usulan dari pemerintah, nanti juga ada seleksi di DPR.  Sehingga nantinya akan memakan waktu yang cukup lama mungkin bisa sampai satu tahun.  

Jika melihat salah satu agenda penting pemerintahan SBY adalah untuk memberantas korupsi, jadi sangat di sayangkan adanya penolakan perpu. Karena akan menimbulkan kekosongan kembali dalam pimpinan KPK. Padahal Demokrat mempunyai komitmen sangat tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karenanya kemarin kami mengambil sikap untuk menerima Perpu ini. Kenapa? Karena tidak boleh ada kekosongan satu hari bahkan satu detik pun di dalam upaya memberantas korupsi.  

Ditunjuknya pimpinan KPK sekarang oleh presiden melalui perpu, ini semua kan berdasarkan ketentuan UU 30 tahun 2002. Yang mana, apabila ada kekosongan, pemerintah bisa mengeluarkan Perpu. Dan Perpu yang dikeluarkan pemerintah itu berdasarkan UU yang ada. Ketika  Antasari Azhar dan dua pimpinan KPK pada saat itu menghadapi suatu permasalahan, jika pemerintah tidak bertindak dengan cepat maka bisa dibayangkan pemberantasan korupsi yang sedemikian komplek bisa tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan kembalinya Bibit dan Chandra, Perpu itu sudah tidak dikatakan genting lagi. Menurut hemat kami, tidak karena kepemimpinan  Tumpak. Ini bisa dilihat prestasi yang ada, sehingga sangat disayangkan apabila terhenti. Karena permasalahan korupsi di Indonesia sangat pelik. Kepemimpinan Tumpak benar-benar lengkap dalam menangani korupsi, dan itu bukan hal yang mudah.

Jika dilihat dalam kepemimpinan lima orang yang ada sekarang, sudah berjalan dengan sangat bagus sekali. Dan apabila nantinya Perpu ini menjadi UU, maka tidak akan pernah ada kekosongan lagi. Soal pemilihan pimpinan pada waktu itu, pemerintah juga melibatkan pihak-pihak yang kompeten dalam menyeleksi dan tidak main tunjuk saja. Jadi ini  benar-benar menunjukkan komitmen yang dimiliki oleh pemerintah, murni tidak ada interest atas kepentingan apapun, hanya untuk menangani persoalan korupsi.

Kalau dibilang tidak independensi, tidak demikian adanya. Karena  UU  ini memberikan amanat kepada pemerintah untuk bisa mengunakan Perpu bila terjadi kegentingan yang memaksa dan keadaan yang darurat. Maka dalam hal ini sudah terbukti terlihat upaya yang dilakukan para pimpinan PLT  justru sangat bagus kinerjanya.  

Dan kami sudah berupaya semaksimal mungkin kemarin melalui Demokrat dengan PKB, namun mayoritas suara di DPR ternyata menolak, dan ini kami sangat menyesalkan sekali. Karena bagi kami penolakan Perpu PLT pimpinan KPK sama saja dengan pengembosan upaya pemberantasan korupsi.

Kita melihat kinerja pimpinan yang sudah ada ini sangat memenuhi harapan masyarakat, sehingga penolakan yang ada pada Komisi III ini sangat saya sesalkan sekali. Meskipun ini adalah keputusan politik.  Kenapa? Penolakan ini, kita khawatir terdapat kekosongan dengan waktu yang lama, karena dengan nantinya Tumpak ditarik menjadi  kosong satu  pimpinan yang ada di KPK. Padahal pemberantasan korupsi itu sangat serius. Kita tidak boleh bermain-main dan setengah hati dalam menangani korupsi.


Febri Diansyah
Peneliti Hukum Indonesian Corruption Watch (ICW)

Dari awal ICW dan koalisi menolak dengan tegas adanya Perpu tersebut. Pada bulan September 2009 ketika Perpu ini diterbitkan,  kita sudah bilang bahwa Perpu ini bukan menyelamatkan KPK tapi  Perpu ini  justru menggerogoti konsep independensi KPK. Dan bahkan bisa membajak fungsi-fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Saya melihat tidak ada kekosongan di KPK pada waktu itu, yang ada adalah proses kriminalisasi terhadap Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Kemudian Perpu keluar persis beberapa hari setelah mereka ditetapkan menjadi tersangka dan diberhentikan. Sehingga kesannya dipahami oleh publik adalah sebenarnya Perpu tersebut melegitimasi kriminalisasi pada dua pimpinan KPK.

Bukannya memastikan proses hukum Bibit dan Chandra clear dari rekayasa. SBY justru memberikan kewenangan pada dirinya sendiri untuk bisa menunjuk orang pimpinan sementara KPK. Dan itu tentu saja membahayakan pemberantasan korupsi di tubuh KPK sendiri.  

Saya tidak tahu argumentasi mereka, tapi pemerintah selalu saja bilang bahwa mereka ingin berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, serta  mendukung KPK. Tapi sebenarnya yang mereka lakukan berkebalikan dengan apa yang dikatakan. 

Kami tidak yakin dan tidak percaya Perpu ini bertujuan untuk menyelamatkan KPK, karena realitas politik hukum pada saat Perpu terbit jelas-jelas KPK telah diserang dari beberapa pihak gelombang koruptor yang luar biasa. Dan presiden diam saja pada waktu itu.  Justru presiden terlihat lebih aktif dalam penerbitan Perpu yang sebenarnya membahayakan KPK.  

KPK adalah lembaga independen, tidak boleh pimpinananya di pimpin dan ditunjuk oleh kekuasaan tertentu. Misalnya presiden dari jajaran ekskutif. kalau pimpinan KPK ditunjuk oleh presiden, artinya presiden bisa menguasai KPK secara langsung atau tidak langsung hingga akhirnya independensi KPK tidak ada lagi.  

Bayangkan dalam kondisi itu KPK menangani kasus sebesar Century di mana aktor-aktor yang diduga terlibat adalah aktor utama yang ada di eksekutif. Tidak mungkin KPK bisa independen kalau pimpinannya bisa diatur oleh kekuasaan.

Jadi kalau Perpu itu dikatakan genting itu tidak ada, yang genting justru ketika pimpinan KPK dikriminalisasikan  serta proses hukumnya direkayasa. Jadi yang genting itu bukan KPK nya, yang genting adalah penegakkan hukum kepolisian saat itu.

Jadi salah kaprah Perpu yang dikeluarkan kemudian membuat kewenangan bahwa presiden bisa mengatur orang atau menunjuk orang untuk menjadi pimpinan KPK, dan kewenangan sementara pimpinan KPK sama dengan pimpinan KPK yang dipilih berdasarkan proses seleksi yang panjang. Maka hal ini tidak bisa dibenarkan baik secara ketatanegaraan atau dari aspek pemberantasan korupsi.

Jadi dengan adanya penolakan perpu tersebut, tidak bisa dikatakan adanya kekosongan pimpinan di KPK,  tapi kita bisa debat panjang soal apakah ada kekosongan dalam pimpinan KPK atau tidak. Yang pasti memang di UU KPK diatur bahwa pimpinan KPK ada lima, tapi kemudian persoalan kekosongan pimpinan ada dikaji semuanya dalam UU KPK tersebut.

Misalnya kekosongannya dalam hal apa, kalau ada proses hukum, apakah empat orang bisa berjalan? Bisa saja, kan sudah terbukti selama ini empat orang bisa berjalan dan tidak ada masalah apa-apa  di Pengadilan Tipikor. Justru hakim tetap menerima kasus yang diajukan oleh KPK.  

Argumentasi-argumentasi kekosongan kepemimpinan KPK itu menurut saya adalah argumentasi yang justru ingin menyerang dan melelehkan KPK. Kita lihat itu dari argumentasi komisi III. Ketika Antasari jadi tersangka, pimpinan KPK tinggal empat. Mereka minta KPK berhenti. Saya kira itu yang berbahaya. Dan perpu ini adalah bagian dari upaya untuk melegitimasi itu.


Sumber: Majalah Forum Keadilan. Edisi 45 Tahun 2009 

Read more »